Hari ini aku memutuskan untuk tak pergi ke PMO. Sudah jelas Dara ada di sana dan dia mungkin akan merasa canggung.
Ah...harusnya aku tak bersikap kasar dengannya. Kalau dia menghindar, ini sedikit lebih merepotkan. Kuputuskan untuk mampir dulu ke resto sebelum menemui seseorang. Begitu sampai di sana, aku terkejut melihat Jose tengah berbincang dengan seorang gadis.
Gadis itu tak lain adalah tetanggaku atau mungkin lebih tepatnya rekan kerjaku. Kenapa..dunia ini begitu sempit.
"Hei Gee. Maaf aku keasyikan ngobrol -" ujar Jose sekenanya.
Gadis bermata ruby itu menoleh sambil melebarkan bola matanya. Tentu ia tak menyangka dengan pertemuan ini.
"Gerald?"
"Hai, nona Hill."
"Kalian saling kenal?" tanya Jose juga ikut terperangah. Irene menjelaskan lagi kalau kami adalah rekan bisnis.
Jose tergelak tak percaya, "Astaga. Kita hidup di dunia yang sempit. Kau tahu Gee kami ternyata sepupu jauh. Aku tak menyangka bisa bertemu dia di sini."
"Oh ya?"
"Jose cucu dari adik nenekku. Kami sudah lama tak bertemu. Terakhir kali kami bersama saat ulang tahun nenekku di Manhattan," ungkap Irene juga tak kalah seru.
Aku mencoba untuk menjadi pendengar yang baik. Walaupun akhirnya aku tetap tak peduli dengan segala takdir Tuhan mempertemukan kalian berdua.
Saat mereka asik berbincang, aku tak sengaja melirik bandul mawar biru yang tersemat di kalung Irene. Seketika, bayangan gadis kecil melintas diingatanku. Aku tak sengaja sudah meraih bandul itu hingga Irene menatapku bingung. Mata kami saling bersinggungan hingga aku bisa mendengar salivanya tertelan dengan susah payah.
Lalu Jose menyadarkanku.
"Gee?"
"Darimana kau dapatkan bandul itu?" tanyaku pada Irene yang masih tertegun.
"Dari seseorang. Tapi maaf aku tak bisa mengatakannya padamu."
Aku menarik diri. Lebih tepatnya menahan malu karena Irene menolak memberitahukanku. Jose mulai menerima pesanan dan aku juga bersiap untuk menyiapkan sisanya. Tinggal aku dengan Irene yang berada di bar sambil mengamati pengunjung datang.
Restauran ini kubuka dengan tema semi terbuka. Untuk yang ingin minum ataupun hanya sekedar mampir, bisa menikmati meja di depan batender. Akan ada berderet pengunjung yang ingin merasakan duduk sendiri sambil ditemani segelas bir ataupun wisky.
Sedangkan meja tengah diperuntukkan untuk orang yang bekerja maupun menyukai kesan santai sambil berselancar di dunia maya. Kami membuatnya terpisah dengan pengunjung yang ingin menikmati duduk santai bersama keluarga. Sehingga suara bising dari luar tidak akan sampai di meja pengunjung yang ingin kesendirian.
Lalu aku penasaran dengan Irene yang memilih duduk di depan bar. Apa dia sedang ingin menyendiri?
"Sudah berapa lama kau mengenakan kalung itu?" tanyaku lagi. Irene masih enggan untuk menjawab jujur. Namun karena kudesak, ia akhirnya menjawab.
"Lama sekali. Tapi aku tak ingat kapan aku mengenakannya pertama kali."
"Jadi kaupun tak tahu siapa yang memberikannya?"
"Aku ingat wajahnya. Aku tidak akan lupa."
"Wajah? Dia pasti orang yang sangat berharga bagimu," terkaku. Irene terdiam lagi sambil memutar bibir gelasnya.
"Maybe -"
Deringan ponsel mengakhiri obrolan kami. Irene memilih menjauhkan diri sambil menekan tombol panggilan.
Aku tak bisa menebak apa yang tengah ia bicarakan, tapi dari caranya bicara...ada rasa kesal dan marah di sana. Namun ia pendam sendiri.
"Maaf Gee. Aku harus ke suatu tempat."
"It's oke. Kapan saja kau ingin ceritakan sesuatu, datang saja kemari," balasku mencoba mencari perhatiannya.
Irene tersenyum tipis. Dengan mata teduhnya yang menghipnotis. Sekelabt bayangan gadis kecil kembali melintas. Dan aku mulai merasakan gugup yang teramat sangat.
Saat Irene melambaikan tangan dan beranjak, mataku beralih pada pintu depan. Di sana berdiri seorang wanita dengan rambut yang terjuntai menutupi wajahnya. Tanp alas kaki dan dengan pakaian compang-camping, wanita itu datang dengan pisau yang tergenggam di tangannya.
Aku menutup mulutku rapat-rapat kala mengenal siapa wanita itu.
"Gee..aku siap dengan steak...hei, whats up?"
Jose mencoba menenangkanku tapi itu tak membuat gemetarku menghilang. Kepalaku juga ikut pusing karena aku terus merasakan perutku mual. Aku memilih berjalan menuju dapur dan keluar dari sana.
Dan saat aku tengah menikmati kesendirian, aku lihat seorang ibu muda tengah mendikte anaknya. Sepertinya mereka tuna wisma dan dia memukuli sang anak karena tak dapat memberinya cukup uang.
Aku menggeram sambil mengeluarkan pisau kesayanganku. Aku mendekati wanita berkulit hitam itu sambil mengumpat kesal.
#
Tak butuh waktu lama untuk menghabisi Charlotte. Wanita gemuk itu cukup kewalahan dengan pisau dan kaki yang berhasil kupatahkan.
Tanpa curiga ia mengikutiku masuk ke dalam basement kosong di sebuah gedung terbengkalai. Ia semringah setelah kuberikan sejumlah uang. Dan saat dia lengah, aku menekan lehernya lalu menancapkan pisau bedahku ke arterinya.
Awalnya cukup sulit karena lehernya yang berlipat itu menyulitkanku untuk mencapai nadinya. Saat ia tengah heboh mencari pertolongan, aku menikam belakang lututnya lalu menggoresnya segera.
Bagian tubuh manusia memiliki tempat paling potensial untuk cepat mati. Dan bagian-bagian yang kuserang adalah salah satunya. Charlotte mulai terseok-seok. Darahnya terus mengalir deras. Aku segera menutup wajahnya dengan plastik lalu mematahkan tangannya agar tak menyerangku balik. Kuikat dia dengan plastik lock yang sudah kusiapkan dalam mobil. Dan karena dia masih hidup lagi, aku langsung tancapkan berulang kali pisau bedahku pada lehernya.
Terus menerus hingga bayangan wanita yang sejak tadi mengikutiku menghilang.
Selesai.
Kepalaku tak lagi pusing dibuatnya. Aku menggeram sambil memanggil nama ibuku.
"KAU PUAS? ENYAH KAU!"
Kusambung lagi dengan menikam ke bagian lain dari tubuh gempal Charlotte. Sambil membayangkan saat ibu mulai mengiris pahaku.
Keluar dari kamar mandi, ibu sibuk mencari obatnya. Ayah tiriku sudah meninggalkannya selama sebulan lebih. Ibu terus menjadi-jadi. Tak puas menenggelamkanku dalam bak mandi, Ibu lantas memintaku untuk mencari ayah. Tapi tanpa pikir panjang aku terus mengatakan tak tahu harus cari kemana.
Ibuku marah. Ia lalu mengambil ikat pinggang milik ayah tiriku lantas melibasku. Membuatku lemas dan memilih untuk kabur. Saat aku kabur, kulihat seorang ibu dengan anaknya memperhatikanku dengan seksama.
Aku mencoba meminta pertolongan padanya namun ibu itu memilih pergi menjauh. Dan saat aku menoleh ke belakang, ibuku sudah menemukanku dengan sebilah pisau di tangannya.
"Ibu..ayah sudah ditangkap bu. Ampuni aku bu -"
Ibu langsung menghiraukanku. Ia melibasku terus menerus tanpa ampun. Namun tak lama suara sirine mendekat. Ibu menghentikan aksinya lalu mengintip keluar. Wajahnya pucat. Apalagi saat seseorang mengetuk kencang pintu rumah kami.
"Permisi. Kami ingin bertemu dengan Sarah Cartner."
Itu nama ibuku. Dia langsung menginterupsi lewat jarinya agar aku diam. Aku cemas hingga ingin teriak rasanya. Tapi melihat ibu mengancamku, membuatku mengurungkan niat untuk berteriak.
Ibu membuka pintu lalu bersinggungan dengan opsir tersebut. Mereka saling meneliti dengan seksama hingga banyak pertanyaan yang terlontarkan dari opsir tersebut.
"Maaf. Kami mendapat laporan, boleh kami masuk?"
"Laporan apa?"
Ibu menggeram. Dia sangat marah. Tanpa pikir panjang, opsir lantas membuka paksa pintu dan mendapatiku meringkuk di sebelah ibu. Dengan lebam yang masih baru tentulah opsir itu segera mengamankanku.
Ibu meronta tak ingin masuk ke dalam mobil polisi. Lalu untuk pertama kalinya, aku bisa tersenyum lega melihat orang lain. Terutama ibu dan anak yang menyelamatkanku itu.
.
.
bersambung