9. First Impression, Lakesha

1180 Kata
Alun beserta para sahabatnya kini sedang berada di ruang ganti karena hari ini dijadwalkan mata pelajaran olahraga. Mereka berempat terlihat bingung sekali karena sampai sekarang, Celine tak kunjung menampakkan diri. “Mana Celine kok belum datang?” risau Agnes saat mengetahui temannya tak ada di antara mereka. Alun melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. “ lewat 30 menit tapi dia gak kasih kabar.” Tiba-tiba terdengar nada dering dari salah satu ponsel, membuat seluruh siswi yang ada di ruang ganti tersebut kaget. 0812386xxxxxx is calling... Jesslyn mengernyit saat melihat nomor asing menghubunginya. Namun tak ayal ia juga mengangkatnya karena takut jika ada informasi penting. “Ya?” “...” “Dengan siapa ini?” “...” “Baik, saya akan segera kesana.” Tut “Kenapa?” tanya Alun setelah Jesslyn mematikan sambungan teleponnya. Tiba-tiba saja tubuh Jesslyn bergetar ketakutan. Berbanding terbalik ketika sedang melakukan panggilan tadi. “Ce—Celine ... dia ditemukan di pinggir jalan, dalam keadaan babak belur.” “b*****t!!!” terik Alun penuh amarah kemudian melenggang keluar dari sana. Grace yang menyadari situasi pun langsung menekan tombol pertanda berkumpul di aplikasi Clickstone miliknya. Tangannya memberi kode kepada Jesslyn dan Agnes untuk segera keluar karena harus mengecek Celine. Ketika keluar, ketiga gadis itu sudah dihadang para anggota STONE yang siap dengan tasnya masing-masing. “Ke rumah sakit, Celine dikeroyok,” perintah Jesslyn datar. Mendengar apa yang diinfokan oleh Jesslyn, mereka semua bergerak sesuai dengan tugasnya masing-masing. Termasuk Ardo sebagai Brainemos yang langsung menyadap CCTV dari jendela mobil milik Celine seraya menuju mobilnya. “Ardo, cek semua jangan sampai ada yang tertinggal,” peringat Kenand karena dia juga perlu jawaban valid dari Ardo sebelum menyusun rencananya. *** Di depan ruangan UGD, seorang pemuda ditemani beberapa sahabatnya sedang menunggu dokter keluar. Sudah satu jam lamanya mereka menunggu disana namun tak ada satupun dokter yang keluar dari ruangan. Pikiran mereka mulai ketar-ketir mengingat gadis yang tadi diselamatkan sepertinya dalam keadaan kritis. “Bule, lo udah kabarin keluarganya belom? Gue takut kalau dituduh celakain tuh cewek,” tanya salah satu temannya yang bernama Romeo. Pemuda yang dipanggil ‘bule’ tadi hanya menggeleng. Dia tak berpikir sejauh itu apalagi hanya untuk menghubungi pihak keluarganya. Yang ada dipikirannya hanyalah cepat tiba di rumah sakit agar gadis itu segera mendapatkan penanganan. “Kabarin siapapun, cari di last calling dari ponselnya. Setidaknya keluarganya gak khawatir sama kondisinya,” saran Romeo seraya menepuk bahu pemuda itu. Pemuda itu bergeming dengan saran Romeo. Ada benarnya juga saran sahabatnya itu. Bisa jadi sekarang keluarganya sedang kelimpungan mencari sanaknya yang tak bisa dihubungi. “...” “Tolong ke rumah sakit bakti husada, sekarang.” “...” “Nanti saya jelaskan ketika anda sudah berada disini.” Tut Setelah sambungan telepon terputus, pemuda itu menghampiri Romeo yang kini bersantai di kursi panjang. “Udah lo kabarin, Gin?” tanya Romeo ketika sahabatnya mengambil posisi. “Udah, entah mereka percaya atau tidak dengan penjelasan saya,” jawab Gino. “Keluarga pasien?” 30 menit setelah Gino menghubungi keluarga gadis tadi, seorang pria berjas dokter akhirnya keluar dari ruangan. Melihat itu, Gino dan Romeo langsung bangkit dari duduknya. “Maaf, dok, keluarganya masih dalam perjalanan,” jelas Romeo meskipun entah, benar atau tidak. “Ayo cepetan ke UGD!” “Aturan tadi kita nanya dulu b**o, bukan langsung seenaknya gini!” Obrolan antara dokter dengan Gino dan Romeo harus terhenti saat mereka mendengar keriuhan sekelompok siswa-siswi dari salah satu sekolah. “Permisi, apakah di UGD ada pasien bernama Celine?” Seorang pemuda dari salah satu kelompok tadi menghampiri dokter. “Pasien atas nama Celine Adinata baru saja selesai diperiksa. Apakah anda anggota keluarganya?” sahut dokter tadi penuh harap. “Saya Kakaknya.” Mendengar jawaban pemuda di depannya, dokter tadi segera mengajaknya masuk untuk memperlihatkan kondisi pasien. Setelah kedua pria berbeda generasi tadi berlalu, kini tersisa anak STONE dan dua orang yang tadi menolong Celine. “Thanks udah bantuin sahabat gue,” ucap Landra mengawali dan menunjukkan jika dia adalah pemimpin yang tau cara berterima kasih. Merasa diajak berbicara, Gino menoleh dan tersenyum tipis. “Sudah menjadi tugas kita semua untuk saling menolong.” Landra mengangguk. “Kenalin gue Landra, mereka semua sahabat gue.” “Saya Gino,” balas Gino mengulurkan tangannya, “senang berkenalan denganmu.” “Lo bukan orang sini?” basa-basi Landra ketika melihat wajah Gino. “Saya baru tiba di Indonesia kemarin. Rencananya hari ini akan ke sekolah baru untuk mengurus surat pindah bersama sahabat saya,” tutur Gino seraya menatap kelima sahabatnya. Mereka semua mulai bersalaman satu-persatu dan melakukan tos khas pria. “Lo anak geng?” tanya Grace ketika melihat penampilan Gino dan para sahabatnya. Gino dan sahabatnya mengangguk karena memang itulah kenyataannya. Mereka tak pernah menutupi jati diri yang selama ini mereka emban. “Saya dari LAKESHA.” Cklek! Atensi mereka semua teralihkan saat mendengar pintu ruang UGD terbuka dari dalam. Muncul Ardo dengan wajah yang sedikit lebih lega daripada sebelumnya. “Gimana, Ar?” cecar Grace khawatir. Lainnya turut mengerubungi Ardo yang bahkan masih menutup pintu. Mereka harap-harap cemas menunggu jawaban yang akan dilontarkan oleh otak dari STONE. “Celine udah baikan, hanya saja untuk demamnya ... dia memang sebelum berangkat udah sakit duluan,” jelas Ardo mengingat penjelasan dokter tadi bahwa Adiknya sedang demam tinggi. “Celine sakit? Terus gimana sekarang? Apa udah bisa dijenguk?” Riel mencecar. Ardo menatap mereka semua kemudian mengangguk. “Tapi nanti setelah dipindahkan ke ruang rawat.” *** Disinilah mereka semua sekarang, ruang rawat Celine. Setelah berbagai negosiasi, para anak STONE akhirnya diizinkan oleh Ardo untuk membolos sekolah. “Cel, tumbenan banget lo sakit?” Grace yang dalam mode nganggur pun menghampiri sahabatnya. Tak hanya Grace, Alun sebagai Adik dari sang ketua turut mendekati ranjang dimana Celine terbaring lemah. “Namanya juga manusia, pasti sakit lah,” sahut Jesslyn memutar matanya jengah. Pertanyaan Grace benar-benar tidak berbobot. Jesslyn yakin jika Celine dalam keadaan sehat, pasti dia akan mengeluarkan lakban untuk menyumpal mulut sahabatnya. Sementara di sofa, Agnes terlihat sibuk dengan buku tugasnya. Sekalipun mereka hari ini tidak masuk, pekerjaan sekolah dari guru tetaplah ada. Riel yang penasaran langsung menghampiri gadis cupu itu. Walau penampilannya berubah, dalam pandangan Riel gadis itu masih terlihat cupu. “Cupu, lo ngerjain apa dikerjain, sih?” tanya Riel mengintip apa yang sedang dikerjakan. Agnes mendongak menatap heran Riel. “Maksud kamu?” Semua yang ada disana juga mengalihkan perhatiannya pada Agnes dan Riel. Mereka berpikir, apalagi yang akan dilakukan oleh Riel demi memancing keributan. “Ya itu, kan lo tau kalau kita semua hari ini bolos, tapi lo malah sibuk sendiri ngerjain tugas. Apa namanya kalau gak dikerjain? Aturan, tugas hari ini ya hari ini, gak ada nabung buat besok,” seloroh Riel menjengkelkan. Alun yang mendengar celotehan sahabatnya seketika geram. Sedangkan Agnes, dengan polosnya begitu mempercayai ucapan Riel. “Gitu, Riel? Jadi kalau kita bolos, gak perlu ngerjain apa-apa?” sahut Agnes, matanya begitu polos melihat Riel. Seluruh orang yang ada di ruangan langsung menepuk dahinya tak percaya. Mengapa Agnes yang notabene pandai karena anak beasiswa, harus percaya dengan ucapan setan seperti Riel? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN