Telepon Siapa?

1032 Kata
Tidak banyak keluarga yang benar-benar harmonis. Kebanyakan hanya pencitraan agar di pandang sebagai keluarga yang penuh cinta kasih. Keluarga yang benar benar hangat hanya ada dalam sebuah cerita fiksi sebuah karya. Seperti keluarga Mahfud dan Ningsih. Di hadapan publik, mereka akan merangkul kedua anaknya. Tidak akan membeda-bedakan dan selalu memberikan pelayanan yang sama kepada kedua anaknya. Tidak akan ada bentakan dan caci maki. Semua sudah di setting sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa Mahfud dan Ningsih adalah orang tua terbaik yang pernah ada untuk kedua putrinya. "Kak, tadi kata ibu kan kamu ngga kebagian daging, nanti kita makan bareng aja. Kamu ke kelas aku ya kak. Sekalian aku nanti mau minta salinan tugas Bu Arum. Kamu udah selesai ngerjainnya kan tugas yang fotokopi-an? Nanti aku nyontek ya kak." Ucap Farah ketika dia sedang memakai sepatu di teras rumahnya bersama dengan Ratna. Seperti yang sudah sudah, Farah akan selalu mempertahankan keinginannya agar dapat terwujud. Tidak peduli cara yang di ambil baik atau tidak, akan menyakiti hati orang lain atau tidak. Jika dia menginginkannya, maka hal tersebut harus dapat di raihnya. "Aku nanti ada ulangan matematika, kayanya ngga bisa ke kelas kamu deh. Ngga apa aku siang nanti ngga usah makan daging juga oke aja kok." Ucap Ratna sambil memandang getir ke arah Farah. Dia sengaja berkata seperti itu untuk menunjukan bahwa Ratna yang sekarang adalah sosok yang baru. Dia tidak lemah lagi dan akan dengan berani melawan siapa saja yang sudah memojokkannya. "Oh kamu udah berani nolak keinginan aku kak?" Balas Farah yang dengan sengaja mengeraskan suaranya. Dan, benar saja. Farah dengan mudahnya akan langsung memainkan drama seolah hal yang dia alami adalah hal yang sangat menyakitkan. "Ngga gitu Farah, tapi aku emang ngga bisa aja." Ratna masih mencoba untuk menyangkal tuduhan Farah kepada dirinya. Dalam pikirannya Ratna, dia harus lebih berani lagi dalam melawan Farah yang suka semena-mena. "Aku ngga mau tahu, kamu harus bisa." Balas Farah yang semakin tak terkontrol lagi suaranya. Semakin Ratna mencoba melawan, Farah akan semakin menunjukkan taringnya. Hal itu tentu saja untuk menarik "Bala bantuan" yang akan membantu Farah untuk mewujudkan keinginannya. "Kenapa sih sayangnya ayah kok teriak-teriak?" Ucap Mahfud tiba-tiba. Dia langsung menghampiri kedua putrinya untuk menenangkan sang anak bungsu. See? Benar kan? Bala bantuan yang di maksud adalah orang tua Farah yang secara tidak langsung telah membentuk karakter keras kepala dalam diri Farah. "Ini ayah si kakak ngga mau bantuin aku buat kerjain tugas Bu Arum." Adu Farah kepada ayahnya. Merasa sedang di atas awan, Farah langsung saja mengadu kepada ayahnya dengan tujuan sang kakak yang akan kena marah. Kurang ajar banget emang si Farah ini. "Bener Ratna?" Seketika itu juga Mahfud langsung melayangkan tatapan tajam ke arah putri sulungnya. Dan, ya! Dapat di pastikan Mahfud akan langsung mempercayai setiap ucapan sang anak bungsu. Tidak peduli ada atau tidaknya bukti yang konkret. Sedangkan Ratna? Dia tidak menjawab. Dia hanya menunduk mengalihkan tatapan yang tidak mengenakkan dari ayah kandungnya sendiri. Dan, Farah? Tentu saja dia sedang tersenyum karena merasa tidak ada yang boleh menolak keinginannya. Kalau sampai itu terjadi, ada orang tuanya yang akan siap pasang badan untuk memastikan keinginannya terwujud. Sungguh definisi anak bungsu yang tidak tau diri. "Oh udah ngerasa hebat?" Mahfud pun semakin berang akibat Ratna yang tidak merespon ucapannya.. Dia menarik tas yang di berada di Gendongan Ratna dan menjatuhkannya ke lantai. Tas tersebut pun menimbulkan suara yang cukup keras. Boom... Ada yang semakin patah di hari Ratna. Cinta pertama nya pun menolak melindungi dirinya, lantas kepada siapa dia harus mencari perlindungan? "Kalo adeknya minta tolong itu turutin. Jangan jadi kakak ngga berguna. Pake dikit otaknya, jangan bikin emosi orangtua." Lanjut Mahfud lagi dengan suara yang Sedikit melemah mengingat mereka sedang berada di teras rumah. Mahfud tidak akan berani membentak atau mencaci Ratna di depan umum. Dia selalu ingin terlihat sebagai sosok ayah idaman bagi kedua putri kandungnya. Namun sangat di sayangkan, Mahfud hanya menjadi ayah idaman di mata Farah. Bagi Ratna, Mahfud hanya seorang pengecut yang sangat pintar berkamuflase. Ratna sendiri pun muak dengan segala sandiwara keluarga bahagia di khalayak ramai yang di perankan Mahfud, Ningsih, dan juga adiknya Farah. Ratna lebih memilih untuk tidak menjawab ucapan Mahfud. Dia hanya diam dengan tatapan yang kosong. Hatinya sudah terlalu biasa menerima semua perlakuan tidak menyenangkan ini. Dia bisa menerima, tapi sampai kapan? Memang Mahfud tidak pernah bermain tangan langsung ke tubuh Ratna. Tapi hinaan dan caci maki yang Ratna terima mampu membuat psikisnya semakin terluka. Seolah beban mental yang di tanggungnya tidak akan berkurang, malah semakin bertumpuk dan bertumpuk. "Ayah kenapa yah? Suara apa tadi? Oh iya Farah sayang ini botol minum kamu tadi ketinggalan di meja makan. Untung aja ibu lihat dan syukurnya kalian belum pada berangkat." Ucap Ningsih yang baru datang dari dapur. Kedatangan Ningsih ke teras kali ini sedikit membuat Ratna was-was. Dia takut Farah akan kembali mengadukan hal macam-macam yang tidak sepenuhnya benar. Beruntung, Farah hanya menerima botol minum yang di berikan ibunya tanpa mengucapkan terimakasih. Dan hal itu membuat Ratna mampu bernafas sedikit lebih lega. "Ngga ada Bu, yaudah ayo kita berangkat semua. Ratna ingat ingat omongan ayah tadi." Ajak Mahfud seraya memberikan peringatan kepada Ratna yang tentu saja turut mengundang keingintahuan Ningsih. Seketika itu juga Ningsih langsung memandang Ratna dengan tatapan mematikan. Tanpa banyak bicara, Ratna dan Farah langsung menyalami ibu mereka. "Hati-hati ya sayang ya." Ucap Ningsih pada saat Farah menggenggam tangannya dan menciumnya dengan takzim. Dan pada saat Ratna yang menggenggam tangannya, Ningsih tidak berucap apapun. Dia pun langsung menarik tangannya, seolah enggan bibir Ratna menyentuh punggung tangannya. Lalu, bergantian Ningsih mencium tangan suaminya dan berpesan agar suaminya berhati-hati selama mengendarai kendaraan roda empat itu. Dan akhirnya, suami dan anak-anaknya pun berlalu meninggalkan rumah seiring laju kendaraan roda empat yang semakin menjauh. Kini tinggal Ningsih sendiri di rumah. Menyadari bahwa situasi di rumahnya yang sedang lengang, Ningsih bergegas mengambil ponselnya dan menghubungi sebuah nomor yang telah dia hafal di luar kepala. "Rumah aman, Sekarang ya." Ucap Ningsih setelah suara seseorang di seberang telepon terdengar. Tidak ada balasan lagi, karena sambungan telepon langsung di putus oleh Ningsih saat itu juga. Bersambung... Hhmm... Kira-kira Ibu Ningsih nelepon siapa ya? Ada yang penasaran kaahh? Nantikan terus kelanjutan dari Kisah Ratna dan Farah ya my readers yang baik hatinya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN