゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
-
"Mengapa diriku terus merasa rendah? Padahal tak semua orang bisa mendapatkan apa yang aku punya.
Namun nyatanya, susah sekali untuk merasa puas dengan apa yang kita miliki, bukan?"
-
* * *
Aku menatap papan tulis di kelasku dengan seksama. Memperhatikan setiap materi apa yang Bu Rahayu sampaikan. Mencatat keseluruhan tulisan digital yang dipancarkan melalui layar proyektor.
"Rum, lo paham materinya?"
Aku menoleh ke samping kanan, Levi sedang memegangi spidol warna hijau. Astaga, apa dia sedang menggambar saat pelajaran? "Lumayan. Tapi gue ngantuk. Lo gambar apa. Gue nau digambarin, dong."
Untung saja meja aku dan Levi berada di barisan ke empat. Sehingga, percakapan kita tidak tertangkap jelas oleh Bu Rahayu.
"Gambarin gue cogan dong, gue butuh refreshing otak," pinta aku kepada Levi.
Jujur, yang aku katakan itu sepenuhnya benar. Melihat tulisan pelajaran pendidikan kewarganegaraan sangat membuat mataku merem melek pada akhirnya. Dan sekarang, aku butuh sesuatu untum me-refresh otak dengan cara melihat cowok ganteng.
Mengapa? Memang salah? Aku juga remaja biasa. Tenang, hanya sebagai refreshing. Bukan berarti aku adalah orang yang suka dengan melihat good looking. Aku tidak seperti itu tentunya. Aku melihat orang dari hatinya, dari bagaimana cara mereka bersikap.
"Gue buatin gambar wajahnya kak Ferrum mau?" tawar Levi kepadaku.
Aku mendelik tajam. Sungguh, aku tidak ingin mendengar nama cowok itu lagi. Aku sudah hancur sehancur-hancurnya karena Bang Ferrum. Namun, tetap saja setiap kali aku mendengar namanya, rasa rindu itu hadir. Dasar tidak berpendirian.
"Nggak! Jangan kak Ferrum napa? Bukannya lo bakal bikin gue semangat malah bisa bikin gue mewek ntar!" bantahku.
"Segitu sukanya lo sama kak Ferrum. Udah berbulan-bulan nyoba move on tapi gagal terus, hem?"
Aku berdecak kesal setelah mendengar pertanyaan Levi. "Ngelupain orang yang kita sayang bertahun-tahun itu nggak semudah nyebar pelet ke kolam ikan!"
Levi mengetuk kepalaku pelan dengan spidolnya. "Waduh, sok bener punya banyak kenangan sama dia lo!"
"Emang banyak!"
"Ap coba?"
Aku refleks mengulas senyumku. Kurang ajar, memori manisku saat bersama Kak Ferrum mendadak muncul. "Kan waktu gue sama lo lomba, Kak Ferrum ngedatengin gue. Padahal jaraknya hampir 50 kilometer. Sweet, 'kan?"
"Alah, itu mah kurir juga bisa, Rum! Datengin orang yang jaraknya jauh!"
Aku menyipitkan mataku. Ish, sepertinya Levi memang sengaja memancing emosiku. "Dia pernah nganterin gue malem-malem jam sebelasan ke rumah Elsa. Mana waktu itu langitnya lagi cerah banget, bintangnya banyak!"
"Itu mah tukang ojek juga bisa."
"Diem lo ah!"
Aku dapat mendengar kekehan lirih Levi. Dasar sahabat laknat. Untung saja hanya Levi. Coba saja jika dengan ke empat sahabatku yang lain. Mampus aku akan terus di-bully sama mereka.
Tenang, bully itu tidak 100% menyakitiku. Mereka hanyalah sedikit bergurau. Dan karena diriku memang mempunyai jiwa humoris tinggi, aku tak pernah memasukan ke dalam hati apa yang sahabatku katakan.
Aku menguap lebar. Aduh, berapa menit lagi istirahatnya? Aku sangat ingin tidur. Aku tahu, ini pasti semua gara-gara tadi malam aku belajar sampai larut. Ah, begadang adalah kebiasaan burukku.
Aku meletakkan kepalaku di atas meja, mencari posisi yang nyaman. Mataku terasa berat. Dan aku tak bisa menahannya lagi.
* * *
Aku membuka mataku perlahan setelah mendengar suara ketokan meja dan suara seseorang yang memanggilku. Apa itu Levi? Oh bukan. Yang aku dengar adalah suara cowok. Aku mulai bangkit dan mencoba untuk mengambil posisi duduk yang benar.
Tidur dalam kelas itu memang sesuatu yang luar biasa. Untungnya aku tak mendapat teguran dari Bu Rahayu tadi. Tidak apa, sekali-kali aku jadi anak bandel.
Aku menoleh ke kursi di sebelahku. Levi tak ada di sana. Bahkan sahabatku yang lain juga tidak ada di kursi mereka. Jadi, ini sudah jam istirahat? Aku merenggangkan otot-ototku sesaat. Hanya bagian tangan dan juga kepala.
Aku mengercitkan dahiku. Ada sebuah s**u kotak rasa cokelat di atas mejaku. Aku mengangkat itu, dan ternyata di bawahnya terdapat selembar sticky notes.
Jangan lupa diminum ya, Cantik.
Gue mau ngajakin lo ke kantin tapi gue nggak mau gangguin tidur lo.
Aku segera mungkin meremas sticky notes itu. Pasti. Ini pasti adalah ulah Raksa. "Raksa!" panggil aku kepada Raksa yang sedang berlarian di kelas.
Raksa mulai mendekat ke arahku. Dia tersenyum, menampilkan gigi-giginya. "Eh, My Princess udah bangun? Mau ke kantin? Yuk pangeran anterin!" ajaknya.
"Lo yang ngasih ini?" tanyaku sembari mengangkat s**u kotak yang tadi ku dapat. "Udah deh, jangan ngasih-ngasih ke gue, gue bukan pengemis. Lagian lo tahu sendiri gue nggak suka s**u cokelat."
Raksa menggeleng kuat. Apa maksudnya? Dia tidak tahu jika aku benci s**u cokelat? "Gue nggak ngasih apa-apa ke lo, Rum. Ya udah, ayo kita ke kantin aja. Gue beliin 10 s**u kotak rasa vanila buat lo." Tanpa pamit, Raksa sudah menggandengku dengan kuat.
Aku mau meloloskan diri, tapi tidak bisa. Ragaku masih terasa lemas. Apalagi setelah pingsan dan tidur di kelas tadi. Bagaimana pun, Raksa sudah memintaku untuk tetap menjadi sahabatnya meski dia menganggapku lebih. Sejujurnya, aku sedikit tidak enak hati dengannya.
Berjalan ke kantin saja, aku terus menundukkan kepalaku. Entahlah, rasanya aku terlalu minder. Aku heran dengan orang-orang yang berjalan dengan tegap, penuh percaya diri dan terlihat tak ada rasa khawatir sedikit pun.
Tapi diriku, aku terus menunduk. Yang selalu ada di pikiranku, aku adalah gadis biasa. Aku sudah tertinggal banyak hal dari orang diluaran sana. Dari segi fisik, segi ekonomi. Ah, apakah aku yang paling buruk di dunia ini?
"Rum, ayolah jangan nunduk terus. Muka lo yang cantik masa disembunyiin mulu sih?!" pekik Raksa yang masih menggenggam jemari tangan kananku.
Aku berhenti tiba-tiba di jalan koridor kelas XII. Ada seseorang yang mencekal tangan kiriku seperti mencegatku untuk tak pergi. Aku menoleh perlahan, yang aku jumpai adalah wajah dari seorang cowok yang aku temui tadi pagi.
"Rum, Pak Kusmanto manggil kita sekarang. Mau ngedata anak yang tadi telat," tutur Ar kepadaku. Apa ini? Kenapa Ar menatapku begitu tajam? Apa aku berbuat salah?
Aku melirik ke arah Raksa yang menggarakkan tangan kananku. "Rum, ayo ke kantin. Lo belum makan, ish," ajaknya kepadaku.
Otakku berkerja cepat. Daripada memikirkan makanan, aku lebih memikirkan Pak Kus. Bisa-bisa nanti aku akan mendapat hukuman jika tidak menemui beliau.
"Ayo, Rum!" ajak Ar dan Raksa bersamaan.
Aku berdecak kesal, ada apa sih dengan kedua cowok ini? "Maaf, Sa, gue nemuin Pak Kus dulu, ya," pintaku mencoba melepaskan genggaman Raksa.
"Oke lah. Tapi gue beliin lo makan, ya? Ntar wajib lo habisin. Ntar lo sakit lagi, Aurum."
Aku mengangguk pelan untuk membalas ucapan Raksa. Tubuhku langsung mendapat tarikan untuk berjalan karena Argentum yang menarik tanganku.
"Rumah lo di mana? Lo udah baikan? Udah nggak pusing, kan? Apa malah sekarang tambah pusing karena tiba-tiba jalan bareng sama cogan? Iya, iya, jangan puji gue. Gue tau gue emang ganteng dunia akhirat sampe bikin lo pusing dan bahkan bikin siswa lain pingsan. Eh tunggu, apa lo tadi sebenernya pingsan gara-gara kegantengan gue? Wah, bangga gue sama diri gue sendiri," cerocos Argentum tanpa henti sembari menepuk dadanya karena merasa bangga.
Perlu aku akui, cowok yang satu ini memang sangat berisik!
* * *
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..