“Mbak Fiona, tadi aku udah nelpon klien dan kata mereka, kita bisa langsung ketemu di rumahnya sekarang juga.” itu adalah suaranya Kimchi, asisten Fiona yang tadi ia suruh untuk menghubungi klien karena mamanya yang meminta Fiona untuk memastikan bagaimana proyek yang akan mereka lakukan kali ini berjalan dengan lancar.
Sebelum Fiona sempat menjawab, Kimchi kembali melanjutkan ucapannya. “Itu juga kalau Mbak Fiona punya waktu hari ini.”
Fiona tampak berpikir, kemudian mengangguk kecil sebagai jawaban dari pertanyaan Kimchi.
“Iya sudah, Kim. Kita langsung kesana sekarang,” ucap Fiona setelah menimbang-nimbang kembali, terlalu banyak yang harus ia lakukan untuk persiapan pesta pernikahan kliennya itu. Semakin cepat dilakukan, maka akan semakin cepat selesai juga, dan waktu juga akan tersisa lebih banyak jika-jika terjadi sesuatu yang diluar kendali.
“Sip, deh, Mbak. Kalau begitu saya siapkan dulu berkas yang harus kita bawa nantinya, ya?” izin Kimchi, lalu berbalik badan untuk segera pergi dari ruangan atasannya itu. Akan tetapi, langkahnya terhenti tatkala telinganya mendengar Fiona yang kembali berbicara.
“Tidak usah, Kim. Semua sudah ada di dalam tablet ini, loh. Kita nggak perlu repot-repot bawa berkas,” ucap Fiona sambil mengangkat tinggi tablet yang berada di tangan kanannya. Ia lantas melemparkan senyuman lucu yang penuh dengan kebanggaan akan usahanya.
“Astaga! Maaf, Mbak FIona!” Kimchi menepuk lembut dahinya. Bisa-bisanya dia melupakan kalau atasannya sekarang adalah Fiona Russell, bukannya Bella Russell yang kalau ketemu klien pasti akan membawa berkas-berkas yang merepotkan.
“Oh iya, Kim, tolong titipkan pesan buat Santi kalau stok bunga di gudang belakang harus segera di cek,” imbuh Fiona lagi dan lantas Kimchi menganggukkan kepalanya. Mengangkat kedua belah jempol akan perintah Fiona padanya.
***
Beberapa menit kemudian, seperti yang telah dirundingkan oleh Kimchi dan klien merekai, Fiona kini sudah puni berada di ruang tamu sebuah rumah mewah berlantai dua dengan nuansa putih kuning yang cukup memberikan kesan hangat dan elegan.
“Mbak, duduk dulu, ya. Sebentar lagi Nyonya sama Nona Alin turun,” ucap asisten rumah tangga itu dengan nada yang sopan setelah meletakkan jus jeruk di atas meja di hadapan Fiona dan Kimchi. Tak hanya itu, ia juga menyiapkan makanan-makanan kecil sebagai hidangan untuk para tamu. “Silakan diminum, Mbak. Saya izin kembali ke dalam dulu,” imbuh pembantu itu lagi.
Tak lama setelah asisten rumah tangga itu meninggalkan Fiona dan Kimchi di ruang tamu, terdengar bunyi deru mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Bunyi itu tidak hanya cuma satu, tetapi terdengar seperti ada dua buah mobil yang masuk dan parkir.
“Kim, apa calon pengantin prianya juga kemari?” Fiona menatap Kimchi dengan penuh tanda tanya.
Akan tetapi, belum sempat Kimchi menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Fiona, terdengar suara keributan dari arah pintu utama. Tentu saja itu membuat Fiona dan Kimchi bangkit dan saling lempar pandang kebingungan. Fiona tiba-tiba merasa jika ini adalah waktu yang tidak tepat untuk datang berkunjung.
Karena rasa penasarannya yang tinggi, Fiona memutuskan untuk melangkah ke luar dari ruang tamu, Kimchi membuntutinya dari belakang dengan rasa khawatir. Dilihatnya seorang pria dan wanita yang berjalan meninggalkan halaman parkir dengan langkah yang cukup cepat.
“David McLaren! Berhenti!”
Pria yang dipanggil itu tidak menoleh ada wanita di belakangnya dan terus berjalan ke arah pintu masuk rumah. David tersentak saat badannya hampir saja menabrak Fiona yang berdiri di dekat pintu masuk. Alisnya mengernyit tajam melihat keberadaan dua orang asing di dalam rumahnya.
Wanita yang tadinya terus mengikuti David dari belakang itu berhenti dan menatap tajam ke arah Fiona yang tidak tahu apa-apa. Ia menatap Fiona dan David bergantian. “Oh?! Jadi ini alasannya? Jadi ini alasannya kamu terus-terusan menolak aku Dave?” ucap wanita itu lagi sambil melangkah cepat menghampiri Fiona. Dave adalah nama panggilan akrab untuk David.
Sementara Fiona yang tidak mengenal dua orang itu hanya bisa melangkah mundur setelah wanita asing itu berdiri tegak di depannya. Dia bersedekap dengan tatapan seolah-olah bisa menelan hidup-hidup Fiona kapan saja.
“Tenang, Mbak,” ucap Fiona berusaha menenangkan wanita yang tidak tahu sopan santun itu. Seenaknya saja dia menyalahkan Fiona yang tidak tahu apa-apa.
“Mbak, Mbak? Saya Lifia! Nama saya Lifia!” serobot Lifia memotong cepat ucapan Fiona barusan. Sambil menyilangkan kedua tangannya di bawah d**a. Ia menatap Fiona dengan sombong.
Fiona menarik napas untuk menenangkan diri. “Iya, Mbak Lifia. Maaf. Maaf, saya tidak tahu permasalahan kalian berdua, saya hanya orang asing yang ke sini cuma untuk urusan pesta pernikahan dan tidak—”
“Apa! Pernikahan?!” potong Lifia dengan cepat sebelum Fiona menyelesaikan penjelasannya. “Jadi kalian sudah mau menikah!” teriak Lifia lagi dengan suara cemprengnya.
Nadi Fiona berdenyut. Padahal ia tadi sudah jelas-jelas mengatakan jika dia hanya orang asing. Kenapa wanita di depannya ini sangat sensitif dan penuh emosi?
“Bukan begitu,” sanggah Fiona. “Tapi—”
“Oh iya, Sayang!” Lagi-lagi ucapan Fiona terpotong, kali ini oleh David. “Aku lupa jika hari ini kita akan membahas pesta pernikahan kita.”
Mata Fiona melebar saat menatap David, mulutnya bahkan sampai menganga lebar. Belum sempat ia memahami ucapan David, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar melingkari pinggang ramping Fiona. Badan David mendekat ke arah Fiona hingga ia bisa mencium aroma maskulin ria itu. Otak Fiona berusaha mengolah apa yang sedang terjadi. Ia tidak mengerti mengapa David berkata seperti itu. Lalu, sejak kapan Dave sudah berada di samping Fiona?
Fiona segera mendapatkan kembali kesadarannya tatkala ia merasakan tangan David yang meremas pelan pinggangnya.
“Apa?!” Kini, giliran Fiona yang menjerit kaget. Bukan hanya Fiona, Kimchi yang berdiri tak jauh dari Fiona juga terlihat sangat terkejut mendengar pernyataan yang meluncur dari bibir Dave. Kimchi tidak pernah mendengar pernyataan seperti itu dari FIona. Sungguh di luar dugaan.
“Apa-apaan ini? Apa yang kalian ributkan?” tegas satu suara yang muncul dari dalam rumah.
Semua mata terpaku pada sumber suara. Seorang wanita paruh baya yang sepertinya seumuran dengan Bella Russell muncul dengan elegan dan berkarisma. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda yang wajahnya mirip sekali dengan Dave.
Wanita muda yang mirip dengan Dave itu adalah Alin McLaren. Ia adalah alasan utama dari kedatangan Fiona ke rumah mewah itu. Namun sekarang, sepertinya Fiona malah terjebak dengan permasalahan yang muncul secara tiba-tiba. Padahal Fiona datang hanya untuk membahas proyek pernikahan.
“Tante Lisa.” Lifia sedikit mengendurkan nadanya dan menatap takut pada wanita paruh baya itu.
“Fia!” Wanita berumur itu menatap tajam Lifia. “Tante mohon sama kamu. Pulang sekarang! Tante masih punya banyak urusan,” perintah Lisa tanpa basa-basi.
Wajah Lifia memelas. “Tapi, Tante—”
“Lifia. Pulang. Sekarang.” Lisa menekan setiap katanya.
Lifia tidak bisa membantah lagi. “Baik, Tante Lisa. Lifia pulang dulu, tapi nanti Lifia bakal ke sini lagi, Tante. Aku butuh banget penjelasan dari Dave!”
“Tidak ada yang perlu untuk dijelaskan lagi Lifia! Kamu sudah melihat dan mendengarnya sendiri, ‘kan?” ucap Dave yang masih tidak mau melepaskan rangkulan tangannya di pinggang Fiona. Meskipun wanita itu sudah berusaha kuat untuk melepaskan diri, tetapi usahanya berujung sia-sia. “Mulai detik ini, kamu berhentilah berharap Lifia. Karena sebentar lagi saya akan menikah,” imbuh Dave lagi dengan tampang tidak berdosanya.
Tidak kuat untuk terus berada di sana, Lifia akhirnya berlari keluar dari ruangan tamu menuju parkiran mobil, menahan perasaan kesal. Hatinya mendongkol geram dan berjanji akan membalaskan sakit hatinya saat ini.
Sementara itu, Fiona yang mulai risih akhirnya memberontak. “Bisa lepas gak sih? Kamu siapa? Kok tiba-tiba manggil Sayang segala? Kenal juga nggak!”
Fiona akhirnya bisa melepaskan rangkulan tangan Dave di pinggangnya. Ia lantas nyerocos tanpa jeda dan mengacuhkan kehadiran tiga orang lagi di ruangan tamu itu.
“Kamu itu calon istri saya, ‘kan?” ucap Dave sambil menatap lekat wajah cantik Fiona, wanita yang baru saja ia jumpai. Padahal, Fiona yakin jika Dave sendiri belum tahu siapa namanya. Bagaimana mungkin Dave akan menikah dengannya. Fiona sendiri juga tidak mau menikah dengan orang asing.
“Apa sudah jelas, hmm?” tanya Dave lagi, menekan setiap butir ucapannya.
“Halo? Kamu sepertinya salah makan sesuatu, deh. Siapa bilang saya itu calon istri kamu? Nggak usah aneh-aneh tahu!” Fiona sebisa mungkin untuk tidak berkata lebih kasar lagi. Karena ia masih menghormati Lisa yang sedang memperhatikan mereka.
“Oh iya? Kita lihat saja nanti,” ucap Dave lantas melengos pergi begitu saja meninggalkan ruang tamu, melewati Fiona, Kimchi, Lisa, dan Alin tanpa pamit.
“Heh! Kamu!” jerit Fiona tertahan.
“Aduh, maafkan putra nakal saya Nona Fiona” ucap Lisa yang berusaha menenangkan amarah Fiona. Sontak itu membuat Fiona mengurungkan diri untuk memanggil Dave kembali.
Fiona jadi salah tingkah karena harus menunjukkan sisi buruknya pada Lisa yang anggun dan berkarisma. “Hee ... i-iya,” ucap Fiona. Padahal dalam hati, ia berusaha keras menahan rasa kesal dan amarah yang membara di dadanya.
“Jadi, apa bisa kita mulai mendiskusikan pernikahannya?” Sekali lagi, Lisa membuka bicara. Fiona mengangguk menyetujui. “Kalau begitu, mari kita duduk.”