Reygan menatap Wulan yang masih saja berjalan terpincang-pincang karena kakinya. Balutan perban dan juga rasa nyeri di persendian, membuat wanita tersebut kesulitan untuk berjalan dengan normal.
Rasa bersalah Reygan masih tak berkurang sedikit pun, meski ia telah membantu Wulan dalam banyak hal, tapi semua itu rasanya tak bisa menebus kesalahan yang dilakukan oleh Reygan.
“Apa yang mau diambil?” tanya Reygan dengan sigap begitu melihat Wulan celingukan mencari sesuatu.
Wulan terkejut melihat pria tersebut tiba-tiba ada di dekatnya. “Oh, itu ... termometer gun.” Gadis dokter itu menunjuk pada alat pengukur suhu berbentuk pistol yang ada di dalam kotak.
“Ini.” Reygan langsung mengambil benda tersebut dan memberikannya pada Wulan.
“Sepertinya, adik ini demamnya sudah tinggi. Ibu ... tolong kompres adiknya dengan air hangat, ya, saat sampai di rumah. Gunakan pakaian yang agak tipis, tapi dijaga agar tidak masuk angin, sehingga jendela kamar tempat adik beristirahat kalau perlu ditutup.” Wulan memberikan saran pada ibu dari pasien yang sedang ia rawat.
Sementara itu, Reyga terus menatap bagaimana cara Wulan memeriksa dan berinteraksi dengan pasien. Selalu ada denyut yang aneh di dalam jantungnya ketika ia memperhatikan wanita muda tersebut.
“Oh, jadi bukan dikompres dengan air dingin, Bu Dokter?” tanya sang ibu.
Bahkan Reygan pun merasa aneh, kenapa anak yang demam justru harus dikompres dengan air hangat. Bukannya harus didinginkan?
Wulan menggeleng. “Jadi ... badan kita ini demam karena lingkungan kita terasa dingin. Maka dari itu, tubuh akan semakin hangat jika lingkungan di luar terasa dingin. Mungkin kemarin-kemarin, adik terkena angin atau kehujanan, sehingga tubuhnya demam. Jadi ... kita harus buat lingkungan di sekitar tubuh adik hangat dengan kompres air hangat, jika sudah begitu maka perlahan demam adik akan turun.”
Penjelasan Wulan begitu mudah dicerna oleh orang yang awam seperti ibu tersebut. Sang ibu pun mengangguk.
“Tuh, kan, kata ibu jangan hujan-hujanan. Bener, Bu Dokter. Kemarin anak saya bermain saat hujan.” Sang ibu mengiyakan ucapan Wulan.
Wanita itu pun tersenyum dengan begitu cantik.
Hingga membuat Reygan lupa akan tugasnya dan terus memperhatikan dokter muda yang penuh pesona tersebut.
“Om Dirga, Om!”
Reygan pun terkejut ketika seorang anak kecil menarik ujung bajunya.
“Eh, ya ampun. Kenapa, Dani?”
“Om Dirga jangan melamun terus. Ayo kita lanjut belajar lagi.”
Reygan yang sejak tadi pikirannya teralihkan pada Wulan itu pun kaget. Dia merasa dirinya telah memikirkan Wulan sejak tadi sehingga ia meninggalkan tugasnya, yakni mengajari anak-anak untuk belajar bersama.
“Om Dirga, sekarang aku sudah bisa membedakan huruf A, B, C, D dan E.”
Banyak anak-anak yang menyerbu Reygan lagi setelah dia kembali fokus pada tugasnya.
Sementara itu, pasien yang tadi diperiksa oleh Wulan telah pulang kembali bersama ibunya.
“Semoga cepat sembuh, ya,” teriak Yuli sambil melambaikan tangan.
“Biar besok bisa main ke sini,” lanjut Siti yang ikut menimpali.
Wulan pun hendak berpindah tempat dari dekat ranjang pasien menuju ke meja dokter kembali. Dengan kakinya yang pincang dan terangkat sebelah, lalu tangan yang berpegangan pada ujung meja, dia berusaha keras untuk menuju ke sana.
Pria yang sedang melipat origami dari kertas bekas itu pun melihat hal tersebut, dia hendak bangkit dan membantu Wulan. Namun ternyata hal itu tak perlu ia lakukan karena ada Yuni, salah satu dari si kembar yang pendiam, membantu dokter malang tersebut.
Yuli dan Siti menghampiri Wulan yang duduk di meja dokter. Posisi meja tersebut berada di sudut ruangan.
Yuli terus memperhatikan Reygan yang sejak tadi curi-curi pandang pada Dokter Wulan. Anak perempuan yang tomboy dan terkadang jahil ini, juga cukup peka pada reaksi orang sekitarnya, meski terkadang ia tak tahu kenapa orang tersebut melakukan hal itu.
Seperti saat ini, saat ia melihat Reygan yang terus menatap Wulan. Tanpa ragu, si gadis tomboy itu berkata. “Kang Dirga itu ngapain, sih? Sejak tadi ngeliatin Teh Wulan melulu!”
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Yuli tanpa memiliki perasaan sungkan atau malu. Kedua temannya yang mengerti akan situasi hanya menggelengkan kepala, sementara itu Reygan yang disebut sebagai Dirga itu salah tingkah dan Wulan pun menunduk karena menyembunyikan semburat merah di pipinya.
“Siapa? Aku? Haha! Nggak, ngapain aku ngeliatin dia. Aku ... aku ... cuma lihat anak kecil yang mau pergi tadi. Sama penjelasan tentang itu ... kompres hangat. Aku belum mengerti sebelumnya, tidak apa-apa, kan?” Kenapa pula Reygan harus salah tingkah.
Yuni dan Siti menahan tawa mereka. Sementara, Wulan tak bereaksi apa-apa.
“Kalau cuma itu, kenapa harus salah tingkah?” Lagi-lagi, pertanyaan Yuli selalu tepat sasaran dan itu membuat Reygan geram dengan mulut gadis remaja itu.
“Jangan sok tahu, deh!” sinisnya.
Para anak kecil yang sedang bersama Reygan tak mengerti apa yang terjadi, mereka sibuk mewarnai pesawat yang baru saja mereka lipat tadi.
“Hiih, ditanya doang padahal!” timpal Yuli sambil memonyongkan bibirnya.
“Sssssst!” Yuni membekap mulut kembarannya itu. Ia membuat gerakan seperti sedang mengunci bibir di depan Yuli sambil menggelengkan kepala.
“Sudah, sudah! Ayo kita beres-beres, sebentar lagi zuhur. Bantu Kang Dirga ngajarin anak-anak agar mereka cepat pulang.” Wulan mengalihkan perhatian mereka.
“Baik, Teh!”
Mereka pun melupakan percakapan yang sebelumnya. Lalu fokus pada tugas mereka hingga anak-anak pulang.
“Bu Dokter, kami pulang,” pamit anak-anak secara bersamaan. Langkah kecil mereka terlihat menggemaskan.
Siti, Yuli dan Yuni kali ini bertugas untuk mengantar anak-anak yang tidak dijemput orang tuanya.
Sementara itu, di klinik tersisa Reygan dan juga Wulan. Wulan masih menulis laporan harian, sementara Reygan duduk sambil mengamati gadis dokter tersebut.
Entah karena rasa bersalah, atau memang Wulan yang terlalu memesona sehingga hari ini Reygan banyak melihat gadis itu hingga ia lupa dengan kegiatannya sendiri.
“Puas?” tanya Wulan sambil menutup buku laporannya. Dia pun menatap pada Reygan dengan mata sinisnya.
Saat kedapatan seperti itu, Reygan pun menjadi salah tingkah. “Apa?”
“Kau sudah merasa puas karena membuatku seperti ini?” ketus gadis dokter itu. Dia memasang wajah cemberut di balik kerudungnya itu.
“Tidak ....”
“Aku tahu kamu sengaja,” ucapnya sambil membuang muka. “Kamu memang menyebalkan.”
Reygan pun menatap Wulan dengan tatapan tak percaya. Dia mendekat pada Wulan lalu berdiri tepat di depan meja kayu milik dokter cantik itu. Pria tersebut menunduk lalu menatap Wulan tepat di depan wajahnya. “Aku menyesal sudah merasa bersalah padamu!”
Pria itu mengarah dua telunjuknya pada Wulan, sementara mereka terus bertatapan dengan sama-sama tajam.
Namun pada saat itu juga, pemuda yang pernah bertemu dengan Reygan datang ke klinik itu dan melihat apa yang sedang mereka lakukan. “Euleuh-euleuh, kalian sengaja nyuruh anak-anak keluar supaya bisa begituan di klinik ini?”
Secara bersamaan Reygan dan Wulan pun menoleh. "Eko?"