Chapter 3

1835 Kata
Berbekal alamat yang diberikan oleh paman Azami, David mencari kota di mana Darius tinggal. Kota kecil yang terletak di pinggiran pulau. Butuh menaiki bus lagi selama enam jam lamanya sebelum kemudian tiba di seberang Murhes. Merupakan sebuah pelabuhan kecil sebagai sarana transportasi melewati laut menuju pulau itu. Menurut cerita dari salah satu seorang ketika di perjalan. Bus berwarna merah yang ditumpangi David akhirnya telah tiba. Pemandangannya seperti apa yang dibilang pria tadi. Banyak kapal kecil untuk mengangkut barang-barang dan bahan pangan untuk kebutuhan warga di pulau Mhures. David beserta putranya mengikuti barisan orang yang akan masuk ke dalam kapal penumpang. David memperhatikan dari kejauhan setiap orang yang melewati pemeriksaan dua orang berbadan tegap itu. Seorang pria digeledah begitu ketat. Ketika membawa barang-barang elektronik merupakan televisi atau handphone akan terkena hukuman. David mengerutkan alis bingung saat mendapati peraturan aneh itu. Bahkan pria muda itu ditarik dengan paksa entah akan dibawa ke mana oleh dua orang anggota mereka itu. Sedangkan seorang lainnya jika diketahui tidak membawa apa-apa akan dibiarkan masuk ke Murhes begitu saja. "Larangan membawa ponsel dan barang-barang elektronik apa merupakan peraturan di sini jika ingin memasuki pulau itu, Tuan?" tanya David ke seorang pria paruh baya yang berdiri di hadapannya. "Tentu, ini adalah peraturan yang sudah diterapkan sejak lama, Nak. Di Mhures siapa saja dilarang menggunakan barang-barang modern atau pun elektronik. Maka dari itu mereka jika ingin memerlukan sesuatu atau ingin mengetahui keadaan sanak yang tinggal jauh dari palau ini harus pergi menengok langsung. Karena kami tidak diizinkan untuk memiliki telepon." "Lalu ... Ingin dibawa ke mana pria yang kedapatan membawa ponsel tadi?" David melihat jalan kecil menyerupai lorong yang sebelumnya dilewati pria dan dua orang berbadan layaknya algojo tadi. "Entahlah, saya rasa tidak akan ada yang tahu. Mungkin saja akan diintrogasi lebih lanjut asal-usulnya," jawab pria itu. "Berikutnya!" teriak penjaga di depan sana. Pria di hadapan David itu maju sebab ini adalah gilirannya. David mundur sambil memeluk Ardika dari samping sambil berbisik. "Kamu bawa sesuai di tasmu?" tanyanya dengan perlahan. Ardika mengangguk. "Aku membawa ponsel pemberian dari paman ketika hari ulang tahunku," balasnya. "Berikan pada Papa." David menghalangi Ardika dari pandangan dua penjaga yang sedang sibuk memeriksa orang-orang lainnya. Ardika melepaskan satu sisi selempang tasnya. Kemudian mengeluarkan ponsel dari sana. David segera menyambarnya setelah kemudian melemparkan ke laut. "Papa, ponselku!" “Nanti akan Papa belikan yang lebih bagus dari pada itu,” ucap David kemudian menggandeng putranya itu. Sekarang giliran mereka untuk diperiksa sebelum naik kapal untuk menyebrang. Dua orang tua memperhatikan David lama-lama. Ia dan Ardika menunduk sebab takut jika mereka adalah termasuk anak buah darius. David memberikan tas miliknya dan juga Ardika. Mereka menggeledah dengan serampangan. Mengeluarkan isinya kemudian membiarkan pakaian-pakaian berserakan di lantai. “berikan kartu pengenalmu,” ucap penjaga itu. Kali ini David terlihat bingung sebab jika ia memberikan kartu identitas jati dirinya akan terbongkar. Lelaki itu memutar bola matanya memikirkan alasan yang akan diberikan. “Mana cepat!” suara penjaga itu mengagetkan David. “Jadi begini, Tuan. kedatangan saya ke Murhes ialah untuk mengambil kartu saya di salah salah satu penduduk di sini. Yang merupakan paman saya. Dan ini adalah anak saya, dia masih sekolah dasar kelas lima.” Dengan gerogi David bicara pada penjaga itu yang terus saja memperhatikan dirirnya seolah tidak percaya dengan apa yang dia katakan. “Siapa nama paman mu?” tanyanya penuh curiga. “Namanya, em … dia ….” David panik sebab harus secara mendadak mengarang nama seseorang. “Dia adalah saudara saya,” ucap seorang dari belakang. David dan pejaga itu seketika menoleh. Betapa terkejutnya ternyata itu adalah pria yang menolongnya ketika di kereta. David mundur menggeser tubuhnya memberi ruang untuk pria itu maju. Ia merasa heran sebab dua orang penjaga itu saat mengetahui pria penolong datang seketika menunjukkan ekpresi segan. Seolah dia adalah sesosok yang berkuasa. Namun, jika dilihat-lihat dari penampilannya yang terlihat kampuangan dan seperti orang biasa mana mungkin pria itu adalah bagian dari mereka? Bahkan David dan Ardika dibiarkan masuk melenggang begitu saja mengikuti pria setengah baya itu. Ia memiliki perasaan yang masih bingung menoleh ke belakang sambil bertanya-tanya dalam hati. Siapa sebenarnya pria yang sedang berjalan di hadapanya itu. Bahkan seolah mengerti tujuannya, pria itu selalu menolongnya di saat genting. Apa dia malaikat yang diutus sebagai penolongnya. Dia tidak banyak bicara terlihat cukup misterius. Sepanjang jalan di dalam kapal penumpang itu bahkan sejak tadi dia tidak sama sekali bicara. Pandangya fokus ke depan melihat kea rah laut. “Ke mana tujuan kalian?” tanyanya. Setelah lama diam akhirnya pria itu baru mengeluarkan suara. “Saya tidak tahu,” balas David. Karena ia tidak mengetahui akan tinggal di mana, mungkin akan David pikirkan setelah sampai di sana. “Ikutlah denganku, kebetulan di rumahku ada kamar kosong, untuk sementara waktu, saya rasa tidak akan masalah.” Setelah berucap pria itu kembali terdiam lagi. David bingung harus menjawab apa. Ingin mengajak bicara lagi pria itu beranjak berjalan kemudian berdiri di pembatas sambil melihat ke arah lautan. David melihat dari kejauhan Ardika mendekati pria itu. “Paman, bolehkan aku tahu namamu?” tanya bocah itu. Pria itu menoleh sambil tersenyum tipis melihat Ardika, kemudian mengusap kapala. “Apa sebuah nama begitu penting bagimu bocah kecil?” tanyanya. Ardika mengangguk. “Ya, tentu saja karena kau adalah orang baik yang selalu menolong kami, maka saya rasa butuh mengetahui nama Anda,” balasnya. Pria itu tergelak sampai membuat Ardika bingung. Entah apa yang ditertawakan dia sehingga terbahak-bahak seperti itu. “Baiklah, aku akan memberi tahu namaku, anak muda,” ucapnya kemudian setelah selesai tertawa. “Tapi … sebelumnya saya mau tau, siapa namamu?” “Ardika, Tuan. dan Papa saya adalah David, kami berdua berasal dari desa Neling.” “Benarkah?” Ardika kembali mengangguk. “Apa kau pernah mendengar desa kami, Tuan?” tanyanya. Pria itu menyunggingkan bibir seraya menggeleng kemudian mengangguk. “Mungkin pernah mendengarnya, atau bahkan mengunjunginya. Tapi … karena faktor umur saya sudah melupakannya,” ucapnya lalu kembali tergelak. David yang melihat kedekatan mereka dari kejauhan ikut tersenyum kemudian kembali melihat depan lagi. Deburan ombak begitu kencang membuat kapal terombang ambing membuat seluruh penumpang naik dan turun di atas kapal sambil memegangi barang bawaannya. "Apa yang membawamu ke kota ini anak muda? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya pria itu setelah mereka berdua berhenti tertawa. "Mamaku bekerja di sana, Tuan. Aku dan Papa memutuskan mencarinya karena dia tidak pernah kembali atau memberikan kabar, aku sangat merindukan dia," ucap Ardika sambil menunduk sedih. "Kalau boleh saya tahu, di mana dia bekerja?" Ardika menaikkan bola matanya tampak berpikir. "Di mana ya, ehm ... di ... di rumah keluarga Da- Darius, ya mamaku bekerja di sana!" serunya dengan bangga sebab dapat mengingat dengan baik. "Benarkah?" Pria itu kembali menyunggingkan bibir kemudian menatap depan. "Semoga Mamamu baik-baik saja, ya. Saya berharap bisa secepatnya kembali pada kalian, memiliki anak sepintar ini bagaimana tidak rindu." Ia kembali mengusap rambut Ardika. Semakin lama mereka kian begitu akrab selayaknya dua orang yang sudah saling mengenal sejak lama. Pria itu juga berbagi roti pada Ardika seperti menemukan kebahagiaan tersendiri. David ikut gabung dengan mereka. Menceritakan bagaimana kronologi hingga sampai istrinya meninggalkan rumah untuk bekerja ke rumah Darius sesosok keluarga kaya yang berani membayar para pelayan dengan gaji cukup tinggi. Karena begitu kelelahan menempuh perjalan kereta, bus dan kini belum lagi naik kapal. Ardika tertidur saat mendengarkan David dan pria itu berbincang. "Jadi nama Anda Albern, Tuan?" tanya David. Pria itu mengangguk.. "Jangan ragu-ragu untuk memanggilku, Albern. Karena aku tidak masalah dengan itu," balas Tuan Albern. "Saya rasa lebih baik memanggil dengan sebutan Tuan Albern akan enak didengar." David bicara sambil tersenyum melihat ke arah pria berekspresi datar itu. "Anda tidak masalah, bukan dengan sebutan itu?" tanyanya lagi. Takut jika Tuan Albern tersinggung karena ia menolak memanggil dengan nama. Namun, tampaknya pria itu sedang sibuk memperhatikan Ardika yang sedang tidur. "Nyenyak sekali dia tidur, tampaknya sedang kelelahan. Kalian berdua berasal satu arah denganku." "Apa kau sudah lama tinggal di Mhures, Tuan?" "Cukup lama, bahkan sebelum Darius berkuasa di wilayah itu." David mengerutkan dahi tampak bingung. Berarti benar apa yang dia dengar selama ini. Kalau Darius memegang kuasa di daerah Mhuris bagian timur yang terletak di pulau jauh dari Mhuris bagian kota. *** David membangunkan Ardika saat kapal yang dia tumpangi telah berhenti di sebuah dermaga pinggiran pulau Mhuris. Lelaki itu masih setia mengikuti Tuan Albern. Sebab untuk sementara waktu ini ia akan tinggal di rumahnya. Saat menginjakkan kaki ke tanah di mana istrinya lagi bekerja, David tercengang. Sebab suasana di pulau itu tidak seperti apa yang dia pikirkan. Memiliki rumah tradisional terbuat dari kayu dan atap dari ilalang. Nyatanya rumah-rumah itu berjejer dengan bangunan beton seperti selayaknya kota kota lainnya. Namun, tidak ada kendaraan berupa mobil atau motor di sana yang David lihat. Sejak tadi ia hanya melalu para pengendara sepeda sebagai alat transportasi selain kapal tadi yang sudah pergi meninggalkan pulau. Untung saja rumah Tuan Albern hanya berjarak sekitar delapan kilo dari dermaga. Sehingga David dan Ardika tidak seberapa lelah sebab mereka sudah terbiasa di kampung Neling berjalan. Setelah melewati jalan lorong di antara rumah susun yang berisi orang setiap pintunya. Kedatangan David dan Ardika menjadi pusat perhatian mereka semua. "Mereka akan seperti itu kalau ada orang baru yang memasuki wilayah ini," ucap Tuan Albern. Mereka bertiga akhirnya sampai di sebuah rumah yang terletak di sudut rumah-rumah banyak penduduk tadi. Setidaknya David sedikit merasa lega sebab ia tidak terus diawasi seperti selayaknya seorang penjahat. Sesampainya ke dalam rumah sederhana itu, David dan Ardika langsung di antar oleh Tuan Albern ke kamar. "Maaf, sedikit berantakan. Maklum kamar ini lama tidak dihuni," ucap Tuan Albern. Setelah mengantarkan mereka berdua pria itu meninggalkan kamar. Membiarkan David dan Ardika bersama-sama membersihkan kamar. Kamar ukuran tiga kali tiga meter itu cukup berdebu. Hingga membutuhkan waktu berjam-jam untuk membersihkannya. Sebagai alas tidur pun mereka hanya memakai tikar yang diberi tuan Albern. David bersyukur karena telah dipertemukan oleh orang sebaik tuan rumah ini. Berkat Tuan Albern, David juga mengetahui apa dan jangan yang akan dia lakukan. "Apa mereka sudah tidur?" tanya Albern ke salah satu pemuda yang merupakan anak buahnya untuk membantu berbagai urusan. "Saat saya mengantar selimut untuk mereka anak kecil itu sudah tertidur, Tuan. Sedangkan yang dewasa masih duduk termenung," ucap pemuda berusia dua puluh dua tahun itu. Albern manggut manggut mengerti sambil duduk kursi goyang yang terbuat dari kayu rotan berada di kamarnya. Di antara dua jarinya terselip cerutu berwarna coklat. Pria itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Mereka baru saja melakukan perjalanan jauh, pasti lelah. Malam ini biarkan mereka istirahat dengan tenang, pastikan teman-temanmu jangan menganggu jika datang," ucap Albern. Menghidupkan cerutu kemudian menghisapnya hingga asap putih mengepul dari mulutnya. "Kalau boleh saya tahu ... apa rencana Tuan untuk mereka berdua, Tuan?" tanya pemuda itu dengan takut. "Bukan urusanmu! Apa pun yang akan aku lakukan pada mereka kau tidak berhak tau. Mengerti?" Pemuda itu mengangguk takut kemudian tertunduk. Memilih diam menunggu instruksi Tuan Albern apa yang harus dia lakukan. "Berikan mereka selimut yang bersih dan juga makanan yang cukup. Aku tidak ingin mereka mengeluhkan sesuatu di sini," perintah Tuan Albern. "Baik Tuan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN