Enam

1521 Kata
Selepas sholat isya, Prayoga menyempatkan diri untuk sekedar jalan-jalan kecil ke sekeliling rumah. Ia dapati putra kebanggaannya, Yudha seperti sedang termenung, duduk di lantai dengan di temani segelas kopi hitam kesukaannya di sebelah ia duduk. Prayoga mendekat. "Mikirin apa to, Yud? Bapak perhatikan kok kayanya serius banget." tegur Prayoga yang masih berdiri di samping Yudha duduk. Yudha menoleh ke samping, lalu mendongak ke atas. Sang Ayah sudah ada disana. "Bapak!" serunya setengah kaget. "Sampai kapan kamu akan terus seperti ini, Yud?" Ingat nak, usia kamu sudah tidak muda lagi. Sebentar lagi sudah masuk ke kepala empat. Kamu harus memikirkan masa depanmu sendiri!" ujar Prayoga yang suaranya berhasil mengagetkan lamunan Yudha yang sedari tadi memilih duduk di teras depan seraya menikmati kopi hitam buatannya sendiri. Prayoga ikut duduk lesehan di samping Yudha. Yudha menengok ke sebelah kirinya, sebentar lalu kembali memandang jauh ke depan. "Yudha masih nyaman seperti ini, pak! Sita dan Keinara masih membutuhkan aku. Gimana jadinya nanti kalau aku punya keluarga sendiri, tentu aku akan menjadi lebih sibuk dengan keluargaku sendiri. Terus siapa yang akan perduli dengan mereka lagi?" sanggah Yudha. Selama ini, memang Yudha lah yang menjadi garda terdepan untuk Sita dan Keinara. Yudha yang rela tidak memikirkan masalah hatinya demi terus menjaga Sita dan Keinara. Tak cukup raga yang ia pertaruhkan, bahkan materi yang sudah tak terhitung lagi juga ia korbankan demi kebahagiaan adik dan keponakannya itu. Yudha tidak pernah pamrih, yang dia pikirkan hanya satu, kebahagiaan Sita dan Keinara. "Sita itu sudah dewasa! Dia bisa menjaga dirinya sendiri dan juga anaknya! Kamu harus mulai memikirkan diri kamu sendiri! Kamu lihat, Bapak sama Ibu ini sudah tua, ingin melihat satu-satunya anak laki-laki kami bersanding dengan perempuan yang nanti akan mengurusnya dengan penuh kasih dan cinta. Bapak dan Ibu juga pengen menimang cucu dari kamu, nak!" imbuh Prayoga, kali ini ucapannya terdengar begitu jelas dan penuh dengan harapan. Yudha menunduk. "Yudha ingin, Keinara lulus kuliah dulu, pak. Baru setelah itu Yudha akan pikirkan untuk mencari pendamping." timpalnya tak merubah keputusan. Terdengar nafas Prayoga yang ia hembuskan dari kedua lubang hidungnya, berat dan sesak. Orang tua mana yang tidak khawatir, ketika melihat anak yang ia banggakan justru masih memilih sendiri ketika usianya sudah matang. Terlebih melihat usia anak orang lain yang sebaya dengan anaknya yang sudah memiliki anak yang beranjak dewasa, sedangkan anaknya sendiri masih memilih untuk menyendiri. "Keinara itu baru saja masuk kuliah. Masih perlu waktu empat tahun lagi untuk menyelesaikan pendidikannya. Itu juga kalau lancar, lha kalau ndak? Apa iya kamu mau menunggu selama itu?" Prayoga terus menekan. Yudha menoleh ke arah sang Ayah, lalu tersenyum sedikit. "Empat tahun itu sebentar kok, Pak. Bapak nggak usah khawatir, ya! Yudha janji, setelah Keinara lulus kuliah, Yudha akan segera mencari pendamping yang Bapak dan Ibu inginkan!" ucapnya menenangkan hati sang Ayah. *** Zaky tengah duduk di bangku teras depan kamar kontrakan. Kontrakan yang bangunannya membentuk huruf U, membuat lagan sisa di tengahnya. Lahan sisa itu dimanfaatkan oleh anak-anak penghuni kontrakan untuk bersantai ataupun melepas lelah saat pulang dari kuliah. Mereka isi dengan beberapa biji bangku-bangku berbahan bambu. Biasanya ketika malam tiba, akan ada banyak anak-anak penghuni kontrakan yang berkumpul di situ. Ada yang main gitar, ada yang main kartu, ada juga yang sekedar bertukar pikiran seraya menikmati sebatang rokok di sela-sela jari telunjuk dan jari tengahnya. Namun malam ini kontrakan terlihat sepi. Karena malam minggu, sebagian besar penghuni kontrakan keluar dengan agenda mereka masing-masing. Terlihat Zaky sedang senyum-senyum sendiri seraya memainkan gawai di tangannya. Rafly yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik sang anakpun mulai curiga dan penasaran. Apa gerangan yang membuat anaknya seperti demikian. Rafly berjalan mendekati anaknya. Sekilas saat melintas di belakang Zaky, Rafly melihat foto seorang perempuan muda, cantik, manis, nyaris tanpa cela. Siapa dia, Ky? Dari fotonya sih cantik! Pacar kamu ya?" telisik sang Ayah, lalu duduk di sebelah Zaky. Ternyata sedari tadi Rafly diam-diam melirik layar ponsel Zaky dari belakang. Zaky memang terlihat sedang membuka aplikasi galerinya, memandangi foto-foto Keinara yang ada di sana. Zaky dengan cepat segera menarik ponselnya, menyimpannya ke dalam saku celana. "Papa apaan sih! Kepo ih! Ini urusan anak muda, nggak usah ikut-ikutan, napa!" seloroh Zaky, jadi salah tingkah. "He he he! Emang kamu pikir Papa ini dulu nggak pernah muda apa? Udah ngaku aja, itu pacar kamu ya? Sampai-sampai di lihatin gitu semua fotonya, hehehe!" ledek Rafly. "Emmm." matanya celingak-celinguk. Antara ingin jujur tapi segan. "Emmm, bukan pacar sih pa, cuma teman dekat aja!" ungkapnya mencari aman. Rafly terlihat melebarkan matanya, menahan bibirnya yang sejatinya ingin membuka tawa. "Ciee cie! Teman dekat atau teman dekat? Hehehe. Ngaku aja sama Papa, Ky! Papa nggak akan marah kok. Seandainya kamu sudah punya pacar, ya nggak apa-apa. Itu kan hak kamu. Lagian anak Papa ini kan udah dewasa juga. Jadi ya, nggak ada masalah!" ucap Rafly, memancing supaya Zaky mau bercerita. Zaky menggaruk-garuk kepalanya, lalu menatap sang Ayah yang duduk di sampingnya. "Hehe, i-iya pa. Dia pacar Zaky." terangnya yang akhirnya mengaku juga. "Nah, ngaku juga kan, hehehe. Siapa namanya?" telisi sang Papa, lagi "Eemm, namanya Keinara." terang Zaky perlahan. "Tapi Papa janji ya, jangan kasih tahu ke Mama soal ini. Bisa-bisa, zaky nanti di coret dari kartu keluarga, Pa. Tahu sendiri kan, kaya apa Mama ngelarang aku supaya nggak pacaran dulu! Habis lah kalau nanti ketahuan sama Mama. Ya, pa? Ku mohon!" rengek Zaky, wajahnya mulai memelas, menunjukkan sedikit kekhawatiran. "Heemmm, gimana ya?" Rafly pura-pura berfikir keras, seraya menatap luas ke depan sana. Zaky beralih duduk menyerong, menghadap ke arah sang Papa. "Papa, aku mohon! Toling lah! Masak tega sih, sama anaknya sendiri!" rengeknya lagi. "Hahaha." tiba-tiba tawa Rafly pecah. "OK! Papa bantuin kamu buat rahasiakan ini sama Mama kamu." "Beneran, Pa? Alhamdulillah." ucapnya lega. "Tapi_." "Lah, ada tapinya, Pa?" "Tapi, nanti kamu harus kenalin dulu pacar kamu itu ke Papa. Supaya Papa bisa ngasih penilaian nantinya sama dia. Pantas nggak bersanding dengan anak kebanggaan Papa ini, hehehe." "Kalau soal itu mah, siap lah, pa! Kalau cuma ketemu aja gampang. Atau mau sekarang aja ketemunya? Kita main ke rumah Keinara, Pa." "Husss! Jangan buru-buru gitu! Kalau malam ini Papa nggak bisa. Papa capek, Ky. Pengen cepat-cepat istirahat aja. Besok aja kapan-kapan, lain kali ya!" "Owh, siap lah, Pa. Hehehe." Zaky terlihat tersenyum malu-malu. Ada rasa segan terhadap sang Papa ketika akhirnya dia berani menceritakan mengenai masalah percintaannya. "Tapi, sebenarnya masih ada satu masalah lagi pa, yang harus Zaky hadapi!" tuturnya teringat akan sesuatu. Iapun mendadak diam, tidak melanjutkan bicaranya. "Satu masalah? Apa itu, ky?" tanya Rafly. Zaky menarik nafas dalam-dalam. "Kita itu pacarannya sembunyi-sembunyi, Pa! Sembunyi dari bundanya Keinara, sembunyi juga dari teman-teman kampus. Huufff!" Zaky menarik nafas dalam-dalam. Rafly makin penasaran dengan cerita sang anak. "sembunyi? Memangnya kenapa?" telisiknya makin dibuat penasaran. "Ya, soalnya bundanya Keinara belum mengizinkan Kei buat pacaran dulu, Pa. Alasannya sih takut mengganggu fokus kuliahnya. Alasan yang masuk akal sih, soalnya dulu bundanya Keinara pernah ada pengalaman yang nggak enak gitu di masa lalunya. Jadi sekarang imbasnya ke Keinara. Jadi protektif gitu sama anaknya. Pokoknya nggak boleh pacaran sebelum lulus kuliah." Zaky diam sejenak. "Terus, kita juga harus umpet-umpetan sama teman-teman dekat kita. Soalnya teman-teman Kei itu juga dekat sama bundanya Kei. Jadi takutnya kalau mereka tahu kita pacaran, terus ngadu ke bundanya Kei, nanti ketahuan dong kita. Makanya, kita lagi sembunyiin hubungan ini dari siapapun, Pa." jelas Zaky panjang lebar. "Owhhhh begitu!" Rafly terlihat mengangguk, dengan raut wajah yang masih menyimpan tanda tanya besar. "Kira-kira nih ya, Papa boleh tahu nggak, masa lalu apa yang membuat bundanya Keinara sampai protektif sekali gitu sama anaknya? Pasti dia punya alasan yang kuat dong, kenapa harus memproteksi anaknya sedemikian rupa. Nggak mungkin juga kan hanya karena alasan remeh temeh sampai kaya gitu?" Rafly mencoba menggali informasi dari Zaky. Zaky terdiam, berfikir sejenak. Haruskah dia menyampaikan juga ke sang Papa mengenai alasan yang sesungguhnya? "Ya, kalau kamu nggak mau cerita ya nggak apa-apa, Ky! Papa paham, nggak semua masalah bisa di ceritakan ke orang lain. Termasuk Papa yang notabennya Papa kamu sendiri. OK, nggak masalah!" imbuh Rafly. Zaky menatap lekat-lekat ke arah mata sang Papa. "Tapi Papa mau nggak, janji nggak bilang ke siapa-siapa, soal masalah ini. Soalnya Keinara wanti-wanti banget supaya aku nggak cerita ke orang lain. Papa bisa jaga rahasia kan?" "Kalau kamu percaya sama Papa, cerita aja! Papa akan tutup mulut rapat-rapat." Zaky mulai bercerita. Ia ceritakan awal mula kenapa bunda Keinara melarang keras Keinara untuk tidak berpacaran. Salah satu sebab terbesarnya adalah, bunda Keinara tidak ingin anaknnya salah pergaulan, seperti apa yang pernah bundanya Kei alami. Pergaulan bebas di masa kuliah membuat bunda Keinara harus kehilangan semuanya. Keluar dari kampus, dimusuhi keluarga, dan harus rela menjauh dari keluarga demi semuanya agar baik-baik saja. "Jadi bundanya Keinara itu, pernah hamil saat kuliah, terus malah di tinggal sama pacar yang menghamili dia, begitu?" tanya Rafly. "Iya, Pa. Itu pacarnya bundanya Keinara memang bener-bener b******k kan. Nggak mau tanggung jawab! Mau enaknya doang nggak mau susahnya!" ujar Zaky tersulut emosi. Tiba-tiba, Rafly terdiam. Ingatannya kembali ke masa sembilan belas tahun yang lalu, dimana dia dengan sengaja meninggalkan kekasihnya yang saat itu tengah berbadan dua karena ulahnya. Rafly meninggalkan Sita begitu saja. "Pa! Papa!" panggil Zaky yang mendapati sang Papa justru terdiam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN