Namaku Khoerul Anam. Kalian bisa memanggilnya Anam, Arul seperti Mamak dan keluargaku memanggilku. Usiaku menginjak dua belas. Cita-citaku? Ada baiknya kalian tanyakan itu ketika aku masih SD. Langsung kujawab ingin punya uang banyak, bisa beli apa saja yang kumau, membahagiakan Mamak dan Bapak, dan satu lagi yang tidak boleh ketinggalan, ingin masuk surga.
Guru di sekolah sering memanggilku dengan sebutan Si Pembuat Onar bersama dengan kedua temanku yang lain, Dodi dan Anto. Aku belum paham betul tujuanku sekolah untuk apa selain bersenang-senang selain mengerjai guru, minggat saat jam pelajaran berlangsung, atau mengambil handuk murid-murid yang berada di pondok sebelah sekolah saat sedang mandi. Bagiku melakukan aktivitas seperti itu setiap hari begitu menyenangkan.
Tidak jarang, saat pelajaran kosong entah sedang rapat atau guru yang bersangkutan tidak masuk kelas, Dodi dan Anto mengajakku pergi ke luar area sekolah.
“Psssttt, psstttt .” Dodi menjawil-jawil lenganku. Aku menoleh ke arahnya, bertanya ada apa.
“Aku dengar pelajaran Bu Wilis nanti kosong. Kita mau ke mana, hah ?” tanya Dodi padaku.
Anto yang berada di belakang juga ikut-ikutan bertanya,“Iya, heh , mau ke mana kita?”
“Diam sajalah di kelas. Aku sedang malas ke mana-mana,” jawabku tak bersemangat sembari membenamkan muka ke atas meja.
“Ah dasar ngga asik banget nih si Arul,” ketus Anto.
“Iya nih , tumben banget dia begini,” Dodi menambahi.
“Hey, hey , aku lelah sangat kalian tahu? Semalam aku begadang bantu mamak buat ketupat.”
Mendengar itu, Dodi tertawa terpingkal-pingkal.
“Heh, Anto, kau tengok lah kawan kau satu ini. Dia lucu sekali. Dasar anak Mamak,” serunya meledekku.
Anto yang di belakang ikut berseru-seru, mendorong-dorong kursi yang aku duduki.
“Hahahah, anak rajin. Mamakmu pasti bangga.”
“Sudahlah kalian berdua! Aku mengantuk, tahu!” sahutku keras sampai terdengar ke seluruh penjuru kelas. Dan mereka serempak menoleh ke arahku.
“Wah, Anam, tidak biasanya kau seperti itu. Biasanya begitu tahu ada jam kosong, kau langsung lari keluar,” sahut Nina, sang ketua kelas, sengaja menyindir.
Yang lain ikut tertawa. Karena suasana kelas begitu gaduh, aku akhirnya memutuskan untuk ikut saran Dodi, bangkit dari duduk dan keluar kelas.
“Kita mau ke mana?” tanyaku pada akhirnya.
“Ke luar sajalah ayok ,” ajak Dodi. Tanpa menunggu persetujuan kami, dia sudah memanjat tembok keliling setinggi dua meter.
“Heh , kau nekat betul, Di,” seru Anto.
“Malas sangat aku menggarap soal dari nenek lampir itu.” Dodi menjawab dengan raut wajah kesal.
Seseorang yang dipanggil nenek tua oleh Dodi tidak lain adalah Bu Wilis, guru mata pelajaran Fisika sekaligus wali kelas kami. Beliau memang kerap kali memberi tugas bejibun ketika ada halangan mengajar di kelas. Sebetulnya beliau belum terlalu tua. Usianya mungkin sekitar empat puluhan. Tetapi entah kenapa Dodi lebih suka memanggilnya dengan sebutan nenek lampir.
“Tapi lebih enak kita duduk-duduk saja di kantin kan, Di?” Anto memberi usul sembari memegangi perutnya yang mulai lapar.
“Memang kau ada uang?” Dodi melirik ke arah Anto. Yang dilirik hanya cengar-cengir, memamerkan rentetan giginya yang menguning.
“Dan kau, Rul?” Kali ini Dodi bergantian melirik ke arahku.
Aku menggeleng. Jelas aku tidak punya uang karena sudah tiga hari ini Mamak tidak memberiku uang saku.
“Nah , baiklah, sudah kuputuskan,” Dodi mengepalkan tangannya bersemangat. “Kita akan pergi ke kebun pepaya milik Pak Saman.”
Pak Saman adalah salah satu tetangga Dodi. Beliau memiliki banyak kebun yang luasnya entah berapa hektar. Salah satunya adalah kebun pepaya California.
“Hah , pepaya?” kataku dan Anto hampir bersamaan.
“Ya, pepaya, kalian lapar, ‘kan?”
Aku dan Anto serempak mengangguk setuju. Dodi memang paling peka terhadap masalah kami dan sangat bisa diandalkan. Tidak sia-sia kami memilihnya sebagai ketua geng.
Siang itu, sinar matahari ganas menyengat ubun-ubun. Kami bertiga memetik empat buah pepaya yang hampir masak setelah melompati tembok sekolah dan berjalan beberapa ratus meter.
Dodi sudah menyiapkan sebilah pisau kecil di dalam sakunya yang akan ia gunakan untuk menyayat kulit buah pepaya. Kami lalu membawa buah curian itu ke gubuk dekat kebun Pak Saman. Seketika kami semua melahap rakus sebelum ada yang memergoki kami.
“Ah, enak betul buah pepaya ini,” cerocos Anto yang mulutnya belepotan akibat sari buah.
“Hey, Anto! Kau telan dululah sebelum bicara!” suruhku karena merasa terganggu dengan suaranya yang terdengar aneh.
“Ma-maaf, Rul. Sebab memang enak betul kan pepaya ini?” Anto lagi-lagi berbicara ketika mulut penuh.
“Tapi jangan gitu jugalah,” sahutku ketus padanya.
“Hey, hey , sudah-sudah. Kau ini macam perempuan datang bulan lah, Rul. Disenggol sedikit saja sudah marah-marah,” kata Dodi mencoba menengahi.
“Iya, tidak seperti biasanya. Kau ada masalahkah?” tanya Anto. Kali ini tidak dengan mulut yang penuh.
Aku menggeleng. Memang rasanya hari ini mood ku entah mengapa terasa sangat buruk. Aku sedikit merasa bersalah telah melampiaskannya kepada teman-temanku.
Daging serta dari buah ini sedikit menuntaskan rasa lapar dan dahaga. Kerongkonganku juga tidak lagi kering seperti sebelumnya. Kulihat Anto membersihkan mulutnya dengan ibu jari, sementara Dodi masih sibuk memakan sebuah lagi. Tidak heran, badannya kini paling bongsor di antara aku dan Anto.
“Ah, kenyang sekali aku. Tidaklah sia-sia idemu itu, Di,” puji Anto sambil bersendawa keras.
Aku melempar kulit pepaya tepat mengenai mulut Anto.
“Kurang asem kau, Rul!” kata Anto bersungut-sungut.
Melihat ekspresinya, aku jadi tertawa terbahak-bahak. Dodi ikut tertawa. Suasana hatiku sudah jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
“Habis ini kita mau ke mana lagi?” tanyaku mengalihkan topik. Berharap otot-otot di wajah Anto perlahan mengendur.
“Balik sajalah kita.” Dodi mendongak memperhatikan matahari yang mulai condong ke arah barat. “Anak-anak lain mungkin juga sudah balik,” sambungnya.
Pelajaran Fisika hari ini memang berada pada dua jam pelajaran terakhir. Maka dari itu kami bertiga berani bolos sekolah sebab tidak akan membuat curiga guru lain, termasuk Bu Wilis. Sementara teman-teman sekelasku tidak akan repot ditanya ke mana kami tidak ada di kelas.
Usai pesta pepaya tadi, aku, Dodi, dan Anto sepakat membuang kulit pepayanya dalam tumpukan daun kering untuk meninggalkan jejak. Sejauh ini, aku tidak melihat ada orang yang melintasi kebun milik Pak Saman karena memang jauh dari perkampungan.
Aku berpisah dengan Dodi dan Anto di pertigaan jalan. Melanjutkan perjalanan pulang sendiri di antara pohon-pohon karet yang tinggi menjulang sembari bersenandung lirih mengusir rasa bosan.
Berkawan dengan mereka memang sebuah keberuntungan. Aku dapat melakukan hal-hal yang mungkin tidak dapat dirasakan oleh orang anak-anak lain. Namun, keseruan itu hanya berefek beberapa jam ke depan. Kelak, aku amat menyesali perbuatanku hari ini. Tanpa kusadari, sebercak noda oranye yang menempel di bagian d**a seragam sekolahku menjadi awal petaka di hidupku. Membuat Bapak teramat kecewa. Membuat Mamak menitikkan air mata.