Grand Living Apartment
Usai dari menguruskan pendaftaran pernikahan di kantor catatan Sipil. Di sinilah mereka saat ini. Sebuah hunian, yang lokasinya berhampiran dengan bandara Internasional Soekarno Hatta. Hunian yang Dave beli semenjak sudah lama namun tidak pernah dia tempati. Memilih untuk tinggal bersama mama dan adiknya Alin, di rumah besar mereka.
“Dave, kalian yakin sama keputusan kalian, mau berpindah rumah?” Lisa bertanya. Setelah Dave menyatakan keinginannya untuk berpindah.
Bukan sekadar keinginan, malah Dave sudah pun meminta jasa pemindahan barang untuk memindahkan semua barang-barang miliknya, dan juga segala keperluan Fiona masuk ke dalam apartemen.
“Dave yakin Ma, tolong kasih kesempatan untuk kami agar bisa mandiri ya.” jawab Dave. kedengaran sungguh meyakinkan. Sementara Fiona, hanya bisa mengangguk, mengiyakan apa yang barusan terbit dari bibir Dave.
“Ya sudah. Kalau begitu, kami pamit pulang ya. Na, inget ya, kalau Dave macam-macam sama kamu. Lapor saja sama mama. Biar mama yang kasih pelajaran yah.” Lisa memeluk menantunya erat seakan tidak mahu di lepaskan.
“Iya MA, aku bakalan lapor sama mama kok kalau dia berani macam-macam sama aku.” ucap Fiona, terkekeh di hujung kalimatnya.
‘maaf tante, ini pernikahan sandiwara. Bukan pernikahan beneran.’ batin Fiona dalam diam. Dadanya sesak menahan tangis yang hampir saja pecah. Tidak tega membohongi dua wanita paruh baya di depannya saat ini.
Menit kemudiannya,
Setelah semuanya beranjak pergi, Fiona membuntuti Dave untuk melakukan tur apartemen mewah itu. Sebuah hunian dengan nuansa putih sebagai latar utama. Terlihat sungguh rapi dan mewah.
“Kamu kok tidak bilang-bilang sama aku, kalau kita langsung pindah rumah.” Fiona membuka bicara, memecahkan jeda panjang antara mereka.
“mengapa harus kasih tahu kamu?” Balik Dave bertanya.
Fiona menahan rasa kesalnya. Menarik napas dalam sebelum menghembus pelan “Kamu lupa? Atau kamu pura-pura lupa? Kita itu punya perjanjian dan kamu tidak bisa seenaknya lo mengambil keputusan sendiri kayak begini, harusnya kamu ngasih tahu aku dahulu.” cecar Fiona.
“Sekarang kamu sudah tahu kan? Sama saja.” jawab Dave dengan ekspresi datar.
“Auk ah! Ngomong sama kamu itu bikin sakit hati. Sekarang tunjukkan mana kamar aku.” pinta Fiona. dia sudah capai sekali dan ingin istirahat barang sejenak.
Dave menunjukkan salah satu kamar, di samping kamar utama “Itu kamar kamu.” ucapnya.
Fiona tanpa berkata banyak, lantas membuka pintu kamar yang di maksud untuk mengecek apakah fasilitas di dalamnya lengkap apa enggak.
“Bagus, ternyata ada kamar mandi.” gumam Fiona.
“Bagaimana kalau tidak ada kamar mandi hmm?” tanya Dave. suaranya begitu dekat sekali sehingga Fiona bisa merasakan hangatnya napas pria itu menerpa belakang telinganya.
“Buset! Astaga! Kamu udah tidak punya kerjaan lain ya, ngagetin orang saja. Untung jantungku masih aman.” semprot Fiona lantas berbalik badan menghadap suami kontraknya itu.
Dave menggeleng kecil “dasar penakut, ingat, kalau mama aku atau mama kamu, atau siapa pun itu yang kemari. Kamu tahu kan harus ngapain. Jangan sampai sandiwara kita terbongkar. Awas kamu.” ucap Dave separuh ngancam.
“Bawel, udah sana, kamu keluar gih. Aku mau istirahat.” Fiona mengusir Dave keluar dari kamarnya, tanpa mengiyakan permintaan pria itu.
“Yang punya rumah siapa?” Dave bertanya.
“Jangan lupa kalau aku sekarang ini istri kontraknya kamu. Jadi ini juga rumah aku.” jawab Fiona cepat membuat Dave kehilangan kata-kata. Kemudian melangkah keluar dari kamar Fiona dan menuju kamarnya yang hanya berada di samping.
“Gercep juga dia, ternyata koperku sudah di taro di mari.” gumam Fiona tersenyum menatap koper super jumbonya, setelah Dave menutup rapat daun pintu kamarnya.
…
Malam menjelang, hujan turun dengan derasnya membasahi bumi. Fiona gelisah karena sedari tadi perutnya sudah berbunyi minta di isi. ingin keluar mencari makanan, namun tidak bisa karena mobilnya masih lagi di rumah sang mama. Masak harus pake taksi. Ya tidak mungkin Fiona mau.
“Duh… mana tidak ada makanan lagi dalam kulkas.” omel Fiona kesal. “Enak kali dia tiduran, sementara aku kelaparan.” omel nya lagi.
“Yang tidur siapa?” itu adalah suaranya Dave yang entah semenjak kapan sudah ada di sana.
“mengapa isi kulkas kamu kosong? Sekarang kita mau makan apa?” sembur Fiona.
“Kamu lapar?” Dave balik bertanya. Mengacuhkan pertanyaan Fiona barusan.
“Nanya lagi. Ya laparlah. memang kamu kira aku tuh tidak butuh makan?” Fiona menutup kulkas, menatap Dave dengan tatapan kesal. Ingin sekali dia mencekik pria yang sedang berdiri tepat di depannya itu. Namun harus dia tahan.
Seketika
Ting tong!
Bell apartemen berbunyi, menandakan ada yang datang. Dave melengos pergi, mengayun langkah menuju pintu utama.
“Pizzanya pak.” ucap satu suara. Sukses membuat Fiona melongo.
“Ternyata dia pesan makanan via daring? Dan dia tidak ngasih tahu aku sama sekali.” lagi dan lagi, Fiona bicara sendiri.
Dengan langkah cepat, Fiona beranjak pergi dari tempatnya berdiri dan mendapatkan Dave yang sudah duduk nyaman di atas sofa di hadapan layar televisi yang berukuran lebar. Menggantung pada dinding.
“Enak ya makan sendiri?” sindir Fiona, lantas melabuhkan bokongnya di samping Dave.
“Tidak tahu enak apa tidak, karena aku kan belum makan. Tuh lihat. Kotak pizzanya masih belum aku buka.” jawab Dave, sambil menunjukkan kotak pizza yang masih belum tersentuh di atas meja di depannya.
Bukannya tidak mengerti maksud sindiran dari Fiona. Jujur Dave akui, melihat tampang sewot Fiona seperti saat ini adalah salah satu dari bentuk hiburan tersendiri buatnya.
“Dimakan pizzanya.” ucap Dave lagi, menoleh sekilas pada Fiona.
“Udah kenyang!” jawab Fiona singkat. Aslinya malu karena sudah berpikiran jelek tentang Dave.
Kriuk.. Kriuk..
Ternyata perutnya tidak memberikan kerja sama pada Fiona, wajahnya seketika bersemu merah. Menahan rasa malu karena melihat Dave yang sedang mengulum senyum menatapnya.
“Apa liat-liat? memang tidak pernah dengar perut orang bunyi begitu?” tanya Fiona, berusaha menutup rasa malunya.
“Lapar sekali ya kamu?” Dave malah balik bertanya, mengacuhkan tatapan kesal Fiona padanya.
“Kamu pasti budek dadakan ya? Bukannya tadi sudah aku bilang kalau aku tuh udah kenyang.” jawab Fiona. Gengsinya terlalu tinggi untuk diturunkan. Fiona lebih rela menahan lapar sehingga besok daripada harus malu-maluin diri sendiri di hadapan Dave.
“Kenyang dadakan hmm. Enak sekali, semuanya serba dadakan.” gumam Dave.
Seketika
Klik! Duar!!!
“Arrghhh!!”
“Astaga! Fiona.” seru Dave. “Pelan-pelan Fiona. Ini sakit sekali” ucap Dave lagi.