"Mas Yudha!" seru Vira seraya membalikkan tubuh, lalu tersenyum manis.
Yudha berhenti tepat di hadapan Vira. "Emmm, ini Vir. Emm, maaf ganggu waktunya sebentar. Emmm, boleh nggak aku minta nomer kontak kamu. Emm, siapa tahu nanti aku mendadak butuh bantuan kamu. Kalau Bapak tiba-tiba keadaannya nggak bagus atau apalah gitu. Boleh nggak?" pinta Yudha dengan bahasa yang belepotan. Wajahnya terlihat gugup takut permintaannya akan ditolak oleh Vira. Bisa malu sampai tujuh turunan dong kalau beneran ditolak.
Vira mengulas senyum. "Owh, boleh, Mas. Mana ponsel Mas Yudha?" Vira mengangkat tangan kanannya, sebagai kode meminta ponsel Yudha.
"Boleh?" timpal Yudha setengah tidak percaya.
Yudhapun dengan kalap segera mengambil ponsel yang ada di saku celananya, menyerahkannya pada Vira.
"Ini." Menyerahkan ke tangan Vira.
Beberapa detik Vira menuliskan nomer kontaknya di ponsel Yudha, lalu menyerahkannya kembali pada sang pemiliknya.
"Nama kontaknya Vira." Mengembalikan ponsel pada Yudha.
"Emm, makasih banyak lho, Vir. Maaf ya udah ganggu waktunya, hehe." ujar Yudha masih salah tingkah. Rasanya masih tidak percaya, jika Vira mau berbagi nomer kepadanya.
"Nggak apa-apa, Mas. Ya sudah, aku lanjut mau visit (kunjungan) ke pasien lain dulu ya. Hati-hati pulangnya, salam buat keluarga di rumah." timpal Vira, kemudian berlalu.
Entah perasaan apa yang kini Yudha rasakan. Antara bahagia, senang, cemas, deg-degan, semuanya membaur menjadi satu. Pertemuannya dengan Vira seperti memberikan suntikan semangat yang tidak seperti biasanya. Yudha kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke raung administrasi.
Namun, di tengah-tengah perjalanan, pikiran Yudha justru diselimuti hal-hal yang membuatnya khawatir sendiri. Tiba-tiba saja Yudha berfikir tentang suami Vira.
"Aduh! Aku salah nggak sih, minta nomer kontaknya Vira? Nanti kalau suaminya tiba-tiba marah terus nggak terima gitu gimana? Haduhh, jadi serba salah juga kalau kaya gini." lirihnya seraya terus berjalan. "Tapi, aku kan cuma mau minta tolong aja, sewaktu-waktu Bapak kenapa-napa dan butuh pertolongan pertama kan aku bisa dengan cepat meminta bantuan pada dia." ujarnya lagi, menguatkan perasaannya.
***
Di ruang rawat Prayoga, ada seorang perawat yang tengah melepaskan infus dari tangan Prayoga. Sementara Sita tengah membereskan barang-barang yang akan dibawanya kembali pulang ke rumah.
"Selamat kembali ke rumahnya ya, Pak. Ingat pesan dokter, jangan terlalu berfikir yang macam-macam, istirahatnya juga dijaga, makanan juga harus diperhatikan, ya, Pak." pesan perawat yang sudah selesai melakukan kewajibannya.
"Iya, sus. Saya kapok, nggak mau nginep disini lagi. Nginep di kamar bagus tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Tobat, sus, tobat!" tutur Prayoga.
Sang perawat hanya bisa mengulas senyum mendengar penuturan Prayoga.
"Betul sekaki, pak. Lebih enak juga tidur di kamar sendiri. Biarpun kamarnya sempir dan nggak ada AC, lebih nyaman disana kan? Hehehe." timpal sang perawat.
Sita yang masih membereskan barang-barang hanya bisa ikut tersenyum mendengarkan percakapan antara sang Ayah dan si perawat.
"Ya sudah kalau begitu saya permisi ya, Pak, Bu." pamit si perawat.
Sita berjalan mendekati si perawat. "Iya, sus. Sekali lagi terima kasih ya atas bantuannya." sahutnya.
"Iya, Bu. Sama-sama." Perawat segera meninggalkan ruangan Prayoga.
Sita beralih berjalan mendekat ke sisi ranjang sang Ayah, membantunya menurunkan kakinya menapak ke atas lantai. Dengan cekatan, Sita segera mengambilkan sandal untuk dipakaikan ke telapak kaki sang Ayah.
"Ta!" panggil Prayoga, tiba-tiba.
Degh!
Ada semacam debaran yang Sita rasakan saat itu juga. Prayoga yang entah sudah sekian ratus purnama tidak pernah menyebut ataupun memanggil namanya. Tiba-tiba saja ia panggil kembali naka putrinya tersebut.
Sita menatap sang Ayah yang pandangannya masih tak ingin menatapnya langsung. Sita perlahan berdiri, lalu ikut duduk di samping sang Ayah.
"I-iya, Pak! Ada apa? Bapak mau apa? Mau ke kamar mandi? Atau mau minun?" sahut Sita kemana-mana.
Prayoga perlahan menegakkan pandangannya, masih enggan menatap langsung ke sang putri yang ada di sebelahnya. Ia memilih memandangi pintu yang tepat lurus di hadapannya.
"Nanti kamu nginep di rumah aja ya! Kasih tau Keinara juga, nanti biar Yudha yang jemput dia." tutur Prayoga.
Degh!
Lagi-lagi, d**a Sita kembali bergemuruh. Ada rasa tidak percaya ketika sang Ayah bisa mengajaknya berbicara sepanjang itu. Bahkan meminta dirinya dan Keinara untuk menginap di rumah sang Ayah. Ini adalah sebuah keajaiban untuk Sita. Salah satu keajaiban yang selalu dinantinya.
"Apa, Pak? Nginep di rumah?" tanya Sita memastikan.
"Iya. Kalau kalian mau. Kalau ndak ya sudah, ndak apa-apa. Bapak ndak maksa juga!" sahutnya datar.
Sita meraih lengan sang Ayah. "Owh, iya, Pak. Mau banget kok. Makasih ya, Pak. Sudah izinin Sita sama Keinara untuk bisa menginap di rumah. Keinara pasti senang sekali mendengar ini."
"Ya." sahut Prayoga singkat.
"Ya Allah, Bapak sudah mau mengizinkan aku dan anakku untuk singgah ke rumahnya, bahkan menyuruhku untuk menginap. Ini benar-benar diluar dugaan. Tapi setidaknya, hati Bapak sudah sedikit mencair. Terima kasih Ya Allah." batin Sita.
Ingin sekali saat itu juga ia menangis dan memeluk sang Ayah, untuk meluapkan kebahagiaannya. Namun ia tahan. Tak mungkin rasanya dia harus melakukannya di hadapan sang Ayah. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah berterimakasih kepada Tuhan, karena sudah membuat hati sang Ayah mencair perlahan.
***
Keinara sudah berada di atas tempat tidurnya. Berbalut selimut yang menutupi tubuhnya hingga ke d**a. Ia kembali membayangkan kebersamaannya bersama Zaky saat di pantai tadi. Saling bergandengan tangan, kejar-kejaran, main air, hingga tertawa lepas dan tidak perlu menjaga jarak sama sekali. Sungguh indah, dunia bagai milik mereka berdua.
"Zaky, romantis banget sih kamu." ucapnya lirih, sambil senyum-senyum membayangkan wajah tampan Zaky yang setiap hari muncul di matanya. "Coba ya, kalau kita nggak sembunyi-sembunyi gini, pasti semuanya akan indah setiap hari. Nggak perlu jaga sikap di hadapan semua orang. Nggak perlu berpura-pura seolah kita nggak ada hubungan apa-apa juga. Nggak perlu susah-susah kode-kodean juga. Semuanya berjalan normal seperti pasangan muda lainnya. Semoga kelak, hati Bunda bisa terbuka, bisa memberikan kepercayaannya padaku. Kalau aku tetap bisa berprestasi dan kuliah dengan baik, walaupun punya pacar." ujarnya, lalu menghela nafasnya.
Drrttt drrttt drrrtt!
Ponsel di atas meja lampu tidur bergetar. Sontak Keinara mengalihkan pandangannya ke ponsel tersebut.
"Zaky ngapain lagi? Katanya tadi udah pamit mau tidur!" ucapnya penuh tanya.
Keinara membuka selimutnya, segera mengambil ponsel miliknya, memeriksa bagian notifikasi yang ada di layar atas ponselnya. Sekejap matanya melebar, mendapati pesan tersebut tenyata bukan dari Zaky, melainkan dari sang Bunda.
"Lhoh, Bunda?" serunya. Keinara segera membuka pesan tersebut.
[Siap-siap nanti jam sembilanan mau dijemput sama Pakde Yudha. Malam ini kita nginep di rumah Kakek. Kakek sudah boleh pulang, dan Bunda ini langsung menuju ke rumah Kakek. Tolong bawain juga pakaian bunda buat ganti malam ini sama besok ya, Kei!]
Keinara mengalihkan pandangannya ke depan, masih ada kebingungan yang menyelimuti pikirannya.
"Nginep di rumah kakek? Ini apa aku nggak salah baca ya? Bunda nggak lagi halu kan ya?" celotehnya sendiri.
Keinara kembali meraih ponsel yang sudah ia tanggalkan ke atas meja. Membuka pesan yang dikirim oleh sang Bunda. Ia baca kembali tulisan sang Bunda.
"Iya! Aku nggak salah baca kok. Emmm, lagi kesambet apa ya, Bunda tiba-tiba ngajakin aku nginep disana?" ujarnya sendiri.
Tak mau berfikir terlalu lama. Keinara menyimpan kembali ponsel ke atas meja. Ia segera turun dari kasur dan menyiapkan segala keperluan yang akan ia bawa ke rumah kakeknya.
***
Yudha kembali ke ruangan, melihat sang Ayah yang sudah berada di kursi roda dan Sita juga siap dengan dua koper yang sudah berdiri dan siap untuk didorong.
"Sudah beres, Ta?" tanyanya memastikan.
"Sudah, Mas. Tinggal jalan aja ini." terang Sita yang sudah berdiri di belakang Prayoga.
"OK!" Yudha berjalan mengambil dua koper tersebut.
Ketinganya berjalan meninggalkan ruangan rawat yang selama tiga malam ini mereka tempati. Ruangan yang menjadi saksi mulai mencairnya hubungan Ayah dan anak yang sudah berpuluh tahun membeku.
***
Balikpapan
Sementara Rafly kini tengah pusing mencari tanah yang ia ceritakan pada Sukma tempo hari. Mau tidak mau dia harus berhasil mencari tanah yang dimaksud. Supaya Sukma tidak curiga ketika suatu hari mereka berkunjung ke Jogja, wujud dari tanah itu memang nyata ada.
Rafly sudah beberapa kali menghubungi rekannya yang tinggal di Jogja untuk mencarikan tanah yang ia maksud. Bahkan dia juga mencarinya lewat pasar online. Namun belum juga membuahkan hasil.
"Haduh, gara-gara bohong, jadi repot sendiri kan akunya!" gerutunya di dalam mobil dalam perjalanan pulang. "Sukma ngapain juga sih kepo pengen ikut segala ke Jogja. Mana kalau dilarang bukannya nurut, justru malah makin kepo, kenapa sampai nggak boleh ikut. Jadi tambah runyam urusannya kalau udah merajuk." celotehnya lagi.
Kring kring kring.
Tiba-tiba ponsel Rafly berdering. Terlihat nama Anjas memanggil tertera dalam layar ponselnya.
"Anjas? Mudah-mudahan ada kabar baik dari dia." ucapnya, lalu mengambil earphone dan menyelipkannya ke daun telinga.
"Gimana, Jas? Ada kabat baik apa?" todong Rafly langsung.
"Ada, Yud. Cuma masalahnya dia minta harga tinggi. Melebihi target yang kamu kasih kemarin. Aku bingung! "
"Memangnya minta berapa sih?"
"Ini ada lima ribu meter. Per meternya minta sepuluh juta. Ya kamu kali aja itu totalnya."
"Jadi lima M ya, Jas. Tapi kalau lokasinya strategis sih nggak apa-apa. Ambil aja. Yang penting ya sesuai lah, harga dan kondisi tanahnya seperti apa."
"Kalau harga sih sesuai pasaran, Raf. Lokasi di pusat kota, akses ke mana-mana dekat. Jadi ini nggak apa-apa harga segitu?"
"Ya nggak apa-apa, ambil aja. Nanti kurangnya akan aku transfer segera."
"Siap, bos, kalau gitu mah. Ya udah aku hubungi yang punya dulu ya. Nanti kalau udah transfer kamu kabari aja."
"Siap! Makasih banyak ya, Jas. Sampai ketemu besok pas di Jogja."
"Siap bos!"
Sambungan telepon terputus. Terlihat gurat kelegaan di wajah Rafly. Akhirnya malam ini dia bisa tidur dengan tenang. Tanah yang dia inginkan sudah ditangan. Tinggal mengatur waktu untuk bisa kembali ke Jogja lagi.
"Sukma, maafkan aku. Terpaksa aku membohongimu untuk kesekian kalinya." batinnya penuh penyesalan.