CHAPTER 4 – Run or Fight!

1528 Kata
Aku tak lari. Kakiku tak mau bergerak, malah berdiam saja membatu di belakang Dandelion. Ketakutan dengan apa yang kulihat, lipan yang tak seperti lipan itu. Sebesar batang pohon, menggeliat dengan sangat cepat ke arah kami. Tubuhnya yang berwarna biru gelap terlihat keras, dengan kaki yang dipenuhi oleh bulu setajam duri. Matanya berwarna hitam pekat, berkilauan seperti kelereng memberi kesan seram. “Tunggu apalagi! Lari!” Dandelion mengulangi perintahnya, berteriak lebih keras dari yang tadi. Lipan itu telah sampai di hadapan kami, menabrak sebuah pohon hingga tumbang terhempas ke arah Dandelion. Ia bisa mengelak, melompat dengan lincah ke atas pohon yang lain. Namun raut wajahnya tidaklah tenang, menunjukkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Dia tak yakin bisa menang, kurasa Elf ini bukanlah spesialis pertarungan. “Lari Kiran! Mau kuulangi berapa kali!” Dandelion melompat ke pohon lain ketika ia di serang lagi. Memaksakan diri, aku menggerakkan tubuhku. Berlari menjauh dari sana mengikuti perintah Dandelion. Sesekali aku menoleh ke belakang. Melihat beberapa pohon yang tumbang, bersama dengan terdengarnya suara melengking dari makhluk itu. Tak lama, suara hempasan keras terdengar. Sebuah batu besar terlontar ke arah berlawanan denganku. Aku langsung tahu, Dandelion berlari menjauh untuk memancing lipan itu menjauh dari ku. Ia mempertaruhkan diri melindungiku dan aku malah tak tahu balas budi, melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri. Kalau menghadapi yang seperti ini saja aku sudah lari ketakutan, maka menyelamatkan Putri Edelweis hanyalah mimpi dan kesombongan belaka. Aku lalu berhenti berlari. Membulatkan tekat, menggenggam erat tongkat sihirku. Berlari kembali ke arah sana, sambil mengumpulkan energiku ke tongkat sihir. Kali ini aku mencoba mengumpulkan tiga kali lebih banyak. “Aku di sini! Kemarilah monster!” teriakku. Lipan raksasa itu segera berbalik arah menggeliat dengan cepat ke arahku. Saat dia sudah berada di depanku, aku mengayunkan tongkatku. Melemparkan ledakan energi itu tepat ke wajahnya. Boom! Meledak. Kepalanya hancur, tercerai berai di sekitar danau. Kakiku tiba-tiba saja menjadi lemas. Tubuhku jatuh terduduk dengan kelegaan luar biasa. Di saat yang sama, merasa jijik melihat betapa banyaknya lendir kehitaman yang kini tumpah ke dalam danau. Tempat itu jadi begitu berantakan, terlihat seperti baru saja terjadi bencana alam yang tak diharapkan. Dandelion kembali ke tempatku, dia berdiri di hadapanku. “Dasar bodoh! Untung saja seranganmu berhasil! Kalau tidak, kamu mungkin sudah tewas sekarang!” Plak! Ia menamparku, bersama dengan teriakan kemarahan itu terdengar. Aku menengadah, menatapnya heran. “Kenapa kamu marah saat aku menyelamatkanmu?” Aku tak paham kenapa ia marah, aku tak melakukan hal yang salah. Mereka ingin aku jadi pahlawan, ingin kekuatanku segera bisa digunakan. Jadi, bukan seharusnya dia memujiku atas usaha kerasku tadi? Aku butuh keberanian besar dan kenekatan untuk bisa kembali dan melawan, tetapi hasilnya malah aku dimarahi. “Kalau tahu bakal dimarahi, aku enggak bakal kembali tadi.” Aku berdiri, menepuk pakaianku yang kotor. Mengeluh dan menyesali apa yang baru saja kulakukan. Reaksi Dandelion tak kupahami, dia mengernyit dengan tatapan yang begitu intens. Seolah apa yang baru saja kuucapkan tidaklah normal. “Bukan begitu, aku marah karena khawatir padamu.” Balasannya sama seperti apa yang orang tuaku katakan saat aku masih kecil, ketika aku bermain hingga malam tanpa memberi kabar. Rasa marah karena khawatir itulah yang tak kupahami. Emosi manusia yang rumit. Aku mungkin bisa menjabarkannya dalam kata-kata, merangkainya hingga terdengar benar. Namun sekalipun, aku tak bisa memahami maknanya. Sepertinya seorang Elf lebih bisa memahami hati manusia daripada diriku sendiri. Aku yang terkadang suka tak mengerti akan pikiranku sendiri. Sesaat aku bisa tergerak untuk melakukan hal yang biasanya tak mungkin akan kulakukan, lalu di saat lain aku akan langsung melarikan diri dari kenyataan. Menyangkal semua yang terjadi, lalu kembali lagi menerimanya dengan mudah. “Aku tetap tak mengerti,” balasku dingin. Aku rasa mungkin masalahnya ada pada cara pandang, atau mungkin kepribadianku yang bermasalah. Bila kupikirkan ulang, rasanya reaksiku akan segala keajaiban yang terjadi di sekelilingku itu, tak normal. Manusia lain tak akan sesantai aku, berbicara dan membuat kontrak dengan seorang Elf baru dikenal. Datang ke dunia mereka hanya karena disuruh, lalu malah menyesuaikan diri dengan cepat. Saat pikiranku akhirnya agak tenang, aku baru merasa menyesal. Mempertanyakan untuk apa aku ke sini. Apa sesungguhnya yang akan kudapatkan dengan latihan dan menolong Tuan Putri yang tak kukenal. Kami kemudian kembali ke rumah Dandelion. Berjalan dengan canggung, tanpa membicarakan apa pun sama sekali. Aku bahkan tak tahu seperti apa reaksi wajahnya saat ini. Sebab aku merasa begitu sulit untuk menoleh ke belakang dan melihatnya. Ketika akhirnya kami tiba di rumah pohon itu, Dandelion berucap, “Istirahatlah dulu. Latihan hari ini sudah selesai.” Aku tak masuk ke dalam, memilih duduk di batang pohon untuk berpikir. Apakah sebaiknya aku melarikan diri dari kenyataan, kembali ke rumahku atau tinggal di sini, bertarung dengan takdir yang harus kuhadapi. Jika aku tinggal, lain kali pasti akan ada monster lainnya. Hanya dengan mendengar sebuah cerita terasa lebih mudah, tetapi setelah aku terlibat sendiri ke dalamnya ... semuanya ternyata jauh lebih buruk. Dandelion ada benarnya, aku tadi beruntung. Serangan itu bisa berhasil dalam sekali coba, jika saja tadi gagal aku mungkin sudah mati. Mau kebal seperti apa pun, bila akhirnya tubuhku dikoyak-koyak oleh monster hingga tak berbentuk, sudah pasti jantungku akan hancur juga. Inilah kenyataan yang sebenarnya. Dunia fantasi dalam dongeng tak selalu indah seperti dalam buku anak-anak. Tempatnya mungkin indah, tetapi untuk hidup di sini tidaklah mudah. Tanganku masih saja belum berhenti bergetar, tongkat sihir itu tak mau kulepaskan. Meskipun tahu kalau tempat ini aman, tapi rasa waspada itu tak mau hilang. Sensasi ketakutan dan keputusasaan itu nyata. Masih tertinggal begitu kental dalam tiap denyut nadiku. Wizard atau apalah itu, hanya sebutan bagi leluhurku. Aku yang besar berbaur dengan manusia dan sejak awal percaya kalau aku ini manusia biasa, tak bisa menerima kenyataan kalau aku ini seorang Wizard. “Kiran! Aku kembali!” Daisy kembali di waktu tak tepat. Wajah bersemangatnya itu, bukanlah hal yang ingin kulihat saat ini. Aku takut, kalau keberadaannya bisa membuatku salah mengambil keputusan sekali lagi. ”Oh,” jawabku tak niat, memalingkan muka. Daisy terbang ke depan wajahku. “Ada apa? Kamu terlihat pucat.” Kepekaannya itu menggangguku. Dia akan segera tahu kalau aku ingin kabur dari sini, dan mulai menghentikanku dengan segala alasannya. “Aku ingin pulang. Dunia ini tak cocok denganku.” Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat mengaku. Seperti berharap untuk dihentikan. “Dasar bodoh! Masa merajuk hanya karena latihan sehari. Kalau gagal memangnya kenapa? Masih ada besok untuk membangkitkan kekuatanmu. Jangan menyerah!” Kalau saja masalahku hanya itu ... masalahnya, kekuatanku sudah bangkit dan ternyata sangat kuat. Itulah yang membuatku putus asa, satu-satunya jaminanku untuk bebas telah musnah. Daisy duduk di atas punggungku. Ia tak menyerah meskipun aku tak merespons perkataannya. “Kautahu Kiran, kami para Elf itu abadi. Namun bentuk keabadian kami berbeda. Kami lahir dari bunga, mekar dan menjadi seperti ku. Kecil, tapi perlahan-lahan tumbuh dewasa hingga ukuran Dandelion. Setelah itu semakin kuat, lalu mulai menua dan melemah hingga akhirnya mati menjadi bibit. Bibit itu tumbuh lagi, mengulang siklus yang sama berkali-kali sepanjang masa.” “Maksudnya? Kenapa kau menceritakannya padaku?” Aku mengernyit “Hidup selalu punya jalannya sendiri. Sama seperti kami para Elf, kamu sebagai Wizard juga memiliki jalanmu sendiri. Bagiku, mencari tujuan hidup dibutuhkan kehidupan berulang-ulang selama waktu yang tak terhitung lamanya. Mati dan lahir kembali, tapi terjebak pada ingatan masa lalu. Kamu hanya butuh waktu, Kiran. Jangan menyerah seperti itu.” Perkataan Daisy itu terdengar seperti sebuah filosofi, tapi aku tahu itu tak benar. Semua yang ia ungkapkan adalah pengalaman hidupnya, apa yang membentuk dirinya sekarang. “Mungkin apa yang akan kita jalani tak akan mudah, tapi percaya ini, Kiran. Kamu tidak akan pernah sendirian. Aku akan ada di sisimu sepanjang hidupmu.” Akhir dari kalimatnya menyentuhku, menghapus rasa ragu itu hingga tak bersisa. Dia benar. Sebagai Familiar-ku, Daisy telah memberikan hidupnya untukku. Dia telah menjadi bagian dari kehidupanku, bersumpah akan selalu berada di sisiku. Melarikan diri, sama saja dengan mengkhianati kepercayaannya padaku. Kurasa, aku memang harus bertarung melawan takdirku, berusaha sebisaku untuk menolongnya menemukan Tuan Putri. “Kau benar, aku akan berusaha sedikit lagi,” balasku. Aku lalu tersenyum, membawa tubuh mungil itu ke atas telapak tanganku. Daisy tertawa dengan manis, kakinya ia luruskan dengan santai. Menjadikan jempolku sebagai sandaran punggungnya. “Usaha sampai akhir dong, yang totalitas.” Nadanya bicaranya terdengar seperti bercanda. Namun, karena itulah beban di pundakku bisa sedikit terangkat. “Akan kupertimbangkan.” Senyuman itu kini ia tularkan padaku, membuat tubuhku ikut rileks. “Oh ya, aku sudah bisa membangkitkan kekuatanku.” Tanpa sadar aku mengaku, tanpa membawa rasa takut bila hal itu akan menjadi kunci untuk jalan pulangku. “Serius!? Sungguhan!? Lalu kenapa tadi merajuk begitu!” Daisy tiba-tiba jadi aktif, terbang-terbang di atas kepalaku. Aku hanya tertawa, merasa tak perlu untuk mengungkap kata-kata pengecut itu lagi. “Sudah lupa,” balasku cuek. “Apaan sih! Kembalikan rasa cemasku!” Sekarang kaki mungil itu menginjak-injak puncak kepalaku, melampiaskan rasa kesalnya. Di saat itulah, mataku tak sengaja menemukan sosok Dandelion dari jendela rumah pohon, ia tersenyum teduh mengamati kami. Kehangatan itu mengingatkanku akan mendiang Nenek, perasaan hangat alami seperti berada di rumah. Seakan-akan keluargaku telah kembali. Kurasa aku telah menemukan sebuah alasan untuk berjuang, yakni untuk menjawab harapan mereka padaku. Para Elf yang kini telah menjadi keluarga baruku.         
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN