She is Irene ( POV )

1030 Kata
"Yang kuhadapi ini benar-benar k*****t gila," ujar Mino terdengar frustasi. Lalu tanpa basa-basi aku menyela ucapannya, "Lalu..karena itu kau ingin mengatakan untuk menunda pernikahan?" Aku memahaminya. Sungguh. Tapi aku tak tahu kenapa begitu kecewa. Aku coba dengan tegar menyimpulkan hal itu dan tak ingin mempersulit kasusnya. Tapi tetap saja, relung hatiku merasakan kesedihan. Entahlah. Apa aku tidak ikhlas dengan semua ini? "Maafkan aku," balasnya. "Tidak apa. Pekerjaanmu jauh lebih penting. Jangan merasa bersalah." "Aku akan secepatnya menyelesaikan ini." Kututup teleponnya setelah mengatakan - ya. Tak ada lagi penjelasan lebih lanjut darinya, akupun beranjak kembali ke pesta outdoor Peaceminusone ini. Aku jadi teringat tentang party nanti malam. Apakah aku harus ikut? # Gaun merah seatas lutut, tersemat sudah di tubuhku. Gaun ini milik Alice. Dia langsung mengejekku karena mengenakan celana panjang dengan cardigan saat menjemputnya tadi. Baju itu lantas tertanggalkan, diganti olehnya dengan gaun yang super seksi ini. Menampilkan punggungku dengan rambut yang ia suruh terurai pula. Alice sendiri cukup wah dengan gaun yang juga sama seksinya berwarna perak dengan manik berkilau. Aku heran. Darimana dia dapatkan baju-baju seperti ini? "Are you ready?" "Maybe," jawabku bingung. Karena aku mulai merasa tak nyaman saat beberapa mata tertuju padaku. Mereka menyewa sebuah bar VIP di lantai atas. Ramai sekali para pengunjung yang dapat dibedakan dari kelasnya. Kelas yang pertama kali masuk sepertiku. Kelas yang setengah menengah, middle top hingga yang paling sering menjajaki tempat ini. Semuanya ada. Musik berdentum begitu kerasnya. Bahkan terasa jantungku lah yang musik tersebut. Kami menaiki tangga naik ke lantai atas dan bertemu dengan yang lain. Aku terkejut dengan penampilan mereka yang bahkan tampil jauh lebih modis. Apalagi Gerald yang duduk menyepi di sudut sofa. Pria itu tampak berbeda. Rambutnya ia biarkan terarah ke belakang. Menampakkan jidat lebarnya dengan alis yang tajam. Mengenakan kaos longgar dengan celana jeans kurang ketat serta beberapa ornamen sebagai pemanis. Sial! Dia begitu tampak biasa-biasa saja, tapi entah kenapa menarik perhatian. Apalagi saat dia diam dengan tatapan tajamnya itu. "Oh kalian sudah sampai!" teriak Dara menyambut kami. Gadis itu juga tak kalah seksinya dalam balutan mini skirt dengan atasan yang terbuka. Mungkin dia tengah mengenakan wig maka rambutnya tampak pendek sebahu. Dia juga benar-benar berbeda. Alice langsung bergoyang mengikuti irama setelah diajak Dara masuk. Sedangkan aku, memilih untuk duduk di sofa sambil membuka sekaleng bir agar tak terlalu kaku. Aku kesulitan membuka penutup kaleng hingga sebuah tangan meraih kaleng itu. Gee menawarkan diri untuk membuka kaleng tanpa mengatakan apapun. "Thanks." "Pertama kali?" Mungkin maksudnya menanyakan kedatanganku ke sini. "Yeah. Apa terlihat kentara?" tanyaku balik. Gee hanya nyengir tipis sambil menyerahkan jaket kulitnya padaku. Ternyata dia tahu apa yang membuatku tak nyaman sejak tadi. Yaitu gaunku yang memiliki belahan d**a yang terlalu terbuka. "Gaun ini tidak cocok untukmu," ungkapnya. Aku tergelak karena dinilai oleh seorang fashionable sepertinya. "Maaf." "But...not bad lah." Suasana yang tadinya kupikir akan canggung ternyata berjalan tak seperti itu. Semua hanyut dalam musik sedangkan hanyut dengan pikiranku sendiri. Apalagi Gerald yang kupikir sedikit irit bicara, ternyata tak demikian. Ia banyak mengajarkanku tentang fashion dan bahkan mengajarkanku beberapa istilah mode. Dan yang menarik sekarang, ia mengajarkanku cara menikmati musik. "Ayolah. Kau cukup goyangkan sedikit pinggulmu." "No. Aku tidak bisa menari -" Gee memaksa. Ia menarik tanganku dan aku mulai berhadapan dengannya. Pertama aku diminta untuk mendengar ketukan lagunya. Goyangkan kepala seperti mengangguk lalu mulai dengan telunjuk tangan mengarahkan ketukan musiknya. Setelah kudapatkan hal itu, perlahan bahuku mulai bergerak. Aku mengikuti semua instruksi dari Gee hingga tanpa sadar aku sudah mengikuti gerakannya. Bergoyang dan menari. Memejamkan mata sambil menikmati atsmorfirnya. Perlahan Gee melepasku. Kali ini dengan gerakan yang lebih berirama lagi. Dia menari di belakangku sambil mengarahkan tangannya yang awalnya di pundakku lalu turun ke pinggangku. Anehnya, aku sama sekali tak terganggu dengan hal itu. Hingga aku bisa merasakan gesekan dadanya di tulang punggungku. Kami menari begitu dekat lalu dalam sekali putaran, aku berbalik dan mendapati wajahnya yang dekat. Menatapku tajam seolah ingin menerkamku. Aku terkesiap lalu sadar dengan semuanya. Aku tersadar hingga memikirkan Mino di wajah Gee. Aku tertunduk malu dengan perbuatanku sendiri. Harusnya aku tak seperti ini. "Maaf. Aku permisi ke toilet sebentar," ucapku yang tanpa persetujuan Gee, aku meninggalkannya yang juga tengah terpaku. Kubasuh sedikit wajahku, agar tak terlalu kentata begitu tertekan. Entah kenapa, bayangan Mino selalu muncul setiap kali aku memandangi Gerald. Aku datang kemari pun tak memberitahukannya. Dan setelah melakukan itu, aku menjadi seperti pengkhianat. Tak ingin rasa bersalah ini tersulut lebih lama, aku memilih meneleponnya untuk memberitahukan keberadaanku. Namun sampai panggilan kelima, Mino tak kunjung mengangkatnya. Mungkin dia sibuk hingga tak sempat mengangkat panggilanku. Aku mulai merasa pusing dan teringin keluar dari tempat ini. Dan begitu aku keluar dari toilet, aku terkejut melihat Gerald yang bersandar di dinding sambil menungguku. "Mau kuantar pulang?" Entah bagaimana, dia tahu sekali apa keinginanku. Apa aku harus menolak ajakannya? "Kau tidak mau menikmati pestanya?" "Aku sudah bosan. Jadi ingin keluar menghirup udara segar." Tanpa pikir panjang aku menerima ajakannya. Kami keluar dari bar lalu menyeruak jauh dari kerumunan orang yang mengantri untuk masuk ke dalam. Aku tertawa sendiri melihat diriku yang tak betah di sana. Padahal ada puluhan orang lain yang berebut ingin masuk. "Maaf aku terlalu naif." "Hanya tak biasa, santai saja" ujarnya yang langsung menyalakan alarm mobilnya yang merujuk ke lamborghini hitam yang terparkir tak jauh dari bar. Wah..apa dia tak takut mobilnya dicuri dengan parkir di tempat seperti ini? "Udaranya dingin kan? Aku harus menutupnya-" tunjuknya pada atap mobil. Aku mengiyakan karena ini mobilnya. Seharusnya dia tak perlu ijinku untuk melakukan itu. "Bagaimana dengan Dara? Dia pasti mencarimu?" "Kami berangkat terpisah. Dia sejak tadi tak memperdulikanku." "Kalian bertengkar?" selidikku. Gerals malah tertawa garing. "Hanya salah paham," ujarnya. Mobil mewah ini mulai melaju sedang ke jalanan kota. Meski tengah malam setiap sudutnya masih banyak yang berlalu lalang menikmati udara malam. Aku terhanyut hingga tak sadar telah melamun lagi. Memandangi lampu jalanan dan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke apartmen. Dan jika tadi aku menolak ajakan Gee, mungkin aku akan pulang hingga terlalu larut. "Kau tak apa-apa?" Aku menoleh. Mendapati Gee yang tampak tengah serius menyetir mobil. Aku tak memberi jawaban langsung padanya namun ia bisa menebaknya lagi. "Sepertinya tidak." "Pernikahan kami terpaksa diundur," ucapku akhirnya. Seperti tak bisa menahan diri untuk tak bercerita. Gerald tak menanggapi apapun. Dia menarik tuas dan menekan pedal gas setelah lampu merah menghilang. "Mau ke suatu tempat? Aku jamin ini lebih mengasyikkan daripada bar tadi." "Really? Kemana?" Tanpa menunggu persetujuanku, Gerald membawaku pergi. Menyeruak lalu lintas yang padat ke ujung kota ini. . . Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN