Jangan lupa janjimu, Laura.
Pakailah.
Malam ini jam 7, aku jemput.
Your R.
Ini semacam alarm kesialan bagiku ketika membaca sebuah note beserta satu bouquet bunga lily dan sebuah kotak hadiah.
Kedatanganku ke kantor pagi ini diikuti Dina yang tergopoh-gopoh masuk kedalam ruangan kerjaku. Dia bagaikan memberiku suatu kehormatan di pagi hari. Namun kenyataannya hal itu merupakan bagian dari kesialan yang baru aku ingat.
Ternyata sudah satu minggu sejak pertemuanku dengan Rush Welmingheld, laki-laki tampan dengan sejuta pesonanya yang membuat aku luluh seketika. Kukira, dengan mudah aku bisa mengambil jarak dengannya. Dalam satu kali pertemuan pun dia sudah bisa membuatku tidak berkutik, apalagi kali ini kami makan malam berdua. Mungkin.
Aku kehabisan kata-kata ketika membaca sendernya 'Your R'? Dia sudah gila pada kenyataannya.
Aku benar-benar tak memungkiri adanya ketertarikan di antara kami. Tidak, mungkin hanya aku saja. Tatapan matanya mungkin bisa membuat aku runtuh dan jatuh berlutut di depan kakinya. Suaranya bagaikan desahan dewa-dewa surga.
Satu yang aku sadari. Dia tak mungkin tergapai.
Aku tak ingin menaruh harapan kembali padanya, sekalipun dia telah membagi harapannya secara cuma-cuma. Lagipula, laki-laki sudah terasa sangat asing bagiku. Sudah 8 tahun aku tak tersentuh yang namanya pria.
Heuh. Laki-laki adalah perusak segalanya. Demi Tuhan, aku tak ingin ada laki-laki yang masuk kehidupku lagi.
Meskipun itu seorang Rush Welmingheld yang sudah memutarbalik konsentrasiku selama satu minggu ini dengan pesona yang dia tebar.
Suara interkom menyadarkanku jika sedari tadi aku masih terpaku pada note yang dikirim Rush. Itu Dina.
"Nona, sekretaris Mr. Welmingheld menanyakan apakah Anda sudah menerima paketnya. Sedari tadi aku sudah mengatakan jika Anda sudah menerimanya, namun dia tetap tidak percaya dan bersikap menyebalkan. Dia meminta Anda segera menghubungi Tuan Rush." Suara dengan nada kesal milik Dina terdengar dari balik interkom, membuatku tanpa sadar tersenyum. Dina terkadang lupa dengan sikap profesionalnya.
Aku baru saja mencerna apa yang dikatakan Dina. Sekretaris Rush memintaku menghubungi Tuannya? Tidakkah ada yang salah?
"Kenapa bukan mereka yang menghubungiku? Biarkan saja, Din. Tunggu sampai mereka menghubungiku sendiri." jawabku sambil menautkan alis, meskipun aku tahu Dina tidak melihatnya.
"Baik, Nona." Balas Dina, kemudian sambungan kami terputus.
***
Hari menunjukkan pukul satu siang. Aku tetap berada di balik meja kerja sambil mengamati desain-desain fresh dari para pemula, tak lupa aku beberapa kali mencomot salad makan siangku yang sudah dipesan Dina.
Suara keributan tiba-tiba terdengar dari luar. Aku menekan tombol interkom dan memanggil-manggil Dina, namun tak ada jawaban. Yang aku dengar hanya kata 'Biarkan aku masuk” secara berulang-ulang.
Sedikit rasa penasaran membanjiriku. Namun kutepis jauh-jauh karena beberapa saat kemudian, orang yang menjadi pusat keributan masuk kedalam ruangan kerjaku dan menyisakan dentuman dari pintu yang beradu dengan dinding.
Rush.
Di belakangnya ada Dina yang menatapku dengan wajah menyesal dan meminta maaf. Aku hanya mengangguk dan menyuruhnya keluar ruangan.
Begitu Dina keluar, Rush langsung mengambil posisi duduk di depanku. Tampangnya terlihat kesal dan tidak menampakkan senyum misterius seperti biasanya. Kali ini kakinya dilipat dan tangannya bersidekap didada, wajahnya tampak lelah dengan beberapa kerutan menghiasi.
"Apa kau sudah menerimanya?" Tanyanya to the point masih dalam posisi seperti tadi. Aku hanya membalas mengangguk. Mulutku masih penuh dengan salad terakhir yang aku suap. Aku tak ingin mempermalukan diri sendiri dengan menyemburkan potongan sayuran dan bawang di wajahnya.
Dia mendengus. "Jadi kenapa tidak menghubungiku?" tanyanya lagi.
Aku yang jengah dengan sikap 'tiba-tiba datang, tiba-tiba marah'-nya hanya menatapnya malas dan kembali ke kesibukan semula dan mencoba menelan sisa salad.
"Apa di pertemuan terakhir kita kau berakhir bisu?" sindirnya sinis.
Okay, dia benar-benar berubah menjadi bayi menyebalkan sekarang. Sangat berbeda dari dia yang aku dengar sangat berwibawa dan bijaksana.
Aku menatapnya sekilas, lalu kembali memilih-milih desain.
"Maaf, aku sibuk." Argumenku singkat.
"Aku sudah mendengar itu berulang-ulang dari sekretaris tuamu yang menyebalkan itu. Aku hanya butuh kau menelponku dan mengatakan kau sudah menerimanya." Cercahnya padaku. Aku menatapnya tak percaya, terutama dengan nada kesal yang dia lontarkan.
Jadi dia ke sini hanya untuk membahas kirimannya?
"Aku sedang makan siang." Kataku malas.
Kulirik dari sudut mataku, dia berdiri lalu berjalan ke arah meja kerjaku. "Apa yang kau makan?" tanyanya.
Aku mengangkat wajahku. Mata kami bertemu, cepat-cepat aku mengalihkan wajahku dari mata elang menusuk itu. "Salad dengan minyak zaitun."
"Hanya itu?"
Aku mendengus mendengar nada introgasi yang dia lontarkan.
"Ya." Jawabku.
"Tanpa karbohidrat dan protein?" tanyanya lagi.
Dia benar-benar menghilangkan mood-ku kali ini. Apa urusannya menanyakan hal yang begitu sensitif seperti itu padaku?
"Maaf, Tuan. Apa kita perlu membahas masalah desainnya sekarang dan mengagalkan acara makan malam yang sudah anda tunggu-tunggu?" Aku bertanya dengan formal padanya akibat dari kejengahan yang dia ciptakan. Tak lupa menekankan kata 'makan malam' yang sepertinya memang dia tunggu-tunggu.
"Tidak perlu. Aku kesini bukan untuk membahas desain atau semacamnya, aku hanya ingin bertanya tentang kiriman dan menemuimu. Kebetulan aku sedang tidak sibuk di kantor." Ujarnya santai sambil duduk bertopang dagu dikursi yang sempat ia tinggalkan.
Aku terbelalak mendengar kata-kata santainya.
Dia tidak sibuk.
Tapi aku? Aku bahkan nyaris tak bisa melihat wajahnya karena tumpukan kertas yang menghalangi mata.
Sejujurnya aku benar-benar ingin meledakkan semua kekesalanku terhadap pekerjaan dan terhadap dirinya juga tentunya. Namun, aku masih punya etika yang memerintahkan menghormati orang yang lebih tua.
Aku tertawa dalam hati ketika menyebut kata tua. Bahkan ketika pertama kali bertemu, aku menyebutnya sangat muda, 'kan?
"Benarkah?" tanyaku dengan nada tak percaya. "Yang aku dengar, perusahaanmu sedang dalam masa sibuk karena baru saja memenangkan tender." Sindirku halus.
Rush tersenyum miring padaku, "Aku kira kau bukan orang yang peduli pada keadaan sekitarmu, Laura. Ternyata aku salah."
Aku mengerutkan dahiku bingung. "Kau bertingkah seperti kita mengenal lama, Rush."
"Aku suka dengan cara kau menyebut namaku. Benar-benar sexy."
Sial. Dia benar-benar mengujiku sekarang.
"Dan aku bisa membayangkan sesuatu yang menyenangkan dengan suaramu yang sexy itu." Lanjutnya dengan nada menggoda. Benar-benar menggoda sampai sulit rasanya untuk menelan saliva-ku sendiri.
Aku tertegun mendengar ucapan gilanya barusan. Ada apa dengan seorang taipan kaya yang datang kekantor ini lalu kemudian menggodamu? Batinku berteriak.
"Kau tidak sedang menggodaku, 'kan?"
Dia tersenyum licik. "Aku memang sedang menggodamu, Laura."
Aku kembali susah payah menelan ludah. Darahku berdesir dan jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Perasaan asing tiba-tiba menyusup dalam diriku. Namun, tak lama aku menepis semuanya.
Ini hanya reaksi dari godaan laki-laki tampan. aku menyakinkan diri dalam hati.
Rush berdeham. Menyadarkan jika dari tadi mulutku menganga.
"Sepertinya aku harus kembali ke kantor." Katanya sambil bangkit berdiri. "Dan, Laura, aku jemput di apartemenmu jam 7. Pakailah pakaian yang aku kirimkan padamu." Kemudian dia berbalik dan menghilang di balik pintu.
Aku yang shock langsung memegang dadaku. Jantungku serasa akan melompat keluar.
Dan tunggu.
Dia tahu apartemenku?
Aku memijit dahiku yang terasa sakit. Tidak, jantungku juga sakit.
Mungkin aku butuh sedikit jus jeruk dan obat sakit kepala. Rush benar-benar virus menular.
***
Jam masih menunjukkan pukul lima namun aku sudah berjalan menuju lift apartemen. Aku sengaja pulang cepat hari ini mengingat acara pentingku dengan Rush.
Ya, sangat penting.
Sambil menenteng kotak hitam dengan pita besar itu, aku menekan angka 12 di lift. Tak lama berselang, aku sampai di dalam apartemen 2 kamar tidur milikku.
Suasananya gelap karena kebiasaanku yang selalu mematikan semua peralatan elektronik sebelum berangkat kerja. Kulepaskan sepatu yang membalut kakiku dan mulai menyalakan semua lampu yang padam.
Aku masuk ke dalam kamar, menghempaskan kotak yang sedari tadi aku jinjing dan menyebabkan isinya berhamburan. Sedari tadi memang aku belum membuka isi kotak kiriman Rush. Namun kali ini aku tahu apa yang dia kirimkan. Sebuah gaun malam berwarna navy dengan belahan tinggi disebelah kanan dan sebuah stiletto berwarna hitam milik produk tetangga. Maksudku sainganku.
Bagaimana bisa Rush memberikanku sepatu produk milik sainganku di dunia bisnis? Apa dia sengaja ingin membuatku kesal?
Jujur saja aku takjub dengan seleranya. Aku menyadari, jika aku mengenakan gaun dan stiletto ini, aku akan kelihatan sangat elegan dan berkelas. Tentu saja harus seperti itu. Kali ini kau makan malam dengan seorang taipan kaya, Laura. Batinku berteriak.
Ada perasaan tidak sabar yang muncul dalam diriku. Entah kenapa aku langsung mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi seperti seorang robot, tak sabar ingin mencoba gaun yang sangat cantik tersebut.
***
Mandi kali ini terasa tak biasa. Tanpa alasan yang jelas, aku melakukan perawatan diri yang agak berlebihan. Melakukan sedikit wax dan lulur. Hal yang paling jarang dan paling malas aku lakukan.
Dengan masih menggunakan bathrobe aku menuju ke meja rias dan mulai merias diri. Sebelumnya aku melirik jam yang sudah menunjukkan angka 6.
Tak banyak make up yang aku pakai, hanya bedak, eyeliner, maskara dan lipstick berwarna peach. Oh dan tak lupa blush on.
Sesaat kemudian aku sudah tampil lumayan cantik. Lumayan.
Aku berjalan menuju walk in closet dan mengambil sepasang pakaian dalam hitam dengan renda yang terlihat sangat sexy ketika aku pakai.
Kupakai gaun milik Rush melewati kepalaku, gaun itu jatuh sempurna menyentuh lantai. Belahan gaun ini bahkan mencapai setengah pahaku yang membuatku tampak terkesan sangat sexy. Demi Tuhan, Rush benar-benar hebat.
Aku berharap Rush segera datang.
***