01 : Sri dan Arraja

1108 Kata
PROLOG            “Kamu selingkuh, Sri?” tuduh Nyonya Emmy, galak.            “Anu … bukan bermaksud begitu, Mi. Saya tak sengaja melakukannya,” elak Sri ketakutan. Mertuanya memang menyeramkan. Dia tak salah saja sikapnya sudah ketus, apalagi ketika membongkar aib menantu yang dibencinya!            PLAK!            Sri mengelus pipinya yang terasa panas ketika mertua perempuannya menampar dengan keras. Tak ada yang membelanya, bahkan suaminya yang kini tengah berlindung di balik punggung mertuanya.            “Mana ada maling mengaku? Selingkuh itu ya selingkuh! Dasar perempuan murahan! Ngaku, kamu selingkuh sama siapa?” cecar Nyonya Emmy.            Sri menggeleng dengan airmata berderai. “Saya tak tahu, Mi,” akunya jujur.            Atas kejujurannya Sri mendapat ganjaran keras. Nyonya Emmy menjambak rambut panjangnya dengan geram.            “Perempuan b***t! Kamu sudah tidur dengan banyak lelaki toh? Sampai tak bisa menyebutkan nama lelaki yang menidurimu! Dasar perempuan gatelan kamu!”            Makian itu membuat hati Sri perih tak terkira. Selama ini dia telah mengabdikan dirinya pada sang suami dan keluarga besarnya yang arogan. Apa yang didapatnya? Hanya tekanan batin. Kesalahannya memang fatal, tapi dia tak sengaja melakukannya. Dan dia tidur dengan lelaki lain hanya sekali, itupun karena kelalaiannya yang mengira lelaki itu suaminya.            “Cuma sekali, Mi. Bukan dengan banyak lelaki,” cicit Sri pilu.             “Halah, alesan! Kamu ingin membela diri toh? Mau bilang apa? Kamu diperkosa gitu?” sindir Herlina, saudara tiri Arraja, suami Sri. Sri tahu diam-diam Herlina mencintai suaminya.            “Apa benar kamu diperkosa?” Arraja bertanya ulang, berharap istrinya tak benar-benar selingkuh darinya. Bagaimanapun dia masih memiliki perasaan khusus pada Sri. Perasaannya hancur begitu melihat Sri menggeleng dengan raut wajah bersalah.            “Saya tak diperkosa, Mas.”            “Jadi kalian melakukan atas dasar suka sama suka,” ujar Arraja dengan hati terluka.            “Bukan begitu, Mas. Saya tak sengaja melakukannya. Bahkan sampai sekarang saya tak tahu orang itu siapa,” adu Sri. Harapannya timbul, siapa tahu suaminya bersedia memaafkannya. “Saya mengira dia ….”            “Hentikan! Saya tak mau dengar cerita murahanmu, Sri!  Hubungan kita sudah berakhir,” putus Arraja dengan hati tersayat.            “Talak dia, Raja! Setelah itu Mami akan mengurus perceraian kalian secepatnya,” titah Nyonya Emmy.            Sri tak mampu membela dirinya lagi. Kesedihan akibat suaminya yang tak mempercayainya membuat daya juangnya luruh. Dia hanya terdiam ketika Arraja menalak dirinya. ***  Setahun sebelumnya.            Sri menginjak lantai rumah mewah itu dengan perasaan tak nyaman. Belum pernah dia memasuki rumah semegah istana ini.  Namun bukan itu yang membuatnya kurang nyaman, melainkan tatapan penuh selidik sang nyonya rumah.  Seolah dia hendak maling di sini, padahal ini hari pertama Sri bekerja … sebagai perawat Tuan Abidin, sang tuan rumah yang lumpuh.            “Kamu sudah paham toh apa tugasmu?” tegas Nyonya Emmy sembari menatap lekat perempuan muda yang berdiri di depannya dengan canggung. Tak ada keinginan sedikit pun baginya untuk mempersilahkan perempuan itu duduk.  Dia toh sama dengan babu. Tak perlu buang waktu basa-basi atau berbaik-baik padanya … pikir Nyonya Emmy arogan. “Mengerti, Nyonya.” Lumayan. Perempuan ini sopan dan menjawab seperlunya namun mengena. Nyonya Emmy sedikit menyukainya. Namun kecurigaan dan sikap waspada yang telah mendarah daging padanya tak mudah lekang begitu saja. “Dan saya peringatkan … kami tak bisa mengampuni pekerja yang banyak tangan!” ancam Nyonya Emmy secara terselubung. Sayang Sri kurang memahaminya. Dahi gadis manis itu mengernyit. “Banyak tangan? Atau maksud Nyonya ringan tangan?”  “Banyak tangan! Maksud saya … maling.” “Oh,” sahut Sri kikuk. “Saya berani menjamin, saya tidak termasuk golongan itu.” Sri semakin jengah merasakan tatapan menyelidik Nyonya Emmy tertuju padanya. Jelas majikannya adalah tipe yang tak mudah mempercayai orang. Apa dulu banyak pegawainya yang suka mencuri? “Kita akan buktikan nanti! Sekarang ikuti saya. Kamu harus segera bertugas. Ohya ganti bajumu dulu dengan seragam perawat yang kami sediakan. Siapa yang tahu kuman yang kamu bawa di bajumu sekarang?” Meski bajunya sederhana, Sri yakin bajunya bersih. Dia menghela napas panjang. Baru kali ini dia mendapat majikan sejutek dan searogan ini. Semoga dia betah bekerja disini. Masalahnya gajinya besar. Sri sangat membutuhkan uang untuk biaya sekolah adik-adiknya. Maklum dia adalah tiang utama keluarganya. Bapaknya sudah tiada, ibunya sakit-sakitan. Hanya dia yang bisa bekerja untuk mengisi perut keluarganya dan membiayai sekolah kedua adiknya.  Simbok, doakan Sri kerasan di rumah ini dan mereka menyukai pekerjaan Sri … Sri membatin dalam hatinya. ***            Arraja mengusap mulut ayahnya yang belepotan nasi. Semenjak lumpuh karena serangan stroke mendadak, ayahnya tak bisa melakukan aktivitas apapun. Bahkan untuk makan saja dia harus disuapi. Sesekali tak masalah Raja melakukannya, namun untuk rutinitas dia tak sanggup. Banyak hal yang harus dilakukannya. Raja tak bisa harus terus menerus di sisi ayahnya untuk merawatnya.            “Terima kasih, hanya kamu yang bersedia menyuapi Bapak.” Tuan Abidin menatap lembut anak bungsunya. Memang dibandingkan ibu dan kakaknya, Arraja paling polos dan lembut hatinya. Dia adalah kesayangan keluarga besar Santoso. Tampan, lembut, baik hati dan hangat. Sayang masih kekanakan … kalau istilah sekarang, anak mama!             “Bapak gitu amat sih. Raja, kan, anak Bapak. Wajar dong ngerawat Bapak. Dulu juga Bapak yang ngerawat Raja. Sekarang gantian, Raja tak perlu dirawat lagi,” sahut Arraja sembari menyunggingkan senyumnya yang secerah matahari.             Tuan Abidin Santoso terkekeh mendengar ucapan polos anak kesayangannya. Kalau tak ada Arraja, mungkin hidupnya akan terasa suram.             “Siapa bilang Raja tak perlu dirawat? Suatu saat akan ada istri yang merawatmu,” goda Tuan Abidin.            Raja mencebikkan bibirnya yang merah alami. “Ck.  Raja belum mau nikah. Gadis-gadis zaman now mengerikan, Pak!”            “Mengerikan bagaimana? Karena mukanya gak ori semua? Bekas operasi plastik atau pengaruh make-up?” timpal Tuan Abidin.            Arraja mengangguk mengiyakan. “Juga hati mereka penuh tambalan. Gak ada yang tulus, Pak. Rata-rata cewek zaman now matre semua!”            Tuan Abidin tak memungkiri pendapat anaknya. Dia tahu sulit sekali menemukan seseorang yang tulus dan baik di era konsumtif sekarang ini.  Namun tentu dia masih berharap yang terbaik bagi anaknya.            “Bapak yakin Tuhan akan mengirimkan seorang gadis yang baik hati dan tulus mencintaimu, Nak.”            Bertepatan selesai ucapan Tuan Abidin, pintu dibuka dari luar. Seorang gadis masuk setelah didorong dari luar. Arraja terpaku menatapnya. Sangat jarang dia melihat gadis semanis ini, dia tampak cantik alami meski tanpa polesan make-up. Pipinya yang merona merah pasti bukan karena blush on. Rambut panjangnya yang hitam legam seolah tak pernah tersentuh pewarna rambut. Begitu gadis itu tersenyum, muncul lesung pipit di kedua belah pipinya. Arraja terpesona seketika. Hatinya berdegup kencang.            Dia kah gadis yang dikirim Tuhan untuknya? pikir Arraja sekonyong-konyong.            “Maaf menganggu, Mas. Saya Sri. Perawat baru Tuan Abidin,” sapa Sri santun.            Suaranya merdu mendayu. Seperti suara bidadari. Hati Arraja berdesir keras. Dia yakin dia telah jatuh cinta pada pandang pertama.  Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN