Seminggu penyelidikan tetap tak mendapatkan hasil.
Siapa dan bagaimana pelaku masih belum ada bayangan apapun.
Kami memulai penyelidikan hanya berdasarkan profiler berikan. Itupun, masih belum menemukan titik temu dari kasus ini.
Mulai dari menyisiri kota dan orang yang terlihat mencurigakan, saksi mata dan ciri-ciri fisiknya dengan mendatangi tempat orang-orang membuat tatto, bahkan menyisiri jasad lagi yang takutnya tertinggal barang bukti atau sidik jari.
Tapi tetap tak ditemukan. Pelaku begitu ketat dan rapi dalam melakukan pekerjaannya. Membuatku hilang akal selama berhari-hari.
"Korban mengalami pendarahan hebat di leher. Melihat sayatannya, pelaku melakukannya dengan rapi dan dalam."
Dokter Hanna - tengah melakukan profiling terhadap pelaku. Terlihat wanita yang menyandang gelar master di ilmu psikolog itu tampak serius mempresentasikannya pada tim gabungan kepolisian Portland.
"Hasil forensik menyatakan, korban awalnya diikat lalu dibunuh menggunakan pisau yang panjangnya kurang lebih sepuluh sampai lima belas sentimeter."
Dengan pisau seperti itu. Sudah jelas pelaku menggunakan pisau buah ataupun pisau tajam berukuran yang sama, monologku.
"Pelaku sesorang yang rapi dan teliti. Ke semua korbannya diikat dan dibungkus dengan cara yang sama. Membakar mayat agar identitas korban tak langsung di ketahui. Menguburnya dengan kedalaman yang cukup meskipun itu sepanjang ukuran tubuh anak-anak."
Hanna mengalihkan pandangannya ke seluruh tim. Seperti menunggu ada yang menyelanya.
"Aku sedikit terusik dengan caranya membuat lubang," sergahku sebelum wanita berkepala tiga itu akan melanjutkan presentasinya.
"Pelaku membuat korbannya menekuk. Sebab itu kemungkinan besar, pelaku menggunakan koper atau -"
"Tidak," potongnya.
Kami semua saling bersitatap sengit.
"Pelaku melakukan itu untuk menunjukkan kekesalannya. Lihat profil para korban. Mereka semua ibu rumah tangga yang memiliki paling tidak satu atau dua anak."
Aku mulai menegang.
"Anak-anak mereka berumur antara delapan sampai sepuluh tahun. Pelaku bisa saja membunuhnya dengan melukai korban di tubuh bagian lain ataupun langsung membakarnya saja hidup-hidup. Tapi tak ia lakukan."
Bobby mengcungkan tangannya, "Maksudmu, pelaku sengaja menganiaya korbannya dulu sebelum dibunuh, benar begitu?"
Hanna tersenyum tipis, "Benar. Untuk memberikan pelajaran dengan menyayat leher korbannya. Perlahan dan stabil. Ku prediksi ia tidak kidal dan memiliki kemampuan membedah ataupun memotong dengan baik. Kita persempit pekerjaannya mungkin seorang dokter bedah atau seorang --"
"--koki."
"Tapi jaman sekarang orang bisa memasak dan memainkan pisau. Tapi untuk sementara, kita bisa fokus mencari profesi pelaku untuk mempersempit pencarian."
Kepalaku kembali berdenyut. Aku segera memberikan berkas yang kami temukan.
"Ini kami dapatkan dari blackbox mobil yang memantulkan cermin parkir di tempat penyekapan Belle waktu itu. Dia pria dengan tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh sentimeter. Berbadan kurus dan berambut hitam. Setelah mencekiknya, ia lantas mengganti plat mobil milik Belle dan membawanya pergi."
Bobby bergegas memutar rekaman cctv.
"Mobil dibawa menuju daerah bukit lalu tak ada lagi kamera pengawas yang merekam mobilnya."
"Dimana mobilnya?" salah satu detektif bertanya padaku.
Kuputar lagi rekaman dan menunjukkan mobil yang rusak masuk ke dalam danau terdekat.
"Hancur dan tak ada jejak yang tertinggal."
"Pria itu.." Hanna bermonolog.
Aku menyelanya lagi, "Ada yang kau pikirkan Hanna?"
Wanita berkaca mata itu mendekati laptopnya dan menampilkan nama-nama yang terdaftar disalah satu rumah sakit.
"Daftar nama pasien pria dan wanita di salah satu rumah sakit traumatis."
Aku mengeryit, "Apa maksudnya?"
Hanna kembali pada layar, "Alasan mengapa ia membuat kuburan berukuran kecil, bukan saja dikarenakan dia lemah atau ketidak sengajaan. Untuk pikiran orang normal mungkin kita akan menguburkan manusia lebih dalam agar tak di ketahui. Tapi dia berbeda. Lubang ini sengaja ia jajarkan papan di dinding tanah, dan menginginkan orang lain menemukannya. Lubang dengan ukuran anak-anak. Pelaku memiliki perasaan yang amat sensitif dengan anak-anak."
Kami semua mengedarkan pandangan lalu menyimpulkan bersama-sama.
"Dia peduli dengan anak setelah orang tua mereka menyakiti perasaan anak itu. Sudah dipastikan, ia memiliki trauma mendalam saat masih kecil. Hingga menyerang sumber masalah yang membuatnya benci dengan semua itu. Yaitu seorang ibu."
"Lalu apa hubungannya dengan rumah sakit konseling?"
"Entahlah. Aku punya feeling tersendiri di tempat itu."
.
.
"Mau ramyeon?"
Bobby menyiapkan sebungkus ramyeon untuk ia masak. Aku sendiri sibuk menyeduh kopi agar mataku tak menutup karena mengantuk.
"Nanti saja. Aku belum lapar."
Bobby bergegas menuju panci berisi air mendidih lalu mulai memasukkan mienya. Memotong daun bawang dengan irisan tomat dan paprika.
Melihatnya menyeduh mie, aku teringat dengan Irene saat menyiapkannya untukku.
Ah.. Aku rindu gadisku.
"Kau tidak pulang ?" tanya Bobby, melihatku yang tengah melamun. Sepertinya dia tahu apa yang aku pikirkan.
"Sebenarnya aku terusik dengan ini, tapi aku tidak bisa menyimpannya begitu lama -"
Bobby tampak serius. Itu membuatku ingin terkekeh melihat ekspresi tegangnya.
"Apa?" godaku.
Bobby selesai mengiris lalu melanjutkan ucapannya.
"Patroli kemarin, aku melihat dia"
Tubuhku berubah tegang.
"Aku melihatnya tengah mabuk dan di papah oleh seorang pria."
Seketika tawa renyahku meledak.
Bobby malah mengerucutkan bibir melihatku.
"Kau ini. Bisa saja mereka rekan kerja yang tengah berpesta bersama. Irene sudah lama mengatakan padaku kalau ia ingin."
"Aku melihat mereka cuma berdua. Pria itu bukanlah pria yang pernah kau kenalkan padaku."
Pikiranku mengabur. Tapi aku tak ingin berpikir yang macam-macam tentang Irene sekarang.
"Apa kau tak berpikir, noona tengah kesepian? Kita terlalu fokus pada kasus dan kau juga mengundurkan tanggal pernikahan kalian."
Bobby jelas menusuk sesuatu yang tak tampak di dalam diriku. Aku langsung berubah cemas mendengar ocehannya itu.
"Apa kau tidak khawatir?"
.
.
.
Aku memang tak pernah mengkhawatirkan Irene saat aku meninggalkannya sendiri seperti sekarang.
Tapi sejak pernikahan kami semakin dekat, aku merasa Irene juga berubah sedikit lebih sensitif.
Aku baru menyadarinya, seminggu ini ia menolak bicara banyak padaku. Ponselnya sering sibuk dan ia juga tak menemuiku di kantor polisi.
Kami tidak melakukan komunikasi yang wajar meskipun awalnya, akulah yang lebih dulu memintanya untuk menungguku menelponnya.
Tapi saat ku telpon, ia justru lebih sering menonaktifkan ponselnya atau bahkan bicara lebih sedikit dari biasanya.
Oh ayolah gadisku.
Aku tahu kau tidak akan mudah berubah pada orang lain hanya dalam waktu seminggu.
Aku melesat langsung menuju apartmentnya.
Menekan password rumahnya dan menemukannya di sana.
Berdiri memandangi lampu-lampu kota sendirian di bawah lampu yang temaram. Aku mendekat dengan mendekapnya dari belakang.
Tubuhnya menegang tapi tak sedikitpun tertarik menoleh ke arahku. Aku mengendus lehernya dan ia balas dengan lenguhan yang aku rindukan.
Ku pererat pelukanku lalu menarik wajahnya agar aku puas menatapnya.
"Charlie --" ucapnya lirih. Irene menurut dan membuka matanya saat akan kucium.
Ia terkejut lalu mendorong tubuhku pelan.
"Mino!!"
Giliranku yang terkejut melihat reaksinya. Aku mendekat dan menatap matanya yang masih membulat sempurna.
Menerangkan bahwa ia tak mengharapkan pelukan serta kecupan ringanku padanya tadi.
"Kau tak menyebut namaku. Siapa Charlie?"
Bel berbunyi dan serempak kami menoleh ke pintu. Aku lebih dulu sampai pada bibir pintu dan mengintip lewat layar intercom.
Aku menggeram tertahan begitu yang datang adalah seorang pria.
Pria dewasa yang membawa piring berisi masakan dengan wine digenggamannya. Datang semringah memanggil nama gadisku.
Hatiku memanas tanpa ada yang menyulutnya.
.
.
.
Bersambung