Bab 7. Hubungan Terlarang

1070 Kata
"Sudah biarkan saja, tidak akan ada yang datang." Arya langsung melumat kembali bibir Shafira dengan liarnya . Safira mencoba menahan desahannya karena takut ada seseorang yang mendengarkan mereka, tapi Arya meminta Safira untuk tidak menahannya karena dia suka saat Safira mendesah kenikmatan saat bercinta. Arya, menjelajah tubuh Safira, dari atas sampai ke bawah. Sampai ke bagian inti, menjilat menghisap seolah itu adalah makanan yang nikmat. Safira mengeliat dengan suara desahan di sela napas yang memburu, tangannya meremas rambut Arya menahan gejolak hasrat yang seolah hendak meledak. Posisi Safira yang bersandar di bagian pinggir sofa membuat Arya leluasa membuka milik Safira dan menikmatinya. "Ouh, Sayang. Aku sudah tidak tahan," rintih Safira. Bukannya berhenti, Arya semakin liar menjilat dan menghisap milik Safira. Sampai akhirnya Safira benar-benar tidak tahan, tubuhnya mengejang saat dirinya mencapai puncak klimaksnya. Arya bisa merasakan denyutan bagian itim Safira, dia menghisap dan memasukkan lidahnya menikmati cairan yang keluar dari sana. "Ah aku lemas, Mas. Kamu benar-benar luar bisa memuaskanku," ucap Safira terlihat ngos-ngosan. "Sekarang gantian kamu yang memuaskanku," ujar Arya dengan senyum nakalnya. Safira mengangguk, lalu turun dari sofa kini Arya yang duduk di sofa sambil membuka kedua kakinya. Dia sudah membuka celananya, Safira jongkok menghadap Arya. Safira mulai membuka mulut, dan memasukan perlahan senjata Arya ke dalam mulutnya. Safira mengeluar masukkan milik Arya sesekali menjilati bagian bulat ujungnya. Membuat Arya mendesah nikmat, merasakan hangatnya mulut Safira di senjata pamungkasnya. "Ohhh, Safira sayang. Enak sayang! Ouhhh! Shhttt!" desis Arya menikmati permainan Safira. Tidak hanya mengeluar masukkan milik Arya Safirabahkan menjilat kantong semarnya dari bawah. Hal itu membuat Arya mengejang merasakan sensasi nikmat luar biasa, sampai akhirnya Arya tidak tahan dan menarik Safira lalu memposisikannya menungging dengan bertopang pada sandaran sofa. Arya mulai menghujamkan miliknya, pinggulnya maju mundur saat miliknya sudah berhasil masuk ke dalam milik Safira. Arya semakin menggoyang miliknya, semakin lama semakin cepat membuat Safira bersuara semakin keras begitu juga suara kulit yang beradu seperti suara tepukan yang tidak ada hentinya. "Akhhh!" pekikan Arya menandakan dia sudah mencapai klimaksnya. Tubuh Arya mengejang, dengan bagian bawah yang semakin ditekan membuat Safira bisa merasakan denyutan milik Arya saat cairan miliknya menyebur keluar. Sampai akhirnya cairan milik Arya benar-benar habis keluar dan tubuh Arya terkulai di atas tubuh Safira. Napas keduanya memburu, keringat mengucur deras terlebih tidak ada pendingin ruangan di tempat itu kecuali kipas angin yang entah kemana arahnya. "Aku lelah sekali, Mas." Safira mengeluh dengan napas yang ngos-ngosan. "Sama aku juga, ayo kita bersih-bersih. Aku harus pergi lagi, masih ada meeting hari ini." "Tapi kita belum makan siang, Mas." "Ya sudah, nanti kita makan dulu di luar. Kamu mau di sini atau pulang ke tempat kostmu?" tanya Arya sambil bersandar di sandaran sofa. "Memangnya Mas mau tinggal sendiri di sini? Katanya Mas mau suruh aku pindah," sahut Safira. "Ya kalau kamu maunya begitu gak apa-apa, kamu bereskan barang-barangmu dan pindah ke sini. Tapi aku belum bisa menikahimu, karena aku belum bercerai." "Kan bisa nikah siri dulu, Mas. Aku gak mau nanti kamu berubah pikiran," rengek Safira manja sambil melingkarkan tangannya di tubuh Arya yang masih tanpa busana. "Tidak mungkin aku begitu, kamu bisa memberikanku kepuasan. Selama kamu bisa melakukan itu, aku tidak akan meninggalkanmu. Dan setelah kita menikah resmi, kamu harus hamil. Agar orang tuaku tidak terus mendesakku dan Andira tidak berpikir jika aku mencari alasan saja untuk menceraikannya," uvap Arya. "Iya-iya, Mas. Sudah ayo kita mandi, aku sudah lapar sekali." Safira beranjak dari duduknya diikuti Arya, keduanya langsung masuk ke kamar Arya untuk mandi bersama di kamar mandi yang ada di sana. *** Tiga hari sudah Andira tinggal di rumah Levan, tapi belom banyak perubahan hubungannya dengan Leon. Padahal Andira sudah sangat berusaha agar Leon lebih dekat dengannya, apalagi terlihat Arum seperti tidak memberikan ruang untuk Andira lebih dekat dengan Leon. "Kamu kenapa, Andira?" tanya Levan saat pulang kerja dan melihat Andira duduk termenung di taman belakang. "Eh, Kak Levan baru pulang. Tumben pulangnya agak sore?" tanya Andira mencoba bersikap biasa. "Aku pindah shift, jadi mulai besok aku dinas pagi. Kamu gak jawab kamu kenapa, kok duduk di sini sendirian?" tanya Levan mengulangi pertanyaannya tadi seraya duduk di samping Andira. "Oh gitu, aku gak apa-apa kok, Kak. Cuma bosan saja gak ada kerjaan, Leon masih belum bisa menerima kehadiranku. Jadi aku tidak tahu harus ngapain," jelas Andira alasannya duduk di tempat itu. "Jadi Leon masih bersikap acuh padamu? Padahal dia sudah janji kalau dia mau mencoba dekat denganmu, tapi kamu tidak perlu cemas. Aku yakin dia pasti akan menerimamu, hanya butuh waktu saja. Mama sudah terlalu mengkontaminasi pikiran Leon, sehingga anak itu berpikir yang bukan-bukan jika ada seseorang wanita dekat denganku. Sudah ayo kita masuk, sudah semakin sore!" ajak Levan seraya bangkit berdiri. "Kak levan masuk saja dulu, aku di sini sebentar lagi. Nanti aku masuk kok," sahut Andira. Levan pun mengangguk dan meninggalkan Andira sendirian, rupanya Andira sengaja tidak ikut masuk karena tidak mau jika Leon melihat mereka bersama. Andira tidak ingin Leon semakin membencinya, hidupnya sudah sangat sulit. Merasa tidak disukai anak kecil saja membuatnya merasa tersiksa. Andira berpikir jika memang orang-orang sulit menerimanya, bahkan suaminya sendiri lebih memilih sahabatnya. Sementara itu, Levan langsung menuju kamar putranya. Karena dia tidak melihat Leon di lantai bawah, baru saja Levan melangkah ke arah kamar pintu kamar Leon terbuka. "Papi!" teriak Leon langsung memeluk Levan. "Kamu baru selesai mandi?" tanya Levan karena rambut Leon yang masih sedikit basah dan aroma shampo yang khas. "Iya, Pi. Papi balu pulang? Apa Papi besok kelja pagi?" tanya Leon bergelayut pada Levan yang jongkok agar sejajar dengan putranya itu. "Iya, Nak. Oh ya, Papi mau bicara sama Leon. Kita ke kamar Papi saja ya," ucap Levan lembut. Leon mengangguk, Levan langsung berdiri dan menggendong putranya itu. Levan memberi kode pada Arum agar meninggalkan mereka berdua, Arum yang paham langsung turun ke lantai Bawah sedangkan Levan mengajak Leon ke kamarnya. "Leon, Papi mau tanya sesuatu, boleh?" "Tanya apa, Pi?" tanya Leon menatap papinya yang duduk di depannya di atas tempat tidur Levan. "Kalau Papi boleh tahu kenapa Leon masih belum bisa menerima Tante Dira. Bukankah Tante Dira sangat baik, tapi kenapa Leon tidak bisa menerimanya. Coba katakan pada Papi alasannya, mungkin ada yang Leon tidak suka dari Tante Dira. Biar Papi bisa bilang ke Tante Dira, supaya Tante Dira mau merubahnya. Karena tidak mungkin seseorang menolak orang lain tanpa alasan, padahal sudah Papi jelaskan jika antara Papi dan Tante Dira hanya berteman. Apa Leon masih belum paham juga?" tanya Levan mencoba menjelaskan pada putranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN