Lima Sembilan

1123 Kata
Vira mengendarai mobilnya dalam keadaan gamang. Dia ingat betul kata-kata dari Mamanya yang seolah memberikan sinyal bahwa dia tidak setuju jika calon menantunya nanti hanya bergaji pas-pasan. Padahal rencananya, Vira akan membawa Yudha ke rumah minggu depan, untuk sekedar perkenalan diri kepada kedua orang tuanya. Namun, melihat keadaan ini, nyali Vira mendadak ciut. "Mama kok punya pikiran kaya gitu sih? Padahal tidak perlu melihat pangkat ataupun derajat orang lain. Penghasilan lima juta untuk hidup di Jogja aku pikir sangat-sangat cukup kok. Pengeluaran Mama dua puluh juta itu kan karena memang gaya hidupnya aja yang glamor!" oceh Vira di sepanjang jalan. Sesampainya di rumah sakit, Vira segera menuju ke ruangannya. Di jalan ia bertemu sama seorang cleaning servis yang biasa tugas di pagi hari. Ia terlihat sedang menyapu depan ruangan praktek Vira. "Eh, Bu dokter Vira! Lho tumben pagi-pagi udah datang. Biasanya kalau sabtu datangnya jam sebelas. Ini jam sembilan kok udah datang, rajin amat! He he." tanya Mirna, cleaning servis yang selalu bersikap ramah pada siapapun. Vira menghentikan langkahnya. "Hemmm, pengen aja berangkat pagi, Mbak Mir. Di rumah suntuk banget! He he." tukas Vira. "Bisa ya bu dok, orang bosen ada di rumah terus milih kerja. Kalau bosen itu ya milihnya jalan-jalan, refreshing, atau ngapain ke, kaya orang-orang jaman sekarang itu istilahnya apa ya, emmm," Mirna berfikir sebentar, mencoba mengingat-ingat istilah bahasa anak jaman sekarang. "Me time! Nah iya, itu bu dok, me time. He he." Sontak pernyataan Marni membuat Vira sedikit menyempilkan tawanya. "Me time? Halah Mbak. Kalau aku lagi bosan ya hiburannya ke sini, ke rumah sakit, ketemu sama pasien yang butuh bantuanku. Itu sudah aku anggap sebagai me time." jelas Vira. "Gitu ya, Bu dok cantik. He he." "Kalau gitu aku masuk dulu ya, Mbak. Mbak Mirna selamat bekerja. Semangat!" ujar Vira seraya mengepalkan tangannya yang di angkat, guna menyemangati Mirna. "Semangat empat lima Bu dok!" balas Mirna juga dengan mengangkat tangannya. Virapun terkekeh melihat aksi Mirna. Segera ia berjalan ke arah ruangannya. *** "Sita, ada apa?" sahut Rafly dengan bibir bergetar. Ia seperti tidak percaya saat ini dia sedang berbicara dengan Sita dalam telpon. "Aku cuma mau mengingatkan, supaya anda berfikir ulang untuk tidak melakukan hal bodoh dengan tes DNA!" ujar Sita fi ujung jalan sana. Rafly mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu apa, Ta?" kemudian tersenyum sinis. "Kalau Keinara itu bukan anakku, seharusnya kamu juga bersikap biasa aja. Tapi kalau kamu bersikap seperti ini, justru semakin membuatku berfikir bahwa Keinara memang benar anakku." tukas Rafly. "Baiklah, kalau anda tetap bersi keras untuk melanjutkan apa yang anda kehendaki. Tapi tentunya, anda tidak mau hubungan anda dengan keluarga anda bermasalah, bukan?"  Sita terdengar mulai berani mengancam. " Hai, maksud kamu apa sih, Ta? Nggak usah bawa keluargaku dalam masalah ini. Ini urusan antara kita berdua. Jadi mari kita selesaikan berdua." timpal Rafly mulai sedikit terpancing. "Heh! Saat ini saya sudah memegang nomer telepon istri Anda. Nomer Zaky, saya juga punya. Kalau saya mau, saya tinggal menghubungi mereka soal ini. Apa anda masih berani berkutik setelah ini?" ancaman Sita berlanjut. Rafly terlihat menghela nafasnya dengan berat. Yang ada di bayangannya saat ini adalah wajah Sukma. Bagaimana jadinya kalau Sukma sampai mendengar ini semua. Tentu rumah tangganya akan berada di ujung tanduk. "Kalau anda masih perduli dengan keluarga anda, hentikan rencana anda! Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Mari kita urus kehidupan kita sendiri! Selamat pagi!"  Sita menutup teleponnya. Rafly perlahan menurunkan ponsel yang melekat di daun telinganya. Agas yang penasaran pun bangkit dari sofa dan mendekati Rafly. "Ada apa?" tanyanya langsung. Rafly memandang ke arah Agas. "Sita mengancam kalau dia akan memberitahukan istri dan anakku soal apa yang akan kita lakukan. Saat ini juga!" "Jadi? Kamu mau batalin semua rencana yang sudah kita susun dengan matang ini?" tekan Agas. "Sebentar, Gas! Aku butuh berfikir yang jernih. Aku tidak mau rumah tanggaku hancur gara-gara ini." tukas Rafly yang semakin pusing. "Raf! Itu Sita pasti cuma ngancem doang. Gertakan sambal doang! Ayo lah, Bro! Kamu jangan sampai ikut kepancing gini!" Agas terus berusaha meyakinkan Rafly. Agas membuang nafasnya melalui mulut, sepertinya dia ikut gemas mendengar keputusan Rafly yang ia anggap plin-plan. Bahkan dengan gertakan sambal yang di sampaikan oleh Sita saja seperti melempem. Agas memutar tubuhnya sembilan puluh derajat, lalu berjalan kembali ke kursi tamu. *** Sita memilih mengistirahatkan pikirannya fi lantai dua, di kamarnya. Sementara butik ia serahkan sepenuhnya pada Sucy untuk menghandelnya. Kepalan makin terasa berkunang-kunang. "Mudah-mudahan ancamanku barusan busa menghentikan langkah Rafly. Aku belum siap menerima ini semua. Aku nggak rela kalau Keinara harus menerima kenyataan jika Rafly adalah ayah kandungnya." lirih Sita dalam hati. "OK, sekarang yang harus aku lakukan adalah menghubungi Mas Yudha. Aku harus memberitahu dia soap masalah ini." Sita kembali mengangkat ponselnya, mengetikkan sebuah pesan untuk di kirimkan ke Yudha. *** Keinara dan teman-temannya masih berada di kampus. Sebenarnya mata kuliahnya sudah selesai. Namun mereka masih memilih untuk nongkrong di kantin. Riyan yang saat ini lebih sering bergabung dengan geng narrow, pun juga ikut ke kantin. Membuat Zaky makin kesal melihat kedekatan antara Keinara dan Riyan. Karena Riyan selalu berusaha untuk duduk di dekat Keinara. "Nikmatin aja Riyan. Lagian sebentar lagi juga Bunda akan kembali memberikan restunya untuk ku dan Keinara. Kamu puas-puasin dulu buat deketin Keinata, setelah itu kamu akan mundur dengan sendirinya." batin Zaky yang sangat percaya diri. "Eh, gaes! Gimana kalau hari minggu besok kalian main ke rumah aku. Pada mau nggak?" ucap Riyan menawarkan. "Ke rumah kamu, Ri? Emmm, emangnya ada apa disana? He he." celetuk Michel. "Ya nggak ada apa-apa sih. Tapi kita bisa kok, bikin kegiatan gitu. BBQ an di taman atau tepi kolam renang. Di jamin seru deh." timpal Riyan, berusaha meyakinkan teman-temannya. "BBQ an? Wahhh mantap itu. Gas lah yok!" sahut Rony yang sangat bersemangat. "Eh, rumah kami ada kolam renangnya juga ya, Ri?" tanya Michel. "Ya ada lah! Makanya, besok pada ada acara nggak? Kalau nggak ada, kita agendakan. Gampang nanti kalian datang tinggal eksekusi aja. Semuanya sudah di disiapin sama Mbok ku di rumah." "Emmm, gimana nih yang lain? San, Kei, Zaky? Pada mau nggak?" tanya Rony. "Aku sih mau aja. Kebetulan besok juga aku nggak ada acara apa-apa." jawab Sandrina. "Itu, Kei sama Zaky, mau nggak?" "Aku ikutan aja lah, kalau Kei mau ya aku juga mau!" celetuk Zaky. Membuat Keinara merasa tidak nyaman. "Tuh, Kei, Zaky ngikut sama kamu." ujar Michel. "Ya udah aku juga ikutan deh! Dari pada bosen di rumah nggak ngapa-ngapain juga." Krinara tidak ada pilihan lain. Terpaksa dia juga mengiyakan pilihan teman-temannya. *** Disela-sela menyelesaikan pekerjaan kantornya, Yudha menyempatkan diri membuka ponselnya. Terang saja, ada beberapa pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Salah satunya adalah dari Sita. "Rafly sudah berani bertindak sejauh ini. Aku nggak bisa membiarkan semua ini begitu saja." ucap Yudha lirih, setelah dia membaca pesan yang dikirimkan oleh sang adik, Sita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN