Lima Belas

1549 Kata
Balikpapan Semenjak kembalinya dari Jogja, entah kenapa hati Rafly mengatakan jika, dia harus secepatnya kembali ke kota itu lagi. Entah ada magnet apa yang menarik pikiran serta hatinya, hingga sehari-hari yang ada di isi kepalanya adalah kembali ke Jogja. Rafly yang tengah melepaskan segala penat sekembalinya dari bekerja, memikirkan cara supaya minggu ini dia bisa kembali ke Jogja dengan aman. Tentu saja supaya Sukma mengizinkan niatnya dan tak menaruh prasangka yang tidak-tidak. Sukma yang sedari tadi memperhatikan tingkah suaminya, pun menjadi penasaran. Kenapa sang suami sekarang terlihat sering diam dalam tatapan lamunan kosongnya. Sukma mendekati Rafly yang tengah duduk di tepi kolam ikan koi peliharaannya. "Mas!" sapa Sukma seraya menyentuh lembut bahu sang suami. Sontak membuat Rafly sedikit kaget hingga dengan cepat mendongakkan kepalanya ke belakang. "Hemmm, kamu sayang. Bikin aku kaget aja. Kenapa?" timpalnya seraya menarik punggung tangan Sukma ke dekat bibirnya, lalu mengecupnya. "Aku perhatiin kamu kok akhir-akhir ini jadi sering melamun sih. Semenjak pulang dari Jogja kemarin. Mikirin apa? Kalah tender atau gimana? Cerita dong sama aku." cecar Sukma. Rafly tersenyum. "Nggak ada ceritanya seorang Rafly bisa kalah tender! Pernah kamu mendengarnya?" "Belum. Terus apa dong?" telisik Sukma, lagi. Rafly tak mungkin bisa jujur mengatakan yang sebenarnya. Mengingat Sukma adalah tipe istri yang pencemburu berat. Tidak mungkin jika dia harus bercerita dengan Sukma, bahwa di Jogja kemarin dirinya sempat melihat sosok mantan kekasihnya. Bisa remuk dicincang saat itu juga tubuhnya oleh Sukma. "Emmm, ini, teman aku di Jogja, namanya Rudy. Nawarin aku sebuah tanah pekarangan disana. Katanya dia lagi butuh uang segera. Anaknya lagi butuh biaya rumah sakit. Kena patah tulang karen kecelakaan, dan harus segera di operasi." terang Rafly mengada-ada. "Rudy?" tekan Sukma. "Heeemm!" "Aku baru dengar kamu punya teman yang namanya Rudy?" Sukma mulai mengorek. "Seingat aku, teman-teman bisnis kamu itu ada, Agas, Axel, Tommy, Candra, terus sama yang orang Makasar itu, emmm, Rama!" "Iya sayang, masalahnya dia itu teman kuliahku. Dulu satu kelas waktu masih sama-sama kuliah di Jogja. Kebetulan kita ketemu di Instgam. Ya udah akhirnya saling tukeran nomer gitu kemarin." kilah Rafly. "Nah, tadi sore tiba-tiba dia kirim pesan ke aku, nawarin tanah itu." jelas Rafly makin mencari-cari. Sukma bergerak ke sisi Rafly, ikut duduk di sebelahnya. Sepertinya Sukma mulai tertarik seratus persen dengan cerita karangan Rafly. "Emang, minta berapa, Mas? Terus kondisi tanah, lingkungan sekitarnya juga gimana?" "Kalau menurut penuturannya tadi sih, tanahnya luas sekitar lima ratus meter. Terus juga ada di pusat kota, dekat sama banyak kampus juga. Aksesnya bagus sih menurut aku." ujar Rafly semakin mengada-ada. Entah dari mana ide mengarang bebas yang tiba-tiba muncul di kepala Rafly. Hingga Sukma percaya dengan apa yang diucapkan oleh suaminya tersebut. Sukma terlihat berfikir, telunjuk tangan kanannya terlihat mengetuk permukaan meja berkali-kali. "Ya udah beli aja, Mas. Kasihan lho. Anaknya lagi butuh biaya segera kan?" Rafly menatap Sukma. "Kamu izinin aku buat beli tanah Rudy yang di Jogja? Yang benar aja, sayang!" "Iya." singkat Sukma. "Tapi, aku lagi mikir juga. Misal beli tanah disana, mau di pakai buat apa coba? Sementara kita kan tinggal disini. Nanti malah nggak ke urus jadinya." tuturnya kamuflase belaka. "Katanya itu tanah ada di pusat kota, dekat dengan kampus juga kan? Kita bisa manfaatkan buat bikin bangunan kontrakan lho, Mas. Bisa kita sewain, apalagi dekat sama kampus, pasti banyak yang minat. Bisa jadi cuan itu, hehehe." "Cuan? Hemmm." Rafly pura-pura berfikir. "Tapi ide kamu brilian juga ya. Aku malah nggak kepikiran sampai kesitu lho." Rafly terlihat sumringah. Akhirnya pancingannya disambut baik oleh Sukma. "Kalau kamu izinin gini sih aku gas aja." imbuhnya. "Ya udah beli aja, Mas. Emang minta berapa?" "Minta permeternya sepuluh juta, soalnya di pusat kota kan. Ya, kalau di total jadinya ya lima milyar. Itu duit gede lho sayang. Gimana, masih mau?" Rafly memastikan. "Aku sih nggak masalah harganya mau berapa aja. Yang penting bisa buat bantuin Rudy dan juga bisa mengahasilkan cuan kembali. Hehehe. Aku dukung seratus persen. Eh bukan, seribu persen malah, hehehe." "Hemm, Para istri, kalau dengar cuan aja langsung gerak cepat ya! Ha ha ha!" Tawa Rafly terdengar menggelegar. "Iya dong. Wajib itu! Kita harus realistis, Mas. Ke depan, biaya-biaya makin banyak dan makin naik. Kita harus pintar-pintar berinvestasi. Salah satunya tanah. Kalaupun nanti itu tanah di didemin aja juga sepuluh tahun lagi bakalan nambah pasarannya kan? Jadi untung lah kita, hehehe." "Haduh, emang ya istri aku ini paling kago soal manajemen perduitan. Ya, walaupun hobinya juga suka buang-buang duit, tapi pinter juga buat nyari duit, hehehe. Jadi ini deal ya? Aku beli tanahnya Rudy yang di Jogja?" "Deal! Minggu depan kita ke sana. Aku pengen lihat tanahnya kaya apa. OK!" Sontak pernyataan Sukma membuat Rafly gelagapan. "Hah? Kamu mau kesana? Untuk apa, sayang?" "Pengen ninjau lokasi aja, Mas. Kalau emang harus segera di bangun ya biar cepat di kerjain dan tentunya juga menghasilkan cuan lah, Mas. Sekalian juga pengen jalan-jalan kesana, nengokin Zaky juga. Aku kangen banget, Mas, sama Zaky. Udah ada empat bulan nggak ketemu kan. Ya?" Rafly kali ini tidak bisa mengelak. Mau tidak mau dia harus mengiyakan permintaan istrinya. "Ya! Bisa diatur." ucap Rafly lesu. Akhirnya kamuflase Rafly berhasil mengelabui Sukma. Tapi kini dia harus memutar otak lagi, memikirkan cara untuk segera bisa mencari tanah yang sesuai dengan gambaran yang ia paparkan pada istrinya tadi. Mampus kau Rafly. Lagian kebanyakan drama sih pakai ngarang mau beli tanah segala. Jadi bumerang sendiri kan jadinya, hahaha! *** Di tengah malah, sekitar pukul dua belas lebih. Mata Yudha belum juga bisa terpejam. Entah kenapa hatinya dilanda gundah gulana karena pertemuannya dengan Vira tadi siang. Melihat Prayoga terlelap, Yudha memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Ia berjalan menyusuri ruang koridor yang sudah sangat sepi. Hanya terdengar hentakan langkah kakinya yang bisa ia dengarkan sendiri. Zaky memilih pergi ke kantin. Ia ingin menghangatkan tubuhnya dengan segelas kopi instan yang biasa ia seduh kala berada di rumah. Sesampainya di kantin, suasanapun nampak sepi. Hanya ada seorang penjual yamg masih berusaha terjaga demi menjemput rezekinya. Yudha berjalan menuju ke lapak sang penjual. "Bu, kopi luwaknya satu ya!" pintanya pada si penjual. "Iya, Mas. Tunggu sebentar." sahut si penjual yang dengan sigap segera membuatkan pesanan Yudha. Yudha duduk dengan memainkan ponselnya. Ia buka aplikasi instsgam dan mencoba mencari tahu tentang Vira disana. Baru saja ia melihat ke beranda, suara yang tidak asing terdengar jelas di telinganya. "Bu, mi rebus pakai telor setengah matang, cabainya tiga ya! Sama teh manis hangatnya satu." pintanya. "Iya, siap bu dokter!" sahut si penjual. Sontak dengungan suara tersebut membuat mata Rafly menjadi lebar seketika. Suara itu memang tidak asing lagi di telinganya. Rafly gerak cepat menoleh persis ke sampingnya. Benar saja, ada sosok Vira yang tengah duduk dan tengah fokus memainkan ponselnya. Bibir Yudha terlihat mekar. "Vira!" serunya. Sontak Virapun menoleh ke arah kirinya. Tak kalah kagetnya, iapun dibuat melongo melihat Yudha ternyata ada di sampingnya. "Lhoh, Mas Yudha! Ada disini juga?" sahutnya. "Sorry, Mas, aku nggak lihat kanan kiri tadi." ujarnya tak enak. "Iya. Lagi pengen ngopi ini, mumpung Bapak pules tidurnya. Kamu sendiri, kenapa masih ada di sini? Ini udah jam berapa?" "Iya, jadi tadi jam sebelasan, mendadak ada telfon dari rumah sakit, ada pasien yang butuh penanganan. Ya udah aku langsung kesini lagi. Alhamdulillah, sekarang pasien sudah terkondisikan." terangnya. "Masya Allah. Mulia sekali hati kamu, Vir. Biasanya kalau dokter-dokter lain itu kalau nggak pas jam kerjanya. susah lho dimintai meluangkan waktu kaya gini. Tapi kamu? Masya Allah... " pujinya pada Vira. "Panggilan hati, Mas. Aku memilih profesi ini juga karena panggilan hati, bukan karena uang atau segala macam. Selama aku bisa membantu, pasti akan aku usahakan, karena memang itulah kewajiban dan tujuanku." terang Vira. Hati Yudha mendadak makin berdesir. Kekagumannya terhadap Vira makin membumbung tinggi. Dari semenjak kuliah, Vira memang terkenal dengan kebaikannya yang tidak pandang bulu. Siapapun yang membutuhkan bantuannya, pasti akan di tolong olehnya. Penjual mengantarkan segelas kopi pesanan Yudha. Meletakkannya perlahan di hadapannya. "Masnya baru tahu ya, bu dokter Vira ini kan memang terkenal dengan segala kebaikannya." tiba-tiba ikut mengeluarkan suara. "Eh, si Ibu bisa aja ah." timpal Vira agak malu-malu. "Eh, beneran lho bu dokter. Bu dokter ini selalu siaga kalau ada panggilan mendadak dari rumah sakit. Udah pintar, baik hati, selalu ramah pula sama semua pasiennya. Entah yang ada di kelas tiga hingga kelas VVIP. Pokoknya bu dokter Vira mah, terbaik deh!" cerocos sang penjual. Lalu kembali ke belakang untuk mengambilkan pesanan mi rebus yang di minta oleh Vira. Vira hanya tersenyum menanggapi pernyataan dari bu Eni, sang penjaga kantin yang sudah lama berjualan di rumah sakit ini. Sementara Yudha masih saja terkagum dengan apa yang ia dengar kali ini. Bu Eni kembali dengan membawa nampan yang berisi mangkok mie instan dan juga segelas teh manis panas. "Ini bu dokter, pesanannya." "Makasih ya, Bu." Yudha beralih fokus pada satu mangkok yang berisi mie di hadapan Vira. "Ehemmm! Katanya bu dokter, tapi makannya kok makanan cepat saji gini sih!" seloroh Yudha tiba-tiba. Vira yang baru saja memasukkan suapan pertamanya dibuat salah tingkah karena ucapan Yudha. "Hehe, ya gimana ya. Abisnya makanan surga dunia itu ya ini, Mas. Mie instan rebus, pakai telor setengah matang, di kasih irisan cabe. Emmm, mantap! Hehehe. Dan satu lagi Mas Yudha, konsumsinya nggak setiap hari, jadi ya selama tidak berlebihan, ya aman-aman aja." ujarnya seraya tersenyum manis ke arah Yudha. "Hemmm, bisa aja ya ngelesnya, bu dokter ini." timpal Yudha. Keduanyapun terlihat melanjutkan menikmati pesanannya masing-masing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN