Dua

1971 Kata
Tiga hari sebelum kejadian. Alena pulang dalam keadaan basah kuyup, jas hujannya tak sempat dipakai ketika dia mendapat telepon bahwa ayahnya pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Memang sudah lama ayah menderita sakit di ginjalnya. Seharusnya ginjal yang rusak itu diangkat agar tak mempengaruhi kinerja ginjal yang lainnya, namun mereka tak ada biaya. Sudah mengajukan ke pihak penyelenggara asuransi pun tetap harus menunggu antrian yang tak sedikit. Alena hanya berganti baju lalu pergi ke rumah sakit yang dituju setelah mengantarkan kedua anaknya ke rumah Tomy, mantan suaminya. Tomy sudah menikah setahun lalu, bahkan mereka telah dikaruniai bayi dari pernikahannya dengan istri barunya. Kedua anak Alena yang bernama Lutfi delapan tahun, dan Keyra, empat tahun diasuh oleh Alena yang kembali tinggal dengan orangtuanya. Sementara Tomy menempati rumah pribadi yang mereka bangun berdua. Miris, tapi itulah hidup. Alena terengah akibat berlari ketika masuk ke dalam ruang UGD rumah sakit pemerintah. Dokter memberi tahu bahwa ruangan telah penuh. Sehingga tak bisa menempatkan ayahnya di ruang rawat inap, kondisi ayah sangat lemah dan wajahnya tampak pucat. Tak ingin membebani, dia meminta dibawa pulang. Ibu hanya bisa menangis meratapi nasib. Alena bingung berbuat apa? Ayahnya sangat butuh pertolongan hanya dia anak satu-satunya. Kerabat ayah jauh diluar kota semua dan perekonomian mereka pun tak lebih baik darinya. Menggenggam ponsel dengan erat. Meluruhkan egonya, terpaksa dia menelepon Tomy mantan suaminya. Tomy pernah memberikan uang cerai untuk Alena karena memang Tomy lah yang menalak wanita itu. namun Alena tak mau mengambilnya, dirinya tak mau direndahkan dengan uang setara dua bulan gajinya itu. Biarlah Tomy pegang untuk anak mereka nanti. Tapi kini? Dia sangat membutuhkan pegangan uang jika ingin membawa Ayah ke rumah sakit swasta. Setelah dering ke dua, akhirnya panggilan itu diangkat, terdengar suara wanita dari seberang sana. Alena tahu itu istri Tomy, wanita pencemburu yang tega merebut suaminya. “Tomy ada?” “Kenapa lagi Len? Anak-anak anteng kok, sudah tidur habis minum susu.” Suaranya terdengar agak tidak enak. “Aku mau ngomong sama Tomy. Tolong.” “Ngomong sama aku aja sih, sama aja kan?” Terdengar semakin sinis. “Aku mau ambil uang aku yang sepuluh juta, ayah harus pindah rumah sakit.” “Hadeh makanya ego jangan digedein! Dulu aja pas mau dikasih langsung dibalikin! Sekarang butuh kan kamu?!” Kalau saja Alena tak butuh uang itu, mungkin dia akan balas memaki Ria. Tapi dia tak akan melakukan itu saat ini. “Kenapa diam? Benar kan kata-kata aku? Yaudah kamu kirim nomor rekening kamu, biar aku yang transfer. Kamu punya nomor aku kan? Klo ada apa-apa hubungi aku! Jangan hubungin Tomy lagi. Ngerti!” Telepon diputus sepihak oleh Ria saat Alena ingin membuka mulut. Biarlah! Tenaganya sudah cukup terkuras hari ini. Dia mengetik pesan ke nomor Tomy nomor rekeningnya. Alena yakin handphone Tomy masih dipegang wanita itu. Tak berapa lama pesan terbaca dan dikirim bukti transfer oleh Ria. Alena hanya mengirim pesan terima kasih lalu kembali masuk ke dalam rumah sakit. Ayah sudah duduk, ngotot ingin pulang. Tubuhnya tampak lebih kurus saat ini. “Yah, jangan pulang. Kita pindah rumah sakit ya ... Alena ada uang. Yuk Bu, kita bawa Ayah.” Alena menatap ibunya dan mengangguk, perawat membantu ayah Alena ke mobil ambulance setelah Alena menyelesaikan administrasi. *** Sampai dirumah sakit yang di tuju, Ayah Alena langsung masuk ke ruang UGD dan segera di periksa oleh dokter, memang benar uang bisa berbicara. Kualitas pelayanan rumah sakit swasta itu jelas sangat baik. Bahkan beberapa perawat memperlakukan keluarga Alena bak pasien VIP, mengantar hingga bangsal rawat. Sesaat timbul kegaduhan di ruang UGD ketika Alena menyelesaikan administrasi di depan ruang UGD. Alena tak bisa acuh, diperhatikan orang-orang yang menangis di sana. Menjerit dan tampak terpukul. “Kasihan ya padahal masih muda,” ucap salah seorang perawat yang sedang berdiri di samping Alena dan menyelesaikan sebuah tulisan. Berbicara pada kasir. “Kenapa Mbak?” tanya Alena penasaran, dilihat lagi rombongan itu yang kini ditenangkan oleh perawat dan dokter yang bertugas. “Kecelakaan tunggal mbak, meninggal di tempat. Orangnya cantik pula,” ucap perawat itu, memasang tampang sedih. Entah kenapa Alena merasa meremang? Diusap bulu kuduk nya dan setelah selesai melakukan p********n, dia pun berjalan ke ruang rawat inap ayahnya. Berselisih jalan dengan Rafa. Ya Rafa! *** Rafa ... Rafa masih berkutat dengan pekerjaannya di kantor, waktu sudah semakin malam tetapi dia harus lembur. Hingga dering telepon menghentikan pekerjaannya. Tertera nomor telepon calon ibu mertuanya. “Ya bu, ada apa?” Samar terdengar isakan dari sebrang telepon, tangan Rafa bergetar. Ponsel di tangannya terjatuh. Telinganya mendadak berdenging, kepala berputar-putar rasanya. Dan dia pun terjatuh lemah dengan air mata yang luruh ke pipi.  Rafa berusaha meraih kesadarannya, diambil jaketnya dan ponsel yang terjatuh di lantai. Segera dia mematikan laptop yang tadi dipekurinya. Berlari menuju rumah sakit. Memastikan keadaan calon istrinya. Dengan kecepatan tinggi, motor Rafa melaju membelah jalan. Tak dihiraukan umpatan serta makian pengendara lain yang tak sengaja tersenggol olehnya. Dia hanya ingin cepat sampai tujuan. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang tadi didengarnya. Ditinggal motornya di parkiran, berjalan cepat sampai ke UGD. Dimana terdapat keluarga calon istrinya yang menangis histeris. “Bu,” Panggil Rafa pada wanita paruh baya yang terduduk di lantai sambil menangis. “Rafa ... Rafa nak!! Dinda Rafa... Dinda pergi ... selamany,” isak ibu Dinda. Rafa memeluk ibu Dinda, sosok yang harusnya menjadi ibu mertuanya beberapa minggu lagi itu kian histeris. Mengeratkan pelukan Rafa dan menangis keras. Ayah Dinda dan adik serta kakak Dinda terus saja terisak. Rafa mencoba bangkit, berdiri dan berjalan ke tempat dimana tubuh wanitanya masih terbaring diatas brangkar. Rafa dapat melihat setitik darah di kening wanita yang dicintainya itu. Wajahnya tampak pucat, bibirnya putih. Diseka darah di kening wanitanya, dicium keningnya. Hingga meneteslah air mata rafa membasahi pipi Dinda. Wanita cantik yang akan dinikahinya. Wanita cantik yang kini tak bernapas lagi. “Sayang, bilang kalau ini prank! Sayang ... hei bangun, kita pulang yuk. Hari ini kan kita mau liat undangan kita. Sayang, kamu tahukan berapa lama kita mencita-citakan pernikahan ini? Sayang ...,” Rafa merapikan rambut wanita yang terbujur itu, memegang tangannya yang masih hangat namun penuh goresan. Dinda terjatuh dari motor sepulang kerja tadi, pasti karena kondisi jalanan yang licin akibat hujan. Mungkin dia tak fokus atau mengantuk? Entahlah yang jelas kecelakaan tunggal itu terjadi tepat di persimpangan jalan. Bahkan motor Dinda sempat hampir menabrak mobil dan baru berhenti ketika menabrak pembatas jalan. Tubuhnya lecet terombang ambil di aspal. “Sayang, Dinda nya Rafa ...,” Rafa mencium tangan wanita yang dicintainya, “Ini enggak lucu sayang, sumpah. Aku tahu kamu iseng, kamu jahil sama aku kamu paling suka ngerjain aku ... Tapi beneran kali ini enggak lucu! Bangun Din, bangun sayang. Please bangun....” Ucapan Rafa justru membuat semua yang menyaksikan kian sedih. Tiga tahun mereka berpacaran hingga memutuskan untuk menikah banyak cita-cita yang belum terealisasi. Ibu Dinda mencoba berdiri namun dia terlalu larut akan kesedihannya hingga jatuh pingsan. Beberapa perawat sigap memindahkan ibu Dinda ke ranjang kosong. Rafa mengguncang bahu Dinda, merasakan bahwa di tubuh Dinda masih ada darah yang menetes, mencoba meraih kesadaran wanitanya. Tapi nihil. Dinda telah pergi ke dunia lain. Meninggalkannya dan cita-cita pernikahannya yang bahagia. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, Rafa harus merelakannya, merelakan kebahagiannya terkubur bersama tubuh wanita yang paling di cintainya itu. *** Rafa baru pulang kerumah setelah seharian di rumah duka. Tubuh Dinda sudah dikebumikan pagi tadi, namun sebagai calon pengantin dia merasa perlu berada di sisi keluarga Dinda yang pasti sangat terpukul dengan kejadian ini. Begitu pula dengan dirinya, hampir tengah malam dia sampai rumah. Melihat ibu dan ayahnya yang masih duduk di ruang tamu. Ibunya tampak pucat dengan mata sembab. Bagaimana bisa hal ini menimpa anaknya. Ya kedua anak laki-lakinya. Kakak Rafa, Andre terpaut sepuluh tahun darinya. Sepuluh tahun lalu juga berniat menikah namun calon istrinya meninggal, sehingga Andre memutuskan tak akan pernah menikah lagi dan fokus pada pekerjaannya saja. Usaha digital printing yang dijalaninya semakin sukses, banyak cabang dimana-mana, namun hidupnya hampa. Padahal mereka baru lamaran kala itu. Beda dengan Rafa yang dua minggu lagi seharusnya menikah, semua persiapan hampir rampung hanya saja calon mempelai wanitanya yang pergi lebih dahulu. Ibunya menyalahi diri sendiri, merasa keluarganya dapat kutukan, dia tak mau Rafa hidup dalam kesendirian seperti kakaknya yang kini berusia empat puluh tahun dan betul-betul tak tertarik untuk menikah. Semangat hidupnya hilang bersamaan dengan kekasihnya yang di kebumikan. Jika Rafa ditinggalkan Dinda karena kecelakaan tunggal, beda dengan Andre yang ditinggalkan karena kekasihnya menderita penyakit kanker ovum yang baru diketahui keluarga mereka justru setelah lamaran berlangsung. “Bu,” Rafa duduk di sofa samping ibunya yang rambutnya sudah mulai memutih. “Nasib kamu nak...,” ucap ibu Rafa mengusap punggung anaknya. Isakan terdengar cukup jelas meski ibunya sekuat hati menahan agar tak luruh air mata itu. “Semua salah ibu, pasti ibu pernah melakukan dosa besar. Sehingga anak-anak ibu yang menanggungnya. Pasti itu.” Ibu Rafa menangis di punggung Rafa yang sudah bergetar. “Ibu enggak salah, mungkin memang dia bukan jodoh Rafa.” Rafa menunduk, mengepalkan kedua tangannya jadi satu. Tak mau menangis di depan ibunya. Ayah Rafa terdiam, sesekali menarik napas panjang. “Tidak Andre, tidak kamu, kalian mengalami kehancuran yang sama.” Ibu Rafa masih menangis. Rafa membalik tubuhnya dan mendekap tubuh ringkih ibu yang bergetar karena tangis. Tangan ibu melemah dan dia terjatuh di pelukan Rafa. Rafa panik, begitupun ayahnya. Segera diangkat ibunya ke mobil dan dibawa ke rumah sakit. Memilih rumah sakit yang berbeda dengan rumah sakit tempat terakhir Dinda berada. Setelah diperiksa, ibu Rafa mengalami serangan jantung ringan. Mungkin akibat stres yang dialaminya. Sehingga oksigen tidak mengalir dengan normal ke tubuhnya. Ibu Rafa hanya perlu beristirahat sehari dan besok diperbolehkan pulang. Namun dia terus saja bersedih setelah itu. *** Hari ketiga Rafa masuk kerja, semua teman tampak bersimpati terhadapnya. Termasuk Tomy, mantan suami Alena. Rafa membawa mobil karena tadi pagi harus menjemput ibunya dulu di rumah sakit. Ibunya tampak kalut dan terus saja diam. “Harusnya kamu masih istirahat di rumah, kenapa masuk?” tanya Tomy “Aku kalau dirumah malah kepikiran terus. Enggak apa apa lah menyibukkan diri,” tutur Rafa sambil membuka laptopnya, namun yang pertama dilihat adalah foto prewedding mereka. Hal yang menyakitkan baginya. Rafa menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan, dibuka work yang tak selesai kemarin dan mulai mengerjakan pekerjaannya. Tomy hanya menepuk bahunya pelan dan pergi meninggalkannya. Mereka memang tak terlalu dekat namun beberapa pekerjaan tim yang dilakukan bersama membuatnya menaruh simpati. Lain halnya dengan Alena yang mematung di ruang kerjanya. Pagi tadi sebelum berangkat kerja, dia dipanggil ke ruang dokter spesialis ginjal yang menangani ayahnya. Uang depositnya sudah hampir habis sementara kesehatan ayahnya belum ada peningkatan yang signifikan dan dokter menyarankan untuk operasi dengan biaya yang sangat mahal. Dia berpikir haruskah menjual rumahnya? Rumah yang ditempati keluarganya? Tak mungkin Alena menjual rumah yang dulu ditempatinya bersama Tomy karena rumah itu sudah jelas-jelas berpindah nama menjadi nama Lutfi anak mereka. Sesuai kesepakatan bersama. Gaji Alena tak bisa ditabung karena kebutuhan hidup yang semakin tinggi, Tomypun hanya sesekali mengirimi untuk anak mereka. Alena bekerja di kantor akuntan sebagai tim audit, gaji dia sebenarnya cukup besar apalagi jika dia mengaudit kantor lain atau pergi keluar kota biasanya dia dapat bonus yang cukup besar. Namun dia membiayai keluarganya karena ayahnya pun sudah tidak bekerja lagi. Hari ini setelah mengunjungi ayahnya di rumah sakit, dengan diantar mobil kantor dia pergi ke tempat klien untuk mengaudit perusahaannya. Tak terlalu jauh dari gedung tempatnya bekerja. Itu sebabnya dia bisa kembali ke kantor sebelum jam pulang kerja. Mobil di parkir di basement, lift yang terhubung langsung dengan kantornya berada di lantai satu, sehingga dia lebih suka naik tangga darurat untuk naik ke atas. Saat itu dia mendengar isakan tangis suara pria, dan di sinilah kisah itu dimulai. Perkenalannya dengan Rafa, seseorang yang akan menjadi calon suaminya kelak. Menggantikan Dinda, kekasih Rafa yang meninggal dunia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN