1. Sentuh Aku, Alexis!
Malam itu, keheningan kamar kerja Alexis Rumanov, 30 tahun, terasa begitu berat. Di luar, hujan rintik mulai turun, membasahi jendela yang memantulkan cahaya lampu-lampu kota yang jauh. Alexis berdiri dekat jendela, memandangi pemandangan kota yang tak pernah lelah bersinar.
Namun, di dalam dirinya, ada kegelapan yang tak bisa ia padamkan. Kesepian yang menggerogoti, meski kekayaan dan kesuksesan ada di ujung jari. Dunia ini seolah terlalu luas, terlalu sepi untuk seorang pria yang sudah lama menutup hatinya.
Namun, ketika suara langkah kaki ringan itu menyentuh telinganya, ada sensasi yang berbeda. Fiona Vanderbilt, 24 tahun.
Gadis itu muncul di balik bayangan, dengan senyum yang selalu mampu mencairkan segala ketegangan yang ia coba bangun. Tanpa berkata sepatah kata pun, Fiona sudah bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya. Setiap kali mereka bersama, dunia terasa lebih dekat, lebih nyata.
"Alex, kau lagi di sini?" Suaranya yang lembut menyusup ke dalam kesunyian, membuat Alex menoleh.
Fiona berdiri di ambang pintu, matanya menyiratkan kehangatan yang selalu ia bawa ke dalam setiap ruangan. Tapi, ada sedikit rasa khawatir di balik pandangannya yang lembut. Dia tahu, malam ini ada sesuatu yang membuat pria itu terperangkap dalam dunia kesendiriannya yang gelap.
"Seperti biasa," jawab Alexis datar, meski hatinya sedikit terganggu oleh kedekatannya.
Namun, Fiona tidak mundur. Dia tahu cara mendekati pria yang membangun tembok begitu tinggi di sekitar dirinya, meskipun mereka sudah terikat satu sama lain.
Langkah Fiona pelan namun pasti, mendekat dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. "Kenapa nggak coba istirahat sebentar? Kau bisa jadi lebih manusiawi kalau sesekali berhenti kerja keras begitu," katanya, sembari mendekat hingga hanya beberapa inci saja jarak di antara mereka.
Alexis menatap Fiona, ada sedikit rasa hangat yang menyelusup ke dalam dirinya. Namun, ia tetap berusaha keras menahan perasaan itu. Fiona tak mengenal kata menyerah.
"Satu jam saja," Fiona bersikeras, senyum tipis menghiasi bibirnya, matanya bersinar dengan kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan.
Tanpa berkata apa-apa, Alexis menarik tubuh Fiona ke dalam pelukannya dengan gerakan cepat namun lembut, seolah ia tak ingin membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja. Fiona terkejut sejenak, sebelum akhirnya tubuhnya benar-benar terpangku dalam dekapan pria itu.
Mereka terdiam sejenak, saling menatap dalam keheningan yang begitu intens. Ada kekuatan yang tak terlihat mengalir di antara mereka, menyatu dalam setiap detak jantung yang serempak. Fiona merasa hangat di dalam pelukan Alexis, sementara pria itu, yang biasanya dingin dan terjaga, tak mampu menahan perasaan yang perlahan meleleh di dalam dadanya.
Fiona tersenyum lembut, tangannya menyentuh wajah Alexis, mengangkat dagunya agar mata mereka bertemu. "Kau tahu, aku selalu di sini, kan?" katanya, dengan nada yang lebih dalam dari biasanya, seperti sebuah janji yang mengalir begitu tulus.
Alexis menatapnya, dan dalam sekejap, dunia mereka seakan berhenti berputar. Tanpa kata-kata, ia menarik tubuh Fiona lebih dekat lagi, membiarkan gadis itu duduk di pangkuannya. Suasana yang semula dipenuhi oleh ketegangan dan kesunyian, kini berubah menjadi sesuatu yang lebih intim, lebih penuh makna.
"Jangan pergi, Fiona," bisik Alexis, suaranya serak, penuh perasaan yang jarang ia tunjukkan. Matanya tetap terkunci dalam mata Fiona, seolah menahan agar gadis itu tak menjauh.
Fiona tertawa kecil, suaranya lembut seperti petikan harpa, dan matanya berbinar. "Aku tidak ke mana-mana," jawabnya sambil membenamkan kepalanya di d**a Alexis, merasa hangat di dalam pelukannya.
Di dalam pelukan itu, Alexis merasakan ada sesuatu yang begitu berbeda. Ada kenyamanan yang ia rasa begitu jarang, sebuah kehangatan yang mengalir begitu alami di antara mereka berdua. Untuk pertama kalinya, dia merasa tenang. Ia merasa dunia ini tidak terlalu berat untuk dipikul sendirian.
Sehangat dekapan itu, Alexis tahu bahwa untuk pertama kalinya, ada seseorang yang bisa menyentuh sisi lembut dalam dirinya yang selama ini terkunci rapat. Dan Fiona, dengan segala keceriaannya, telah berhasil membuka pintu itu, membawa kehangatan ke dalam hati yang telah lama membeku.
Fiona tersenyum kecil, senyumnya penuh arti, duduk dengan nyaman di atas pangkuan Alexis. Jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, menarik-nariknya dengan gerakan yang ringan namun penuh maksud. Ada kilatan nakal di matanya, sesuatu yang membuat Alexis menahan napas.
"Alex, kau tahu..." Fiona memiringkan kepalanya, matanya bersinar seperti bintang yang bersaing dengan lampu-lampu kota di luar jendela. "Kau terlalu tegang. Padahal, aku di sini untuk memastikan kau tidak lagi memikul dunia sendirian."
Nada suaranya lembut, namun ada sentuhan sensual di setiap kata yang ia ucapkan. Alexis menatap gadis itu, mencoba mempertahankan ketenangan. Tapi sentuhan jemari Fiona di lehernya, tatapan hangatnya yang begitu dekat, perlahan meluluhkan semua dinding yang selama ini ia bangun.
"Fiona," Alexis mencoba memperingatkan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Tapi gadis itu hanya tersenyum lebih lebar, jelas menikmati setiap detik dari permainan kecil ini.
"Ya?" jawabnya, suaranya lembut namun menggoda. Ia mendekatkan wajahnya, cukup dekat hingga Alexis bisa merasakan napas hangat Fiona menyentuh kulitnya. "Kau terlihat sangat serius malam ini. Boleh aku... mengalihkan pikiranmu sebentar?"
Alexis mengangkat dagu Fiona dengan lembut, memaksanya untuk menatap mata birunya yang tajam. Fiona terdiam sejenak, napasnya tercekat ketika ia merasa terperangkap dalam tatapan Alexis yang intens.
"Kau tidak tahu apa yang sedang kau mainkan, Fiona," gumam Alexis, suaranya serak, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.
"Aku tahu persis," Fiona menjawab dengan bisikan lembut, bibirnya nyaris menyentuh bibir Alexis.
Detik itu, waktu seakan berhenti. Tanpa peringatan, Alexis mendekatkan wajahnya dan menangkap bibir Fiona dalam sebuah ciuman yang dalam, penuh gairah yang selama ini terpendam. Ciuman itu lembut pada awalnya, seakan Alexis takut melukai sesuatu yang begitu rapuh. Tapi seiring waktu, rasa yang tertahan selama ini meledak, membuat ciuman itu semakin dalam dan penuh hasrat.
Fiona terkejut sejenak, tapi dengan cepat membalas. Tangannya melingkari leher Alexis, menariknya lebih dekat, sementara jari-jarinya menyusup ke rambut pria itu. Ada perasaan yang mengalir di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Hujan di luar jendela terus rintik, seolah menjadi irama lembut yang mengiringi momen mereka. Lampu kota yang jauh menjadi saksi bisu dua jiwa yang saling menemukan kehangatan di tengah kegelapan malam.
Ketika akhirnya mereka berhenti, hanya untuk menarik napas, Alexis menatap Fiona dengan intens. Wajah gadis itu memerah, matanya berbinar dengan emosi yang tak mampu ia sembunyikan.
"Kenapa kau selalu bisa melakukan ini padaku?" tanya Alexis, suaranya bergetar.
Fiona tersenyum kecil, jemarinya menyentuh lembut pipi pria itu. "Mungkin karena aku tahu... siapa dirimu yang sebenarnya, Alex. Aku tahu pria di balik semua topeng ini."
Alexis menelan ludah, merasa hatinya melunak lebih dari yang pernah ia izinkan. Dalam pelukan Fiona, ia menemukan sesuatu yang selama ini ia pikir tidak ada—kehangatan yang tulus, cinta yang tanpa syarat.
Dan malam itu, di kamar kerjanya yang biasanya dingin, Alexis menyadari bahwa dunia tidak lagi terasa terlalu luas atau sepi. Karena di sana, di pangkuannya, ada seseorang yang telah menjadi dunia barunya.
"Do you want to repeat something interesting tonight?" Fiona duduk santai di atas pangkuan Alexis, tubuhnya sedikit condong ke depan.
Matanya menatap langsung ke mata Alexis, seperti percikan api kecil menyala di balik irisnya. Senyumnya tipis, menggoda dengan sudut bibirnya sedikit terangkat.
Alexis menyeringai, kedua tangannya memegang erat sisi pinggang Fiona. "Isn't this an attractive offer?"
"Of course, I want you touch me. So ... sentuh aku, Alexis!"