Kami tak mendapatkan apapun tentang rekaman cctv yang ada di belakang restauran milik Gerald itu. Ini sedikit aneh jika kukatakan mereka tak memasang cctv yang sebenarnya. Bukan hanya pajangan untuk mengelebui orang.
Di kamera tersebut juga ada kabel, hanya saja terputus seperti sengaja dipotong oleh seseorang. Aku yakin kamera itu awalnya menyala, namun kemudian mati entah karena apa.
Dilihat dari posisinya, restauran ini sangat pas sekali jalurnya menuju gedung tempat pembunuhan itu terjadi. Lantas..kenapa mereka tak terlihat saat polisi melakukan olah tkp?
Apa mereka sibuk? Atau tak peduli sama sekali?
"Bobby..kau sudah periksa blackbox pada mobil yang terparkir?"
"Sayangnya saat kejadian, ada mobil box yang biasa mengantarkan daging beku ke restauran itu tak datang. Sampai tengah kejadian itu pun, tak ada mobil yang datang lagi."
"Kau serius?"
Aku masih merasa ganjil dengan hal ini. Restauran ini terletak di beberapa ruko yang masih belum terjual oleh pemiliknya. Beberapa gedung kost kumuh namun juga tak memiliki cctv. Kami pergi ke gedung sebelah tepatnya mungkin ada seseorang yang dapat kami jadikan saksi mata. Namun nyatanya, pemilik kost mengatakan bahwa tempatnya banyak yang kosong. Apalagi posisinya yang menghadap ke belakang, kurang diminati oleh penyewa. Maka yang terlihat penuh hanya kost di bagian depan saja.
Hemm..tempat yang begitu strategis.
Beberapa ruko yang buka pun tak memiliki pantauan ke gedung tersebut. Hanya ada beberapa toko yang buka dan yang sering terpantau ramai tentu saja restoran tersebut.
Sisanya..beberapa blok akan ramai dengan ruko dan toko. Namun ini sangat jauh dari pantauan. Aku harus lekas mencari tahu, karena sesuatu terus saja mengganjal dibenakku.
"Kita kembali dulu."
Aku melihat rambut seseorang yang tengah mengendap-endap di salah satu mobil yang terparkir. Aku mencurigai seseorang tengah mendengarkan pembicaraan kami.
Namun saat aku bisa mendengar ketukan sepatu itu, aku mengurungkan niat untuk menangkap basah dirinya.
Irene..
Itu kau kan?
#
Sesampainya di kantor, aku pikir bisa beristirahat sejenak merenggangkan ototku yang beku. Saat lelah seperti ini, aku jadi ingin makan sup buatan bibi. Sup iganya enak apalagi ditambah dengan tahu pedas.
Humm..aku rasa lapar ini sudah tak sanggup terbendung. Siang nanti aku akan mampir ke restoran Korea untuk mengurangi rasa rinduku dengan tanah nenek moyangku itu.
Tapi sepertinya harus kutunda ketika Mattew - dokter tua yang merangkap sebagai dokter forensik itu datang tergopoh-gopoh padaku. Mattew menyerahkan berkas lalu mengajakku ke ruang investigasi.
Aku membuka map dan lagi-lagi foto mayat mengenaskan harus kulihat di pagi hari menjelang siang ini. Rasa laparku menguap begitu saja begitu kuteliti lagi semua foto-foto hasil olah tkp dan juga hasil autopsi yang dilakukan Mattew.
"Blue Murder lagi?"
Mattew menaikkan alis lalu membuang napas. Dia duduk di kursinya sambil mengerucutkan bibir. Aku jadi khawatir ini kasus lain lagi.
"Bukan. Ini bisa kubilang pola dari seorang peniru."
"Peniru? Are you kidding me?" kesalku. Belum selesai dengan psikopat yang kami namai sebagai Blue Murder itu, kini malah muncul penirunya.
Apa mereka pikir ini lelucon?
"Bagaimana kau tahu? Dan kenapa aku tidak dipanggil ke tkp?"
"Kasus ini berbeda maka dioper ke tim B."
"Oh ayolah kau tahu aku tidak suka cara seperti ini."
"Tanya atasanmu jangan marahi aku," protes Mattew yang tak terima kuprotes.
Aku hanya bisa mengerang pasrah sambil mengacak rambutku kesal. Aku kembali mengamati foto dan memang benar ada yang berbeda dari pola pembunuh membunuh korbannya.
Seperti yang kami tahu bahwa korban Blue Murder RATA-RATA adalah wanita di atas tiga puluh tahun yang memiliki anak. Walaupun untuk kasus Charlotte yang tunawisma ini dilakukan dengan cara brutal, tapi kami mendapatkan pola ini sengaja berubah karena pelaku kesal aksinya mulai terciduk. Atau memang karena dia merasakan emosi lain hingga ia mengganti pola membunuhnya. Walau begitu, pelaku ini tetap meletakkan bunga mawar biru sebagai identitas dan hal ini tidak dimiliki oleh orang yang meniru aksinya itu.
Korban sama-sama di wrapping. Dibunuh dulu baru dibakar. Dan metode membunuhnya juga sama, yaitu ditikam atau lehernya habis mengeluarkan darah karena digorok habis dibagian tersebut.
Karena mayat sudah gosong, maka kami kesulitan untuk mencari identitas namun untuk korban ini, justru pelaku meninggalkan jejak kartu identitas korban. Maka yang ditemukan hari ini adalah seorang remaja yang tercatat telah menghilang dua hari yang lalu.
Mattew juga menambahkan penemuan autopsinya bahwa remaja tersebut mengalami pelecehan seksual dulu sebelum dibunuh. Sudah jelas..ini bukan perbuatan Blue Murder.
Lantas..darimana peniru ini bisa tahu tentang metode pembunuhan Blue Murder?
Apa korbannya acak? Sama seperti Blue Murder lakukan?
"Kira-kira...apa tujuan dari sosiopat ini?" tanya Mattew seolah tengah menguji penyelidikanku ini.
Aku hanya bisa menyimpulkan tentang dendam. Tapi jika dia membunuh lagi..maka dia benar-benar terpengaruh dengan Blue Murder yang melakukan pembunuhan acak demi memuaskan rasa sakit hatinya.
"Aku harus dengar ini dari Hanna dulu. Aku rasa apa yang dia pikirkan sama sepertiku. Dia hanya seorang peniru."
"Jadi kau ingin dia membunuh lagi?"
Aku menghela napas panjang. Duduk bersandar pada kursi roda lalu teringat dengan rumah.
Sayang..kapan pekerjaan ini akan berakhir. Aku mulai khawatir denganmu yang mulai bersikap aneh -- monologku.
#
Hari ini aku diijinkan pulang cepat karena kepalaku rasanya sakit sekali memikirkan kasus ini.
Sebelumnya aku sudah menghubungi Irene dan syukurnya dia ada di rumah. Aku pun berniat memberi kejutan dengan mengendap masuk ke apartemennya dengan cara yang mencurigakan.
Seperti dugaanku, dia dengan berhati-hati membula pintu, namun tak menyadari keberadaanku di belakangnya. Dan saat dia berbalik itu lah..aku mulai mendekapnya.
"MINO!"
"Iya sayang..ada apa?" ucapku tanpa rasa bersalah.
Irene terus melayangkan pukulan manja padaku karena aku berhasil menakutinya. Aku tertawa jahil menerima semuanya. Ciuman sekilas bulu membuatnya tenang. Dan aku tak bisa menahan diri untuk tak melanjutkan ciumanku hingga kubawa dia ke meja makan penuh dengan hidangan makan malam.
Perutku ternyata langsung meronta minta untuk diisi hingga kutinggalkan aktifitas nafsu birahiku itu.
"Wow..kau memasak?"
"Tentu. Hari ini menunya sangat spesial."
"Humm. Apa hari ini ulang tahunku?" tanyaku sambil tak sabar untuk menyicipi kimbab buatannya itu.
Irene menepuk tanganku yang hampir benar-benar menyentuh makanannya.
"Cuci tanganmu dulu -"
Aku mencebik kesal. Pasalnya aku sudah mengeluarkan air liur melihat seisi meja penuh dengan makanan tanah ibuku, "Arasseo arasseo."
"Huh? Apa itu?" tanya Irene tak mengerti. Aku berlalu saja sambil membawa handuk. Berlari kecil menuju kamar mandi.
"Baiklah. Itu artinya," jawabku yang kemudian masuk ke kamar mandi dengan semringah.
"Hei..kenapa melamun? Ayo makan," ajakku yang bahkan sudah menyantap setengah dari telur dadar.
"Makanlah yang banyak. Kau pasti butuh banyak energi."
"Kalau aku tahu kau membuat masakan ini, aku ajak Bobby untuk makan sekali."
"Bobby? Ah..sudah lama kita tidak menjamunya. Apa dia sibuk?"
Aku mengangguk dengan mulut penuh. Irene yang pengertian itu memberikanku segelas air dan memintaku untuk makan pelan-pelan saja.
"Kami semua sibuk. Dia juga sibuk pacaran selama ini."
"Oh ya? Siapa pacarnya?"
"Dia janda beranak satu. Humm seleranya tidak masuk akal."
Dengan cepat Irene menendang kakiku Sepertinya dia kesal dengan ocehanku ini.
"Sepertinya Bobby serius dengan wanita itu? Bagaimana orangnya?" tanya Irene penasaran.
"Hum yah. Dia sangat menggilainya. Tapi aku tak tahu orangnya seperti apa."
Makanan habis tanpa tersisa. Kami akhiri makan malam ini dan aku sudah sangat begah hingga tak sanggup beranjak. Irene tersenyum tipis saja sambil melanjutkan pekerjaannya yaitu mencuci piring.
Hening sebentar hingga aku memanggilnya. Aku masih menyimpan rasa penasaran mengapa ia menghindariku di parkiran mobil.
"Sayang -"
"Hum?" jawabnya sambil tetap melanjutkan untuk mencuci piring.
"Tadi aku pergi ke restauran sepupumu itu --" tanyaku to the point. Irene diam saja tanpa menoleh ke arahku.
"-- aku melihatmu bersembunyi. Apa kau menghindariku?"
Irene masih diam. Aku tak peduli dan masih melanjutkan pertanyaanku.
"Apa kau ke sana untuk menemui pria itu?"
.
.
bersambung