Tujuh

1024 Kata
*** Sam mengganti pakaiannya, sementara Maggie duduk di kursi depan cermin besar di kamar lelaki itu. Maggie tidak sedang bercermin, ia sedang memandangi foto yang tertempel di kaca cermin itu. Di dalam foto terdapat keluarga kecil nan bahagia. "Apa ini foto keluargamu?" Tanya Maggie ragu. Sam melirik wanita itu sebentar lalu mengerutkan keningnya. "Aku tidak percaya hal yang berkaitan dengan keluarga. Aku tidak ingin membahas hal semacam itu," Jawab Sam dengan malasnya. Dia tidak ingin hal pribadinya dibagi dengan Maggie. Hal itu sungguh menyedihkan untuknya. Mata Maggie membulat, Dia tidak percaya kalimat seperti itu keluar dari bibir seorang Sam. Meski tak bisa ia pungkiri bahwa ia sendiri bukanlah anak penurut, Dia adalah pembangkang. "Ada apa denganmu? Kau tidak menyukai keluargamu sendiri?" Tanya Maggie penasaran. Selalu ada alasan dibalik sebuah tembok kebencian.  Dan dia yakin bahwa Sam punya masa kecil yang buruk atau semacamnya. Dia melirik lelaki itu dengan pandangan penuh tanya. Sam masih terdiam membuat Maggie merasa terabaikan. Sam menatap dirinya di cermin. "Aku mengidap disleksia sejak kecil," ucap Maggie seketika. Dia mengungkapkan kekurangannya pada Sam berharap lelaki itu juga mau berbagi cerita. Disleksia adalah penyakit yang tak bisa membaca atau gangguan sulit belajar. Karena disleksianya itu Maggie tak bisa mengontrol emosinya, dia cenderung cepat tersinggung. Dia terbiasa diejek tak bisa belajar sampai membuatnya tumbuh menjadi pemarah. Sam memandangi Maggie dengan pandangan tak percaya. Lelaki itu berpikir beberapa saat, mengingat kejadian-kejadian yang berkaitan dengan penyakit wanita itu. "Kau bisa mengakhiri hubungan ini. Aku bukanlah wanita sehat. Aku punya penyakit serius," kata Maggie dengan nada merendah. Kalimat itu keluar dari bibirnya hanya untuk memancing Sam berbagi cerita. Dia tahu bahwa Sam adalah lelaki nan baik hati. Tak ada kata yang keluar dari bibir Sam. "Kau diam, Kurasa kau menyesal. Tak ada yang menginginkan wanita sepertiku. Aku cacat dan tidak normal, aku berpenyakitan," kesal Maggie. Dia kembali merendahkan dirinya. Wanita itu berjalan menuju pintu. Dia ingin meninggalkan Sam. Sekarang semuanya terasa seperti akhir dari cerita cintanya. Memulaipun tidak dan akhir menyapa mereka. Aku pernah percaya bahwa cinta itu buta, tapi ternyata cinta tidak buta. Matanya sangat tajam, cinta adalah bagaimana kau tampil sempurna. Semakin sempurna parasmu maka semakin banyak orang yang menyukaimu. - pikir Maggie Elsa Gomez Harapan Maggie hampir hilang, untungnya Sam menarik tangannya dan mendekapnya. Pelukan itu sangat erat. Sam membelai rambut pirangnya. "Aku mencintaimu apa adanya. Ketika aku mencintai kelebihanmu, maka aku harus siap mencintai kekuranganmu juga," Kata Sam lembut nyaris tak terdengar. Suara serak itu sangat rendah nyaris seperti bisikan. "Kau akan menyesal, Sam. Aku disleksia, dan dampak yang ditimbulkan penyakit itu adalah aku akan cepat marah. Aku bisa marah hanya karena hal kecil. Sejak kecil aku sulit mengerti pelajaran, teman-temanku mengucilkanku hingga aku menjadi cepat marah. Kau belum mengenalku sepenuhnya," jelas Maggie. Obrolan yang tadinya pancingan berubah menjadi percakapan yang serius. Sam mencium kening Maggie, membuat wanita itu merasakan sesuatu yang berbeda. Perlakuan Sam membuatnya mengerti apa itu cinta. Meski dia juga tidak yakin apakah Sam memberinya cinta atau tidak. Apakah lelaki itu hanya mempermainkannya atau tidak. "Aku juga tidak sempurna. Aku punya gangguan jiwa yang lebih parah. Aku adalah pria berhati dingin, dan ketika orang lain mengusikku maka aku akan membalasnya dengan perbuatan yang lebih menyakitkan hati. Aku .. aku tidak sempurna. Semua wanita yang kukencani meninggalkanku ketika aku mengatakan kekuranganku ini dan mungkin kau juga salah satunya," balas Sam pasrah. Bersama Maggie ia merasa nyaman. Lidahnya mengucapkan kalimat itu begitu saja. Dia tidak tega mendengar Maggie merendahkan diri sendiri. Maggie melotot saat mendengarnya. Inikah rahasia Sam? Pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Sam mengeratkan pelukannya pada tubuh Maggie. Dia tak ingin wanita itu pergi meninggalkan dirinya. Jika ini adalah pelukan terakhirku, maka aku tak akan melepaskan dirimu. Aku tidak bisa melukai diriku sendiri. Aku takut menjalani hidupku, Maggie. Aku monster, dan suatu saat aku bisa membuatmu berada dalam bahaya. Batin Sam Maggie melepas pelukan Sam. Raut wajahnya berubah dan Sam tidak tahu makna dari mimik wajah itu. "Jadi selama ini kau membohongiku? Kau menyewaku karena tak ada yang menginginkanmu? Kau melakukannya karena kau kaya dan aku miskin? Kau memamfaatkan keadaanku?" Tanya Maggie dengan kumpulan pertanyaannya. Sam diam seribu bahasa. Mungkinkah ini pertemuan terakhirnya dengan Maggie? Dia memandangi Maggie penuh penyesalan. "Maafkan aku." Kata Sam menyesal. Dia tidak tahu jika pada akhirnya Maggie akan membencinya. Dia pikir bahwa Maggie berbeda dengan kumpulan perempuan di dunia ini. Dia merasa bahwa Maggie akan menerimanya apa adanya, dan ternyata ia salah. Maggie kembali memeluk tubuh Sam. "Kenapa kau tidak mengatakannya lebih awal? Aku tidak akan ragu dengan cintamu jika aku tahu. Kita sama dan aku yakin kau tidak akan menyakitiku. Pada awalnya, Aku takut mencintaimu. Aku takut mencintai pria sempurna. Bayangan tercampakkan selalu membumbuhi otakku. Dan kini semuanya berubah," jelas Maggie sambil mengukir senyum di bibirnya. Kau tidak marah?" Tanya Sam pada wanita itu. Dia melepas pelukannya agar bisa menatap mata Maggie. Dia ingin melihat kesungguhan wanita itu. Wajah Maggie berseri, mata hazelnya menjelaskan bagaimana perasaannya. Dia menyukai Sam apa adanya, menyukai kekurangan lelaki itu. Tak ada keraguan sedikitpun yang muncul di mata Maggie. Maggie mengangguk. "Aku sama sekali tidak marah. Aku merasa bahwa aku semakin menyukai hubungan ini. Kita adalah pasangan gangguan jiwa. Kita tidak gila tapi semua orang menjauhi kita. Aku suka persamaan kita ini," jawab Maggie lantang. Sam merasa jawaban Maggie sangat benar. Dia setuju dengan perkataan wanita itu. "Terima kasih untuk jawabanmu. Aku senang kau tidak marah padaku," ucap Sam tulus. Maggie mengukir senyum indahnya yang cantik. Sam membalas senyuman wanita itu. Kini Sam menggenggam tangan wanita itu. Perlahan ia menciumi jari-jari kecil milik Maggie. "Aku berjanji akan memamfaatkan semua waktu yang kau berikan. Aku akan setia padamu. Aku akan menjagamu. Aku tidak peduli dengan penyakitmu itu. Aku menerima semuanya. Bagaimana denganmu? Apa kau bisa menerima kekuranganku?" Tanya Sam. Pertanyaan itu bagaikan ikrar di depan pendeta. Seakan ia sedang berada di dalam gereja yang yang tenang. Maggie nyaris tertawa mendengarnya. Wanita itu menahan tawanya karena ucapan Sam. Maggie sumringah memuculkan aura kecantikan dalam dirinya. "Aku akan menerima kekuranganmu juga. Ketahuilah aku tidak sempurna. Aku abnormal, semua orang menjauhiku dan kau tidak. Kau menerima diriku apa adanya. Terima kasih atas cinta yang sangat berlimpah yang kau berikan." Ucap Maggie tulus pada Sam. Kebahagiaan kembali menyapa keduanya. Inikah tanda bahwa mereka akan bersatu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN