Dua Delapan

1507 Kata
"Kei, mintanya yang banyak sekalian tuh. Hahaha!" seloroh Yudha dengan tawa ringannya yang melangkah melewati Keinara dan Prayoga. Keinara meraih punggung tangan Kakek. "Kei, pulang dulu ya, Kek." "Hati-hati ya, cu. Minggu depan akhir pekan nginep kesini lagi ya!" ucap Prayoga. "Insya Allah ya Kek, kalau Kei nggak ada kegiatan di kampus, hehe." Kemudian bergantian menyalami tangan sang Nenek. "Belajar yang benar ya, cu. Biar kuliahnya lancar terus cepat selesai. Biar cepet juga nyari kerjanya." imbuh Mainah, berpesan sekaligus memberikan semangat. "Iya pasti, Nek." Keinara segera ia menyusul sang Bunda dan Yudha yang sudah menunggunya di dalam mobil. "Da Kakek, daa Nenek!" seru Keinara melambaikan tangan melalui kaca pintu mobil yang dibukanya. Prayoga dan Mainah serempak melambaikan tangan ke arah sang cucu. "Hati-hati ya, Kei!" balas Prayoga. Mainah hanya tersenyum. "Matur nuwun Gusti, akhirnya hati suamiku luluh juga. Semoga Engkau juga meluluhkan hatinya untuk Sita, anak kandungnya." doa Mainah dalam hati. *** "Cieee, yang abis dapat tambahan uang jajan! Lumayan eumm buat makan-makan! Bebek panggang enak nih kayanya!" ledek Yudha seraya fokus pada setir di tangannya. "Yey, sirik aja! Pengen ya? Minta sendiri sama Kakek! Weeekkk!" timpal Keinara setengah mengejek. "Ih, sorry ya, Pakde udah bisa nyari uang sendiri kali. Emangnya kamu, bisanya cuma minta aja! Huhuhu!" Yudha kembali mengejek keponakannya tersebut. "Ya kan Kei masih sekolah, kalau udah kerja ya nggak bakalan minta lah! Yeyyyy!" balas Keinara tidak mau kalah. "Itu tadi Pakde kan bilang kalau punya uang sendiri, terus ngapain minta dijajanin sama Kei. Jajan sendiri sana!" cibir Keinara. "Ya kan Pakdhe pengen ngerasain dijajanin sama kamu, Kei. Jangan pelit-pelit, lah!" "Biarin pelit! Weeekkk!" "Hemmm, awas ya kalau besok-besok minta uang jajan sama Pakde, nggak bakalan Pakde kasih!" balas Yudha. "Idih, ngancem! Jadi orang dendaman banget sih! Nggak asyik! seloroh Keinara. Sita yang kepanasan mendengarkan perdebatan keduanya langsung mengambil alih posisi pembicaraan. "Ya ampun, kalian ini. Bisa nggak sih akur sebentar aja. Pas main poker aja akur, lainnya itu, debat melulu, puyeng ini yang dengerin ah!" seloroh Sita yang lagi-lagi harus mendengarkan keributan yang dibuat oleh Kakak dan anaknya sendiri. "Pakde tuh, Bun, yang mulai!" timpal Keinara. "Nah kan! Aku lagi yang kena! Haisshhh!" keluh Yudha. Keinara mengambil amplop yang ia selipkan dalam saku sweaternya. Ia penasaran berapa rupiah uang yang diberikan oleh sang Kakek. "Wah, banyak amat Kakek ngasihnya, Bun!" ucap Keinara dengan mulut yang setengah terbuka. Terkejut dengan isi uang di dalam amplop. Sita melongok ke arah amplop. "Emangnya dikasih berapa, Kei?" tanyanya yang ikut penasaran. "Ada satu juta, Bun! Wahhh, Kei bisa beli tas sama sepatu baru nih! Yeesss!" ujarnya kegirangan. Sita tersenyum, ada haru juga yang menyelinap dalam hatinya. Bukan karena jumlah nominal uang yang diberikan sang Ayah pada cucunya, namun ia yakin, sang Ayah kini sudah benar-benar bisa menerima kehadiran Keinara. "Jangan dipakai jajan semua, Kei! Sebagian di tabung, ya!" sahut Yudha. "Hehehe, siap Pakdeku sayang!" timpal Keinara berseri-seri. "Eh, Pakde nggak mau ikut nambahi apa? Hihihi." imbuh Keinara setengah berharap. "Kan itu udah banyak! Ngapain Pakde tambahin lagi!" seloroh Yudha. "Yey, kan sodakoh sama keponakannya sendiri. Dasar pelit!" kutuk Keinara seraya memicingkan bibirnya. Yudha dan Sita hanya bisa tersenyum, mendengar kutukan dari seorang anak remaja tersebut. Mobil terus berjalan, menembus gelapnya kota Jogja pinggiran. *** Pagi harinya "Kei, Kei! Astaga, ada maling masuk! Hu hu hu!" ratap Sita yang ada di dalam garasi. Sekitar pukul lima lebih tiga puluh menit biasanya Sita memang selalu keluar untuk mencari sarapan di pasar pagi. Pagi-pagi buta suara Sita sudah memecah kenyamanan tidur sang putri. "Ya ampun, Bunda apaan sih, pagi-pagi gini teriak-teriak segala! Ganggu orang lagu enak-enaknya tidur aja." gerutu Keinara, terpaksa dia harus menyingkap selimutnya dan turun ke lantai satu. Perlahan Keinara menuruni tangga dengan masih mengucek matanya. "Apaan sih, Bun?" tanyanya kesal. "Sepeda motor Bunda hilang, Kei! Hiks hiks hiks!" sahut Sita dengan suara tangisannya. Sontak membuat mata Keinara terbuka selebar-lebarnya. "Hah? Sepeda motor Bunda hilang?" seru Keinara saking kagetnya. Dengan secepat kilat Keinara berlari menuju garasi, dimana sang Bunda masih meratapi nasib sepedanya yang tidak ada disana. Keinara menyebarkan pandangannya ke seluruh sudut garasi kecil yang berukuran dua kali dua setengah meter tersebut. Dan memang hanya terdapat satu sepeda motor milik Keinara saja. Keinara bergegas memeriksa pintu garasi. Keningnya mengerucut. "Tapi gemboknya masih aman, Bun. Nggak rusak ini.Terus malingnya masuk dari mana ya?" Keinara berfikir keras. Sita mendekati Keinara, ikut memeriksa gembok yang biasa ia kaitkan antara kedua gagang handle rolling doornya. "Iya ya, Kei. Nggak ada tanda-tanda kerusakan sama sekali." timpal Sita yang juga bertanya-tanya. Sita menggaruk kepalanya. "Kalau ada maling masuk, pasti gemboknya rusak, Bun. Tapi ini aman-aman aja sih! Terus dari mana malingnya bisa masuk coba?" Keinara mensedekapkan kedua tangannya ke depan d**a, masih berusaha memecahkan masalah tersebut. Sita yang tadinya panik, kini berusaha memenangkan diri, ia mencoba untuk berfikir secara jernih. "Coba Bunda ingat-ingat deh, terakhir kali Bunda pakai sepeda motor itu kapan, dan buat apa?" ujar Keinara. "Emmm, terakhir Bunda pakai ke_" Sita kembali mengingat. "Ke rumah sakit sih. Terus abis itu_" tiba-tiba bibir Sita berhenti, matanya terlihat melebar, mulutnya pun ikut melebar juga. "Astaga, Kei!" seru Sita seraya menepuk jidatnya. Keinara menggerakkan kedua alisnya ke atas. Sita memandang Keinara. "Bunda lupa! Sepeda motornya masih ada di rumah sakit!" "Hah, di rumah sakit? Kok bisa sih, Bun?" "Iya Bunda lupa. Kemarin kan Bunda pulang dari rumah sakit langsung ke rumah Kakek, dan itu naik mobil Pakdhe. Bunda sampai lupa ninggalin sepeda motor Bunda di parkiran rumah sakit. Astaga, dasar nini-nini pikun!" ujar Sita mengatai dirinya sendiri. "Haushhh, Bunda. Udah bikin orang rumah panik aja! Keinara tadi udah lemes lihat Sepeda motor Bunda nggak ada, eh tahunya ketinggalan di rumah sakit! Hadeehhh!" seloroh Keinara. "Hehehe, ya maaf Kei. Bunda beneran lupa, hihihi." timpal Sita yang harus menahan malu. "Ya udah kalau gitu, Bunda pinjam sepeda motor kamu dulu, ya. Keburu bubur ayamnya habis!" lanjutnya, kemudian ia berjalan menuju sebuah kunci yang digantungkan ditembok. *** Setelah selesai sarapan, Keinara segera berpamitan pada sang Bunda untuk berangkat menimba ilmu. Sedangkan Sita sendiri memilih untuk memesan ojek online untuk mengantarkannya menuju rumah sakit. Sampainya di kampus, Keinara mampir dulu ke taman biasa ia bertemu dengan Zaky. Dan ternyata Zaky sudah ada disana terlebih dahulu. "Pagi bebebku!" sapa Keinara dari belakang, lalu ikut duduk di samping Zaky. "Hemmm, tumben datangnya telat! Kemana aja?" tanyanya penasaran. "Hadehh, tadi pagi-pagi itu ada sebuah tragedi, dimana sepeda motor Bunda tiba-tiba ilang." terang Keinara. Mata Zaky melotot. "Hah? Hilang? Dicuri orang?" tanyanya penasaran. "Hehehe, bukan dicuri orang, tapi Bunda lupa menyimpan dimana. Ternyata ketinggalan di rumah sakit! Hadehhh!" jelas Keinara seraya menepuk jidatnya. "Astaga Bunda ada-ada aja sih Ya! Hahaha!" tawa keduanya pecah. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul delapan, Zaky dan Keinara segera masuk ke dalam kelas. *** Rumah Wardi "Gimana, nduk! Menurut kamu, Yudha itu orangnya gimana?" tanya Wardi tanpa basa-basi pada sang putri, Ratna. "Emmm, apaan sih Pak. Kemarin kan Ratna sana Mas Yudha juga nggak ngobrol apa-apa kan. Ratna nggak tahu Mas Yudha itu seperti apa orangnya." jawab Ratna yang tengah menyantap makan paginya. "Ya sekilas aja, menurut kamu gimana orangnya? Ganteng ndak? Terus sopan ndak? Atau apa lagi, menurut pengamatan kamu, nduk." "Emmm, ya, ganteng sih ganteng, Pak. Sopan juga kelihatannya. Cuma_" Ratna menghentikan bicaranya. "Cuma apa?" potong Wardi. Ratna meletakkan semdoknya ke atas pinggiran piring. "Orangnya cuek banget, Pak. Negur Ratna aja nggak!" celotehnya. "Bapak yakin mau jodohin Ratna sama Mas Yudha? Ratna juga takut kalau Mas Yudha tidak menginginkan semua ini, nanti akan membuat " "Hemmm, semuanya bisa diatur, nak. Kamu tahu, Bapak sama Paklik Yoga itu dari kecil sahabatan. Bapak pikir dia juga pasti akan berusaha meyaki kan Yudha supaya bisa menerima perjodohan ini. Ya memang, Yudha itu dari dulu anaknya cuek. Dia anaknya juga pendiam. Ya, Bapak sama Paklik Prayoga berharap pertemuan kita kemarin itu ada lanjutannya. Semoga apa yang kita, para orang tua harapkan bisa berjalan dengan lancar." tutur Wardi. Ratna menunduk sebentar, lalu mengangkat kepalanya kembali. "Ratna sih nurut aja sama Bapak, gimana baiknya. Ratna nggak ingin jadi anak durhaka, apapun yang Bapak inginkan, Insya Allah Ratna akan dengan ikhlas menerima dan menjalaninya, Pak. Ratna tahu, apa yang sudah berusaha Bapak lakukan untuk Ratna, itu adalah ya g terbaik." tuturnya. "Alhamdulillah, Bapak rasanya lega sekali mendengar apa yang baru saja kamu ucapkan, nak! Bapak tahu kamu ini anak yang penurut. Insya Allah, pilihan Bapak ini tidak akan salah." timpal Wardi. "Iya, Pak!" sahut Ratna. "Kalau begitu, Ratna berangkat ke kantor dulu ya, Pak!" Ratna bangkit dari duduknya. Menyalami punggung sang Ayah, lalu pergi meninggalkan meja makan. Ratna, adalah anak satu-satunya dari pasangan Wardi dan Rumanah. Namun, ketika dua puluh lima tahun yang lalu, sesaat setelah memutuskan untuk transmigrasi ke Sulawesi, Rumanah jatuh sakit dan meninggal. Sejak saat itu, Wardi hidup bersama Ratna, putri satu-satunya. Wardi memutuskan untuk tidak menikah lagi karena berjanji pada dirinya sendiri. Dia akan merawat Ratna hingga Ratna tumbuh menjadi orang yang sukses. Janjinya terkabul, Ratna berhasil tumbuh menjadi pribadi yang baik dan sukses. Dengan meraih titel sebagai Sarjana Ilmu Pemerintahan ditambah sudah di angkat sebagai seorang Aparatur Sipil Negara. Kini tugasnya sebagai orang tua tinggallah satu, yaitu menikahkan anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN