RESTU JUJUR

842 Kata
Part 2 Isna mengerjapkan mata. Ia baru bisa tidur setelah jam tiga pagi. Tidak bisa dipungkiri, jika rasa penasaran membuat dirinya tidak bisa terlelap. Berbagai spekulasi muncul dalam pikiran. Mencoba menebak, siapa sosok yang namanya berkali-kali disebut Restu. Ia memang tidak tahu menahu tentang pribadi sang suami, karena pernikahan tersebut terjadi atas sebuah perjodohan. “Bangunlah! Sudah pagi. Kamu tidak shalat?” Sebuah guncangan lembut dirasa Isna. Padahal, ia sudah membuka mata sedari tadi. Ingin rasa hati segera bertanya, tapi ia masih bisa menahan diri. “Aku sudah bangun,” jawab Isna tanpa membalikkan badan. “Aku mau mandi. Dimana handuknya?” tanya Restu. Isna terbangun. Ia baru ingat, jika sedari sore belum memberikan peralatan mandi pada penghuni baru di kamarnya itu. “Lhoh, tadi sore mandi pakai apa?” tanyanya sambil mengucek kedua netra. “Pakai handuk kamu di kamar mandi. Tapi terjatuh, jadi basah. Ambilkan yang kering, ya?” ujar Restu lembut. Tak lama kemudian, Restu keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamar Isna dalam keadaan rambut basah. Membuat Isna tidak habis pikir. Karena semalam, ia tidak melakukan apapun dengan pria yang baru saja menjadi suaminya itu. “Kamu tidak mandi? Aku shalat dulu, ya?” ucap Restu masih terdengar kelembutannya. “Tidak! Tidak perlu mandi dulu, Mas. Aku tidak dalam keadaan junub.” Jawaban Isna membuat Restu salah tingkah. “Mas, masih pagi mau kemana?” tanya Isna heran saat dirinya masih memakai mukena. Restu sudah memakai baju rapi. “Bukankah kamu masih cuti?” tanyanya lagi. “Iya, aku masih cuti. Tapi, hari ini ada acara di kecamatan membahas program bedah rumah. Jadi, aku harus berangkat. Jika diwakilkan, aku tidak yakin. Kamu tidak perlu menyiapkan makan. Aku bisa makan di warung. Istirahat saja, ya? Kamu pasti lelah,” jawab Restu sambil mengusap kepala Isna. “Apa kita pantas disebut pengantin baru, Mas?” tanya tidak tahan. “Kamu bilang apa, Isna? Jelas kita pengantin baru. Semua orang tahu itu.” “Apa kamu menikah denganku karena terpaksa?” Kali ini, Isna menatap mata sang suami tanpa kedip. Restu terlihat celingukan. Terlihat ada yang disembunyikan dari gelagatnya. “Jawab, Mas! Jangan menyembunyikan sesuatu hal, apalagi sebuah kebohongan di awal pernikahan kita.” Restu menundukkan kepalanya. “Siapa Marwah?” Kali ini, Restu berani menatap Isa. “Dari mana kamu tahu nama itu?” tanyanya lirih. “Semalam kamu menyebutnya berkali-kali. Apa kamu mimpikan dia di malam pengantin kita, Mas? Siapa dia? Dan kenapa kamu harus mandi basah seperti itu, padahal kita tidak melakukan apapun.” Tidak bisa dipungkiri, jika saat berkata demikian, hati wanita itu merasa sakit. “Isna, mungkin memang seharusnya aku menceritakan ini sama kamu. Aku harap, kamu akan mendengarkan semuanya sampai kamu tahu segalanya …,” ujar Restu. Ia lalu duduk di hadapan Isna yang masih bersimpuh di atas sajadah. Untuk mendengarkan sebuah hal yang tidak diinginkan, terlebih di hari-hari setelah menikah, membuat Isna mengatur detak jantung dalam dadanya. Menarik napas panjang, mencoba untuk berpikiran positif. “Marwah, dia adalah cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya dan ingin sekali menjadikannya sebagai seorang istri. Namun, dia hanyalah gadis yang berasal dari keluarga yang cukup. Iya, orang tuaku menginginkan seorang menantu yang berpendidikan dan memiliki karir, agar bisa mendampingi aku bertugas menjadi kepala desa. Aku dan Marwah, kami berpacaran sejak dia masih SMP, sementara aku sudah SMA. Orang tuanya tahu tentang hubungan kami, itu sebabnya, meski banyak temannya tidak melanjutkan sekolah, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, Marwah melanjutkan ke SMA. Kamu tentu tahu, jika keluargaku termasuk terpandang. Jadi, kedua orang tuanya sudah sadar akan hal ini. Berusaha agar Marwah memiliki posisi yang sepadan denganku. Tapi, orang tuaku tetap tidak setuju, terlebih saat aku terpilih menjadi kepala desa, impian untuk menikah dengan Marwah menjadi hal yang mustahil aku wujudkan.” Restu berhenti bercerita, terpancar sebuah kesedihan dari sorot matanya. Isna paham sekali akan hal itu. Sejenak, lelaki itu tidak berbicara lagi. Memilih mengamati raut wajah cantik Isna yang memandang sajadah. “Aku kaget, saat bapak dan ibu menjodohkan kita berdua. Kamu gadis terpelajar dan memiliki pekerjaan yang bagus. Tentu saja mereka suka. Aku akui, kamu sangat pantas mendampingiku, Isna. Akan tetapi, hatiku belum bisa mencintai kamu. Aku tidak membencimu, tapi juga belum bisa menaruh hati padamu. Sangat sulit bagiku melupakan Marwah. Meski ia sudah menjauh bahkan pergi dari desa, setelah tahu jika aku sudah memiliki calon istri.” Restu berbohong perihal alasan menikahi Isna. Yang sebenarnya adalah ia sudah dijadikan batu loncatan sang suami untuk mendapatkan mimpi menjadi pemimpin desa. Hancur seketika semua harapan indah akan sebuah momen yang sangat spesial. Kemesraan sepasang pengantin baru, memadu kasih bersama, berkhayal tentang keturunan yang lucu, hanya sebuah mimpi dan khayalan yang tidak akan pernah terwujud. Itu yang dipikirkan Isna. “Kenapa kamu tidak jujur padaku sejak dulu, Mas? Kenapa harus kamu jalani sebuah hubungan yang kamu sendiri tidak menginginkannya? Sementara aku, aku begitu bahagia atas pernikahan ini. Berharap apa yang kualami seperti cerita teman-temanku yang lain. Jika aku tahu ini sebelumnya, maka aku memilih mundur …,” ucapnya, kemudian menautkan kedua tangan, memainkan jari-jarinya sebagai usaha meredam gejolak hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN