Part 6

1029 Kata
Pagi ini Ben bangun dengan suasana hati yang buruk. Dia baru bisa tidur saat jam empat pagi tadi. Sejak pulang dari mall Ben tidak bisa melupakan perbuatan Angelica. Harga dirinya jatuh, egonya terusik karena perbuatan Angelica. Gadis yang bahkan belum genap delapan belas tahun itu mampu menghancurkan ketenangan yang dia bangun selama ini. Ben berangkat ke kantornya tanpa sarapan. Dia tidak berselera bahkan hanya untuk minum kopi sekalipun. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya hanya berani menunduk saat Ben lewat. Aura yang Ben keluarkan benar-benar membuat nyali mereka ciut. Ben jarang marah, bisa di katakan hampir tidak pernah.  "Om jangan ge-er. Aku bilang aku tertarik bukan berarti jatuh cinta. Kalau di hitung dari satu sampai sepuluh, rasa suka ku berada di angka satu." Ben kembali teringat dengan ucapan Angelica. Ucapan gadis itu membuatnya bertanya-tanya. Benarkah dirinya tidak semenarik itu? Ben berdecak kesal. "Mungkin di mata wanita itu ada yang tidak beres," ucap pelan, lebih ke dirinya sendiri.  Saat tiba di kantornya, Ben langsung memasuki ruangannya tanpa menyapa sekretaris nya. Untuk yang pertama kalinya dia mengacuhkan wanita itu. Wanita yang katanya, sangat dia cintai.  Cintya melihat pintu ruangan Ben yang sudah tertutup. Dia merasa aneh dengan atasannya yang tidak membalas sapaannya. Selama ini, apapun masalah laki-laki itu, dia tidak pernah mengacuhkan Cintya. Tapi, Cintya tidak ambil hati. Mungkin saja atasannya memang lagi ada masalah.  *** Angelica  berjalan keluar dari kelasnya dengan langkah cepat tanpa menghiraukan panggilan dua sahabatnya dari belakang. Hari ini jam sekolah berakhir lebih cepat dari biasanya karena para guru sedang rapat. Tidak lama lagi Angelica dan teman seangkatannya akan melaksanakan ujian ahir. Masa-masa sekolah menengah atas atau disingkatnya SMA akan segera berakhir. Teman-teman yang lain sudah menentukan tempat kuliah mana yang akan mereka tuju. Sementara Angelica, dia begitu santai. Jika dulu dia ngotot ingin kuliah di luar negeri seperti abangnya, dan kini semuanya sudah berubah. Ben adalah tujuannya saat ini.  Angelica memasuki mobil lalu memacunya menuju restoran yang dia datangi kemarin dengan Ben. Memesan makan siang untuk Ben dan akan dia kirimkan ke kantor laki-laki itu. Angelica menuliskan pasan di kertas kecil lalu menyelipkannya di kotak makan tersebut. Angelica kemudian membawa kotak itu lalu kembali memacu mobilnya menuju gedung perkatoran tempat Ben bekerja.  Tidak butuh waktu lama Angelica tiba di depan kantor Ben. Setelah memarkirkan mobilnya, Angelica berjalan dengan santai menenteng paper bag berisi makan siang Ben. Beberapa pegawai yang bbekerja di sana menatapnya dengan dahi berkerut. Mungkin karena dia masih mengenakan seragam sekolahnya.  Angelica menghampiri meja resepsionis. "Permisi," katanya dengan wajah manis yang di buat-buat.  "Iya, Adek mau cari siapa?" tanya salah satu dari dua orang resepsionis yang berjaga.  "Saya mau menitipkan makan siang pesanan Om Ben." Angelica meletakkan makanan itu ke atas meja.  "Eh, keponakannya Pak Ben, iya?" Angelica hanya tersenyum, dia tidak menyangkal maupun mengiyakan.  "Tolong di sampaikan sama Om Ben, iya, Mbak." Setelah mendapat balasan dari kedua orang itu, Angelica memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Butuh waktu satu setengah jam di perjalanan menuju rumah orang tuanya.  "Kamu dari mana, Ca?" tanya Cordelia, sang Mama seraya melirik jam hias yang menggantung di dinding. Wanita paruh baya itu tahu kalau sekolah Angelica berakhir lebih cepat. Harusnya Angelica sudah tiba di rumah setidaknya dua jam yang lalu.  "Caca mampir ke rumah teman tadi, Ma," jawab Angelica berbohong. Cordelia melihat anak perempuannya itu dengan pandangan menyelidik.  "Anggap saja Mama percaya," ucap Cordelia, dia hapal betul bagaimana gelagat putrinya kalau lagi berbohong. Angelica nyengir mendengar perkataan Mamanya.  "Caca ke kamar dulu, Ma. Mau ganti baju." Angelica melesat cepat sebelum mendapat siraman rohani dari Mamanya.  *** "Permisi, Pak. Ada kiriman makan siang dari keponakan Bapak." Cintya membawa makan yang berikan resepsionis tadi. Ben mengerutkan keningnya. Pasalnya Lea tidak pernah sekalipun mengirimkannya makan siang. Kalaupun bocah itu ingin makan, dia pasti datang ke ruangannya.  "Terima kasih, Cintya," ucap Ben pendek. Masih ada waktu sepuluh menit lagi sebelum jam makan siang. Berhubung Ben tidak sarapan tadi pagi dan dia juga sudah lapar, Ben kemudian mengambil paper bag itu lalu duduk di sofa yang berseberangan dengan meja kerjanya.  Ben tersenyum ketika mengenal aroma makanan itu. Makanan kesukaannya. Baru saja Ben ingin mengetikkan pesan untuk Lea namun, urung saat matanya menangkap selembar kertas kecil berwarna merah muda.  Selamat makan, Om. Ngomong-ngomong, Om baik-baik saja, kan? Tidak ada hal buruk yang terjadi kemarin, kan, Om? Aku harap Om Ben baik-baik saja. Terima kasih untuk kencan yang... ya lumayanlah jalan sama orang tua.  Dari Angelica Hadiantara yang menyukai Ben Sadewa 0,01 persen. "Gadis kecil sialan!" maki Ben kesal. Selera makannya langsung hilang setelah membaca pesan Angelica. Dia mengumpulkan semua makan yang sudah dia buka lalu melemparkannya ke tempat sampah.  Ben mengurut keningnya, berusaha mengurai kekesalannya terhadap gadis kecil itu.  "Pak,"  "Apa?!" Ben tanpa sadar berteriak. Dia melampiaskan kemarahannya pada Cintya. Cintya terlonjak kaget.  "Maaf mengganggu Bapak. Di luar ada Pak Nicholas ingin bertemu," kata Cintya dengan kepala menunduk. Dia terlalu kaget dengan kemarahan Ben. Selama ini dia pikir Ben tidak akan meneriakinya seperti saat ini karena pria itu begitu mencintainya.  "Biarkan dia masuk. Dan kamu boleh keluar."  "Aku mendengar teriakan mu dari luar," kata Nicholas lalu duduk meskipun tidak dipersilhkan oleh yang punya ruangan.  "Aku sedang tidak mood. Katakan saja apa tujuanmu," kata Ben pelan. Dia berdiri membelakangi Nicholas.  "Tidak ada hal yang penting. Aku hanya di minta mendatangimu oleh Nyonya Imelda yang terhormat. Katanya dia khawatir karena kamu belum memiliki pasangan hingga sekarang."Mendengar nama Mamanya membuat Ben berbalik dan menatap kakaknya dengan wajah memerah. Sisa-sisa kekesalannya masih terlihat jelas.  "Aku serius, aku sedang tidak mood bercanda, Kak. Sebaiknya kamu pulang, Kak dan katakan pada Mom kalau akan mengunjunginnya nanti." Bukannya pergi Nicholas malah menatap adik laki-lakinya itu dengan tatapan geli.  "Apa ini karena wanita?" tanyanya penasaran. Nicholas tidak pernah melihat Ben dekat dengan perempuan. Satu-satunya wanita yang adiknya itu cintai hanyalah wanita yang duduk di depan ruangan itu. Dan dilihat dari segi manapun, wanita itu bukanlah sumber kekesalan Ben.  Ben hanya mengangkat bahunya membiarkan NIcholas menduga-duga.  "Oh, ayolah Ben. Aku sangat penasaran," desak Nicholas.  Namun Ben tetap diam, dia tidak ingin kakaknya itu penasaran dengan Angelica. Ben tidak ingin melibatkan keluarganya menghadapi gadis kecil itu.  Bersambung... Follow aku di ig emidayani_turnip untuk info update. Supaya kalian tidak bolak balik dan merasa zonk. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN