seorang gadis kini hanya meringkuk di atas ranjang menekuk kedua lututnya dan membenamkan wajahnya disana. Isak tangis masih terdengar meski suasana sudah mulai sepi. Kebaya putih serta kain songket masih melekat utuh di tubuhnya.
Gadis itu masih enggan untuk hanya melepaskan, rasa sakit serta malu keluarganya membuat dia semakin terisak. Pintu sudah beberapa kali terdengar di ketuk tak berniat menjawab ataupun hanya bersuara. Sesak di dadanya masih merajai.
"Rahma!"
suara di balik pintu itu sudah terdengar berulang kali namun gadis yang bernama lengkap Rahmatul Hairunnisa itu masih betah dalam posisinya.
"Nak," panggilnya lagi. "Bisa mama masuk sayang?" sambungnya. Masih tak ada jawaban dari dalam ruangan itu. Takut anak gadis satu-satunya berbuat nekat wanita paruh baya itu memberanikan diri membuka pintu kamar yang di huni oleh Rahma seorang.
Wanita paruh baya yang tak lain adalah Ulan sang ibu menarik napas lega melihat putrinya duduk di atas ranjang, dia berjalan menedekati anaknya yang masing meringkuk dengan isak tangis pilu. Ulan duduk di tepi ranjang, dia mengusap sayang kepala yang ditutupi jilbab yang senada dengan kebaya itu.
Rahma yang merasa ada yang menyentuh kepalanya mengakat wajah yang sudah sembab, dengan riasan yang sudah tak berbentuk. Melihat sang ibu yang tersenyum di atas rasa malu seluruh keluarga, sontak Rahma memeluk ibunya. Suara tangis yang ia tahan sedari tadi tumpah di pundak sang ibu. "Maafin Rahma Bu! Maafin Rahma," hiks hiks hiks
Tangisan itu menular pada sang ibu yang jiga meneteskan air mata. "Sudah nak, sudah," ucap Ulan menenagkan putrinya.
Bukannya tenang Rahma malah semakin terisak. "Maafin Rahma yang udah buat malu keluarga untuk kedua kali Bu," ucapnya di sela isak tangisnya. "Ini sudah kehendak Allah nak." jawabnya. "Allah sedang mengujimu saat ini," masih dengan mengelus punggung putrinya yang bergetar, Rahma melepas pelukannya dari sang ibu. "Maafin Rahma Bu." kembali ia terisak melihat air mata sang ibu yang jatuh untuk kesekian kalinya hanya gara-gara satu orang putri. "Sudahlah, ini jalan yang terbaik buat hidupmu, jangan sekali-kali kau menangisi sesuatu yang Allah tak kehendaki." nasehat sang ibu. Ulan mengerti akan perasaan putrinya yang hancur di saat sakral itu, tapi dia berusaha untuk tetap kuat demi Rahma. "Tapi mengapa harus sekarang kenyataan itu terungkap Bu?" tanyanya. "Itu tandanya Allah masih sayang padamu dan ingin memberikanmu yang terbaik." jawab Ulan dengan bijak. "Jika kami tak berjodoh mengapa Allah mempertemukan kami Bu?" tanyanya. Ulan mengusap air mata Rahma yang terus saja mengalir tanpa henti membasahi pipi putih yang sudah terlihat berantakan.
"Itu karena Allah sedang menguji keimanan serta kesabaranmu sayang." jawabnya. Tak ingin lebih lama melihat kehancuran putrinya ia lebih memilih menyuruh Rahma membersihkan diri. "Ini sudah sore kamu mandi dan bersihkan diri ya, biar pikiranmu tenang." perintah Ulan pada sang putri tercintanya. "Jangan lupa sholat ya nak, minta ketabahan hati pada yang Esa." sambungnya lagi.
Rahma hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan perintah ibunya. Setelah Ulan melihat putrinya menghilang dari balik pintu kamar mandi, dia keluar dari kamar putrinya. Di dapan sana sudah ada Rama sang suami yang menantinya. Melihat mata sembab instrinya Rama merengkuh tubuh yang mulai bergetar kedalam tubuhnya. Rama sandarkan tubuh yamg rapuh itu pada d**a bidangnya.
"Putri kita pasti kuat sayang," lirih Rama. Pria itu mengecupi pucuk kepala istrinya beberapa kali untuk memberikan sedikit ketenangan meski ia sendiri jauh dari kata itu. "Apa salah putri kita Mas?" tanyanya dalam dekapan sang suami. "Ini ujian Allah, kita hanya bisa berserah padanya," jawaban itu membuat Ulan terisak. "Haruskan dengan seperti ini Mas?" kembali ia bertanya. "Allah tak akan menguji umatnya melebihi kemampuannya," jawab Rama tegas. "Kamu tau itu kan sayang?" tanya Rama, dan mendapat anggukan dari sang istri dalam dekapannya.
"Sekarang kita turun," pintanya melepas pelukan. "Anak-anak semua ada di bawah. "sambungnya lagi." Seturunnya Rama dan Ulan dari atas, semua mata tertuju pada mereka, terutama ketiga putra mereka, Leon, Tama, dan Roni. "Bagaimana keadaan Rahma Pa?" tanya Leon anak pertama mereka. "Papa nggak tau, tadi yang masuk Mama," jawab Rama jujur.
"Ma!!"
Selidik ketiga putranya yang meminta jawaban. Ulan yang mengerti hanya menghela napas. "Adik kalian sedang mandi." jawab Ulan jujur, yang memang pada kenyataanya dia menyuruh Rahma membersihakan diri.
"Kenapa Mama tinggalin?" ujar Roni anak ketiga mereka. "Harusnya Mama tungguin," sambungnya lagi. "kalau dia nekat gimana Ma?" ujarnya raut khawatir akan keadaan adiknya sangat terlihat jelas. "Kamu jangan ngaco kalo ngomong Ron," ucap Rama, "Adikmu itu punya pikiran." imbuhnya.
"Pa!" seru Roni. "Pokoknya aku nggak tenang." pungkasnya tegas. Rony lantas berdiri dari duduknya berniat melihat keadaan adik tersayangnya. Namun niatan itu terhalang oleh Leon yang memegang pergelangan tangannya. "Biarin dia sendiri dulu," pintanya.
"Dia butuh menengkan diri Ron," suaranya lembut namun tegas. "Justru saat ini dia bituh sandaran Bang," jawab Roni. "Dia bituh bahu buat menampung sesaknya," sambungnya lagi. Tak menghiraukan ucapan yang lain Roni tetap bersikeras menemui sang adik. Sampainya di pintu kamar yang tak tertutup ia memasuki kamar adiknya perlahan ia mendorong pintu, namun sayup-sayup ia mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dibaca yang ia tau itu adalah surah Ar-ra'd, Salah satu dari banyaknya ayat untuk menenagkan hati serta pikiran.
Roni duduk di tepi ranjang mendengarkan ayat demi ayat yang di lantukan sang adik, ia tau adiknya kini merasa gelisah juga sedih, namun suara dari tiap ayat yang di baca tak sekalipun menggambarkan kesedihnnya. Entah berapa lama ia duduk disana, hingga tak sadar Rahma sudah mengangkat kedua tangannya mengadahkan kepala ke atas, memohon pada sang pemilik kuasa.
"Ya Allah, Ya Rab ku, yang maha pengasih lagi maha penyanang, jika ini jalan terbaik untukku, maka kuatkan lah hatiku, berikan aku kebesaran hati untuk menerima ujianmu." setitik air mata jatuh di pipinya, suaranya pun mulai bergetar dan itu tak luput dari indra pendengaran Roni.
"Ya Allah ya Tuhanku, segala puji bagi-Mu tuhan semesta alam, Aku mohon kuatkan hatiku, tabahkan jiwaku, berikan hambamu ini keihklasan untuk menerima takdirmu, aku hanya hamba yang lemah tanpa kuasamu Ya Rab, hamba mohon, kuatkan hamba,"
hiks hiks hiks
Rintihan hatinya ia limpahkan pada sang pencipta
"Hamba hanya bisa mengadu padamu Ya Rab, Engkau tak mungkin menguji hambamu di atas kemampuannya, hamba percaya pada-Mu Ya Allah, hamba yakin Kau tak akan menguji ku jika aku tak mampu," ucapnya dengan suara bergetar. "Dekatlah hamba selalu padamu Ya Allah, hanya Engkaulah tempat hamba mengadu keluh kesah, kuatkan hati hamba Ya Allah kuatkanlah. Aamiin, aamiin, aamiin, Ya rabbal alamiin," Rahma menutup do'anya denga mengusap kedua tangan pada wajahnya. Ia melepas mukena miliknya. Dan betapa terkejutnya saat melihat Roni sang kakak duduk tanpa sepatah katapun yang terucap, mata pria itu merah sama seperti milik Rahma, gadis itu yakin bahwa kakaknya baru saja menangis.
"Kak Roni!" lirihnya