Bab 4. Tinggal di Rumah Levan

1039 Kata
"Leon, kamu gak boleh ngomong begitu. Ini tante Andira temannya Papi, dia butuh pekerjaan dan tempat tinggal. Papi ingin membantunya jadi dia akan membantu menjagamu, bukankah sebentar lagi kamu masuk sekolah dini. Jadi butuh seseorang yang bisa selalu berjaga selain mbak Arum," ucap Levan berusaha membuat putranya itu mengerti. "Tapi, Pi. Leon tidak suka ada olang lain di lumah, apa tante itu gembel tidak punya lumah dan pekeldaan?" Andira tersenyum mendengar kepolosan Leon dalam mengungkapkan apa yang dipikirkannya, tanpa merasa tersinggung sama sekali, tapi Levan malah merasa tidak enak hati mendengar ucapan anaknya itu. "Hustt, Leon. Papi tidak ajarin kamu bicara sembarangan, jadi gak boleh ngomong begitu. Ada masalah yang kamu tidak perlu tau, mulai sekarang kamu harus patuh sama tante Andira." "Gak mau, Leon gak mau patuh sama olang lain." Leon yang kesal langsung memaksa turun dan berlari masuk kembali, baby sitter yang sejak tadi mengikutinya langsung menyusul. "Maafkan putraku, Andira. Dia memang jarang bertemu orang selain yang ada di rumah ini, itu kenapa dia akan aku masukan ke sekolah dini. Agar dia terbiasa bersosialisasi," jelas Levan merasa tidak enak. "Tidak apa-apa, Kak. Lagipula dia masih anak-anak, dia masih tidak paham apa yang dilakukannya. Nanti lambat-laun dia akan mengerti dan bisa menerimaku," sahut Andira berusaha berpikir positif. "Ya sudah, kalau begitu aku antar kamu ke kamar tamu." "Loh, kok ke kamar tamu. Aku bukan tamu di sini, Kak. Aku pekerja di sini, jadi perlakukan saja sama dengan yang lain." "Hahaha, bukan begitu, Andira. Semua kamar pelayan sudah terisi, ada salah satu kamar yang masih kosong, tapi tidak ada apapun di sana. Aku akan beli dulu perlengkapannya, nanti setelah ada barangnya baru kamu pindah." "Oh begitu, aku pikir aku mau jadi penghuni abadi kamar tamu. Hehehe," kekeh Andira sedikit bercanda. "Aku senang melihatmu bisa tertawa begitu, aku pikir aku akan melihatmu menangis berhari-hari." "Mungkin, tapi tidak di depan umum. Aku harus bisa menempatkan kapan waktunya bersedih, jika tidak maka aku akan terlihat menyedihkan. Lagipula mungkin itu keputusan baik, aku bukan wanita sempurna yang bisa memberikan keturunan. Jadi tidak perlu terlalu menyalahkan orang lain agar kita bisa memaafkan," jelas Andira apa yang dipikirkannya. "Ya sudah kalau begitu, ayo kita ke kamarmu!" ajak Levan dan berjalan mendahului Andira. Andira mengikuti Levan yang berjalan ke sebuah kamar yang tidak jauh dari tangga lantai atas, ternyata kamar tamu yang dimaksud berada di sana. Levan membuka pintu, lalu mempersilahkan Andira masuk. "Wah, kamarnya mewah dan besar banget, Kak." "Memangnya kamarmu tidak sebesar ini, bukankah suamimu orang kaya yang harus memiliki anak untuk mendapatkan warisan yang pastinya tidak sedikit." Levan mengernyitkan keningnya, berpikir jika Arya orang kaya. "Tidak sekaya itu, Kak. Ayahnya memiliki beberapa properti dan tanah, juga sebuah perusahaan kontraktor. Kalau lagi memenangkan tender ya mereka panen uang, lagipula suamiku bukan anak tunggal. Ada dua adik perempuannya yang pasti mendapatkan jatah juga, sudahlah jangan bahas dia lagi. Memikirkannya saja aku sakit," jelas Andira dan meminta Levan berhenti membahas Arya. "Oke-oke maaf, kalau begitu kamu masuk dan istirahatlah. Tidak perlu mulai kerja hari ini, lagipula aku di rumah biasanya Leon akan lebih sering bersamaku. Nanti-nanti kalau aku sedang di rumah, kamu bisa istirahat. Oh ya nanti aku akan kenalkan kamu dengan mbok, jadi bersih-bersih dulu terus kita makan siang." "Baik, Tuan." Andira mencandai Levan dengan sikap hormat, tapi Levan ternyata tidak suka. "Tidak usah bersikap begitu, meskipun kamu bekerja di sini tetaplah sebagai temanku. Jadi jangan bersikap formal apalagi takut-takut, kalau butuh sesuatu kamu katakan saja padaku." "Hehehe iya, Kak." "Ya sudah aku keluar, pukul dua belas nanti aku panggil untuk makan siang." "Oke, Kak." Levan pun meninggalkan Andira snediri, dia tidak langsung masuk ke kamarnya melainkan ke kamar Leon. Dia butuh bicara pada putranya, agar bisa menerima kehadiran Andira. "Leon," panggil Levan tapi Leon malah melengoskan wajahnya. "Eh, siapa yang ajarin begitu? Masa buang muka sama Papinya sendiri, apa Leon benci sama Papi?" "Bukan begitu, Pi. Leon tidak suka ada olang lain di lumah ini, Leon tidak kenal dia. Bagaimana kalau dia jahat, kata Oma sama opa Leon tidak boleh dekat dengan sembalang olang. Papi masa gak ngelti sih," jawab Leon dengan kepolosan seorang anak kecil. "Oh, jadi Oma sama opa yang ajarin begitu. Tapi Tante Andira bukan orang asing, dia orang yang sudah lama papi kenal. Bahkan Oma juga kenal, dulu kami sering bertemu. Nah karena suatu hal papi jadi jarang bertemu dia lagi, baru sekarang ketemu lagi. Jadi dia bulan orang asing bagi papi, Leon harus bersikap baik sama Tante itu." "Tapi Leon gak suka, Pi. Nanti Papi lebih sayang sama tante itu, kata Oma kalau papi dekat-dekat cewek bisa jadi itu calon mami balu. Leon gak mau punya mami," ungkap Leon alasannya. "Hehehe, itu hanya pikiran Leon saja. Lagian kamu seperti bukan anak kecil, jangan-jangan kamu orang dewasa yang lagi nyamar. Coba Papi cek dulu," kekeh Levan dan langsung menelisik putranya. "Papi! Ih apaan sih, Leon anak kecil Papi. Apa Papi tidak bisa lihat?" Leon menghindar dan Levan mengejarnya, Leon terkekeh saat Levan menangkap dan menggelitiknya. Itulah cara Levan membujuk putranya, meskipun dia tau Leon tidak akan bisa begitu saja menerima Andira. "Papa ke kamar dulu ya, Leon sama mbak Arum dulu. Nanti kita makan siang sama-sama," ucap Levan setelah puas mengajak Leon bermain. "Siap, Pi." Levan pun keluar dari kamar putranya, dia menuju kamarnya sendiri yang berada di samping kamar putranya itu. Sebenarnya ada pintu penghubung di kamar mereka, tapi Levan sudah lama tidak memakainya semenjak istrinya tidak ada. Karena Leon tidur ditemani oleh susternya, hal itu membuat Levan merasa tidak enak jika keluar masuk melalui pintu penghubung. "Aku harap keputusanku ini tidak salah, juga tidak menjadi permasalahan dikemudian hari. Karna aku berurusan dengan pria licik seperti itu, yang bisa saja melakukan segala cara untuk keuntungan pribadinya." Levan bicara sendiri seraya melepaskan pakaiannya, dia masuk ke walk ini closed dan mengambil handuk. Sudah menjadi kebiasaannya jika dinas malam, saat pulang dia akan mandi lagi meskipun sebenarnya dia sudah mandi di rumah sakit. "Untung saja aku bertemu kak Levan, jika tidak aku tidak tau harus kemana. Kenapa mas Arya setega itu, sudah berselingkuh dengan sahabatku sendiri sekarang malah menceraikanku. Benar-benar tidak punya perasaan, bagaimana jika bunda sampai tau. Beliau pasti sangat kecewa, maafin Andira bunda. Andira gagal membuktikan jika Andira bisa bahagia," ucap Andira bicara sendiri dengan air mata kembali berlinang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN