Dua Minggu sudah Briona menjadi istri Izza. Selama itu juga, ia sulit untuk bisa menerima statusnya, terlebih rasa bersalah pada Gerry semakin menyiksa dari hari ke hari. Briona bahkan sempat meminta Izza menceraikannya agar ia bisa kembali pada Gerry. Namun, pria itu tetap bersikukuh dan menolak permintaannya.
Apalagi ia belum dapat kabar tentang keberadaan Agam. Sejak insiden itu terjadi, Briona belum mendapatkan kabar sama sekali dari sang ayah. Hanya sang ibu – Selly yang merasa khawatir padanya tetapi tak bisa berbuat apa-apa karena ia sendiri telah memiliki keluarga baru.
Briona baru saja hendak turun dari mobil kekasihnya– Gerry setelah makan siang bersama ketika handphonenya berdering nyaring. Dari Wina seniornya di kantor.
“Halo mbak Wina,” sapa Briona pendek.
“Bri, dimana? Ada tamu nih buat kamu, mereka nunggu di resepsionis kantor,”
“Siapa mbak? Aku sudah sampai kantor kok, baru selesai makan siang.”
“Gak tahu Bri, tapi aku gak yakin sama tamu-tamu ini … Bri, apa kamu punya masalah keuangan? Mereka kok kaya debt collector.” Briona terdiam dan segera menatap Gerry dengan pandangan cemas.
“Ada apa?” tanya Gerry melihat reaksi wajah Briona yang berubah drastis.
“Baik mbak aku keatas, tenang saja aku tidak punya pinjaman online atau apapun,” jawab Briona cepat.
“Ada apa?” tanya Gerry sambil menahan tangan kekasihnya untuk turun dari mobil.
“Ada tamu di kantor, tapi mbak Wina bilang sepertinya mereka debt collector. Aku harus segera keatas mas, aku takut mereka mencariku karena ingin menemui ayah.”
“Mau aku temani?! Aku takut terjadi apa-apa sama kamu,” ucap Gerry menatap Briona cemas.
“Gak usah, lagi pula mas Gerry kan ada meeting sebentar lagi jadi harus segera kembali ke kantor. Aku pamit ya mas, semoga baik-baik saja.”
Briona segera keluar dari mobil dan berjalan tergesa-gesa menuju kantornya. Dadanya terasa sesak karena takut dan gelisah, tapi ia tak bisa menghindari karena takut orang-orang di kantornya akan berpikiran buruk padanya.
Benar saja, saat Briona keluar dari lift terlihat 3 orang pria berkulit gelap dan tinggi besar tengah menunggunya. Beberapa karyawan lain tampak ingin tahu dan mencuri pandang pada tamu-tamu Briona.
Briona hanya bisa menelan ludah dan berusaha tenang, ia sudah beberapa kali menghadapi segerombolan pria yang mencari ayahnya, tapi ini yang pertama sampai menemukan kantornya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Briona saat diberitahu bahwa tiga orang pria seram itu adalah tamunya.
“Mbak Briona? Mbak, anak dari pak Agam?” tanya salah satu dari mereka sambil menatap Briona tajam.
“Ada apa ya?”
“Kami utusan dari rekan kerja pak Agam, bapak mbak Briona melakukan wanprestasi pada client kami, sehingga kami kesini untuk meminta mbak Briona menghubungi pak Agam agar bisa segera menyelesaikan masalahnya.”
“Mohon maaf, sudah lama saya tidak bertemu dengan ayah saya.”
“Tapi kan ada kontaknya, masa ayah sama anak gak ada komunikasi.”
“Ayah saya tidak bisa saya hubungi.”
“Akh masa, coba mbak Briona hubungi sekarang didepan kami, masa sama anak gak bisa dihubungi?” ucap pria itu setengah mengejek dan mencoba mengintimidasi psikologis Briona.
Briona segera mengeluarkan handphonenya dan menyalakan speaker agar semua orang bisa mendengar. Tak ada nada sambung, yang ada hanyalah suara bot yang mengatakan bahwa nomor yang dituju tidak bisa dihubungi.
“Mbak Briona salah kali nomornya, sengaja menyembunyikan pak Agam sepertinya,” ucap yang lain sambil berjalan mendekati Briona.
Briona bergerak mundur dan memanggil security yang mengawasi tak jauh dari tempat ia berdiri.
“Saya yakin bapak-bapak juga memiliki nomor ayah saya, silahkan saja hubungi sendiri!”
“Gimana ya mbak, kalau mbak Briona mau menutupi dan melindungi pak Agam, kami anggap mbak Briona bersekongkol. Jangan salahkan kami jika kami akan melakukan penagihan kepada mbak Briona dan keluarga!”
“Kenapa saya yang harus bertanggung jawab?! Saya tahu apa yang dilakukan ayah saya saja tidak! Kenapa saya yang harus bertanggung jawab, sedangkan dia bertanggung jawab atas saya saja tidak!” ucap Briona emosional.
“Bapak-bapak tolong jaga sikap! Ini kantor ya pak, jika ada urusan pribadi bukan disini tempatnya!” ucap seorang security segera bergerak kedepan Briona ketika mendengar Briona seperti diancam.
“Bukan urusan saya, pak Agam bertanggung jawab atas mbak atau tidak! Tolong sampaikan sama dia, jika dia tak menunjukan batang hidungnya dan bertanggung jawab, siap-siap mbak yang harus menutupinya!”
“Silahkan keluar dari sini pak! Tolong, jangan sampai kami melakukan kekerasan!” ucap sang security berani dan segera menyuruh resepsionis untuk menghubungi security pusat.
Mendengar dan melihat keadaan akan semakin panas jika diteruskan, ketiga pria itu memutuskan untuk pergi setelah berhasil melihat Briona ketakutan akibat ancaman mereka. Sedangkan Briona sempat terduduk sesaat lalu dibantu resepsionis kantornya untuk menenangkan diri.
Belum hilang rasa takutnya, tiba-tiba seseorang memanggilnya,
“Briona, tolong keruangan saya,” ucap ibu Retno yang merupakan manager HRD di tempat ia bekerja. Briona baru menyadari percakapan dirinya dan ketiga preman itu menarik perhatian karyawan lain, sehingga membuat seseorang memberitahukan kepada HRD. Briona hanya bisa mengangguk pasrah menahan rasa malu. Kini semua orang tahu bahwa keluarganya memiliki masalah.
***
Izza menghela nafas panjang saat melihat apartemennya kosong karena tak ada Briona disana walau waktu telah menunjukan pukul 10 malam. Malam ini seharusnya ia tidak pulang karena ada acara di bar.
Tetapi perasaannya tak enak saat mendapatkan kabar bahwa Agam mendapatkan sejumlah besar uang dari Marcela – ibu sambung Izza. Belum lagi ia juga mendengar beberapa debt kolektor semakin gencar mencari Agam. Izza memutuskan untuk segera pulang untuk menemui Briona. Hatinya merasa cemas ketika sampai apartemen dan tak menemukan Briona disana.
Dengan cepat Izza menyambar handphonenya dan segera menghubungi Briona sambil turun hendak menunggunya di lobby apartemen.
“Dimana kamu?” tanya Izza cepat saat Briona mengangkat teleponnya.
“Di apartemen, lagi jajan,” jawab Briona cepat.
Baru saja Izza menghela nafas lega, tiba-tiba ia melihat Briona yang tengah berdiri disamping mobil Gerry dan menutup pintu perlahan masih lengkap dengan pakaian kerja dan tasnya. Briona pun berdiri mematung ketika dipergoki berbohong pada Izza.
Melihat Izza sudah berada di depan pintu lobby apartemen, Gerry langsung sadar bahwa mereka dipergoki Izza, ia segera turun untuk melindungi kekasihnya.
“Ayo masuk!” ajak Izza cepat sembari menarik tangan Briona dengan perasaan dongkol. Ia sadar bahwa istrinya itu masih memiliki perasaan pada kekasihnya tapi entah mengapa Izza merasa tak nyaman dengan hubungan Briona dan Gerry.
“Tunggu!” cegah Gerry sembari menahan tangan Briona yang lain. Ia tak ingin Izza marah dan melakukan hal buruk pada kekasihnya.
“Tunggu untuk apa?!” tanya Izza kesal.
“Aku minta kamu jangan marah pada Briona.”
“Itu urusanku dengan istriku! Kamu tidak perlu ikut campur!”
Izza segera menarik tangan Briona sampai mereka masuk ke dalam kamar apartemen.
“Mulai besok, aku larang kamu untuk bertemu pacar kamu lagi! Awas kalau sampai aku tahu!” ancam Izza kesal karena di bohongi Briona.
“Aku gak mau! Kamu gak bisa larang aku untuk bertemu mas Gerry!”
“Diam kamu, Bri! Kamu tak tahu bahaya apa yang mengancam hidupmu! Ayahmu sedang dicari semua orang sekarang! Jika ia tak bisa membayar hutang-hutangnya, kalian keluarganya yang akan dicari untuk dijadikan pancingan!” ucap Izza sambil mengguncang- guncang bahu Briona karena kesal tak bisa membuat istrinya itu tenang.
Briona terdiam mematung. Mungkin itu sebabnya 3 orang preman tadi sampai datang ke kantor untuk mengintimidasi Briona agar membuat Agam keluar dari persembunyiannya.
“Kamu harus berhenti menemui Gerry! Jika mereka tak berhasil untuk membujukmu atau menyakitimu, mereka bisa lakukan apa saja termasuk menyakiti Gerry bahkan meminta Gerry untuk melunasi hutang - hutang ayahmu! Kamu harus diam dan sendirian Bri!”
Mendengar ucapan Izza air mata Briona mulai mengalir deras dalam isakan tertahan. Hatinya merasa sedih luar biasa membayangkan preman-preman itu akan melakukan apapun agar tujuannya tercapai. Tentu saja Briona tak ingin mereka menyakiti atau melemparkan tanggung jawab itu pada Gerry.
Melihat Briona menangis, Izza segera menghampirinya dan menghapus air mata Briona dengan sedikit gusar.
“Stop menangisnya Bri, tangismu tak akan membuat kita keluar dari masalah! Tugasmu saat ini hanya mendengarkan aku dan jalani harimu dengan tenang, gak usah mikir yang lain! Aku hanya butuh kamu nurut sama aku!”
Tiba-tiba handphone Izza berdering nyaring dari saku celananya membuat ia tergopoh-gopoh untuk mengambil handphonenya. Tubuhnya mematung sesaat ketika mengetahui itu adalah panggilan video call dari seseorang. Liliana.
Izza segera keluar menuju balkon untuk mengangkat panggilan video call itu.
“Halo sayang,” sapa Izza mencoba terlihat ramah dan tersenyum pada Liliana.
“Kamu dimana sayang?! Aku ada di restoran kamu bersama beberapa temanku, tapi kamu gak ada!”
“Aku lagi di apartemen. Have fun ya… aku sedang ada urusan sehingga aku tak bisa datang.”
“Tidak! Aku tak peduli kamu sedang ada dimana dan bersama siapa! Kita harus bertemu malam ini! Aku gak akan pulang sampai kamu datang!” tolak Liliana tegas, ia sudah tak tahan dengan sikap Izza yang sudah beberapa minggu ini kucing-kucingan dengannya.
“Sayang…”
“Nggak! Aku tunggu kamu disini! Aku tidak akan pulang sampai kamu datang!” potong Liliana cepat mulai marah. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“Baiklah, tunggu aku …satu jam lagi aku sampai…” jawab Izza lirih.
Komunikasi pun selesai, Izza segera kembali ke dalam kamar dan melihat Briona tengah duduk termenung dipinggir ranjang. Pandangan mereka berdua bertemu dan saling memandang dalam.
Izza segera memalingkan wajahnya dan menyambar jaket dan helmnya lalu menghampiri Briona dan mengecup kening istrinya cepat.
“Aku pergi dulu dan tak akan kembali malam ini. Tidurlah, besok pagi aku akan datang untuk mengantarmu.”
Setelah mengatakan itu, Izza segera pergi meninggalkan Briona tanpa menoleh lagi.
Bersambung.