Kesalahan

741 Kata
Mentari pagi ini tak cukup menghangatkanku. Maka kubopong Dara yang masih menempel padaku ke pantry. Gadis itu terus menggeliat ketika kuhentikan hentakkanku pada miliknya. Dia mendamba. Tentu saja. Aku tak pernah mengecewakannya. Aku bertaruh ia takkan pernah merasakan sentuhan pria lain selain diriku. Ah..aku baru ingat. Bahkan keperawanannta ia berikan padaku. "Kenapa berhenti?" Engahnya. Dara benar-benar naked. Aku suka. Lipatan lehernya membuatku terbuai untuk mengirisnya tapi masih bisa kutahan. Karena aku masih membutuhkannya. Aku tak ingin terburu-buru untuk melenyapkannya. Cukup lewat intruksi mataku yang turun ke bawah, Dara langsung berjongkok dan menjilat milikku rakus. Cukup untuk membuatku menggelinjang aku lantas mengeluarkan milikku. Aku menunjukknya untuk naik ke atas meja makan dan dia menurut. Kuikat kedua tangannya kebelakang dan gadis itu memunggungiku. Kuletakkan kepalanya di atas meja lalu kuikat lehernya dengan ikat pinggangku. Dara terkesiap namun tak sanggup meronta. Kini ia persis seperti anjing betina yang menggongong. Aku menahan tawa melihat ekspresinya. "Aaapa ini Gee?" Wajah ketakutannya amat menggelikan sekaligus menghibur. Apalagi saat kutarik rambutnya lalu kusiramkan wine ke sana. Sungguh..seperti darah yang mengalir. Aku mulai berfantasi yang lain tapi sepertinya dering telepon milik Dara tak memberikan restu. Ah ya..hari ini dia punya banyak janji. Baiklah..kuakhiri sampai di sini saja. Kuakhiri dengan memberikan kenikmatan yang sejak tadi ia dambakan. # "Masih marah?" tanyaku pada Dara yang kini telah selesai membersihkan diri. Bekas jeratan ikat pinggang itu membekas di lehernya. Sejak tadi ia terus berusaha menutupinya. Kali ini berhasil dengan mengenakan syal di sana. "Kau tidak bilang dari awal ingin lakukan itu." "Aku ingin sensasi yang berbeda." "Ck. Harusnya bilang padaku mau atau tidak -" Ucapannya sukses membuatku berang. Kutarik rambutnya hingga ia berhenti dan mendongak kaget. Tatapan sinisku mungkin sudah menjelaskan semuanya bahwa aku tak suka penolakan. Dara mendelik dan aku menyeringai puas melihatnya ketakutan. Paling tidak untuk pertama kalinya di hadapannya. "Aku tidak butuh bantahan. Sekarang pergilah." Dara tak berani lagi menatapku dan ia pun berlalu cepat. Pemandangan yang bagus hari ini terusik oleh sesuatu. Aku baru menyadari apa yang dimaksud bertentangga oleh Irene. Gadis yang menjadi sponsor kami berdiri sambil melambaikan tangannya pada seorang pria. Aku mengamati mereka sesaat sebelum akhirnya beranjak. Namun pikiranku terusik dan aku berbalik lagi melihat apartemen itu. Terlihat kini Irene melambaikan tangan padaku ramah. Aku tak suka senyum ramah itu. Aku tak suka caranya mencoba mengakrabkan diri. Entahlah. Itu bentuk pertahanan diriku. Jika terlalu dekat dengan orang lain maka aku akan sulit untuk beraksi. Pagi ini fokusku hilang hanya karena hal sekecil itu. Kulangkahkan kaki menuju parkiran dan tergelitik dengan sebuah pertengkaran kecil. Seorang wanita muda yang sepertinya hendak berangkat kerja dan dikucilkan oleh seorang anak perempuan. Gadis kecil itu merengek untuk dibelikan tas baru namun wanita itu tak mampu untuk memberikannya. Sekelebat, aku ingat akan peristiwa yang sama. Yang pernah membuatku nyaris kehilangan nyawa hanya karena aku meminta sebuah kotak pencil baru. Ibuku terkapar lemas di kursi makan. Wajahnya dan pakaiannya lusuh. Banyak jarum suntik dan botol hisap berserakan di meja. Dari hidung ibu mengeluarkan banyak darah. Tapi ia tak peduli dan tetap menyuntikkan zat berbahaya itu ke lengannya. Aku yang bodoh ini malah menghampirinya untuk meminta sesuatu yang kuanggap sepele. "Bu..kotak pencil ini sudah buruk. Boleh aku minta uanh untuk membeli yang baru?" Ibuku diam saja. Ia memukul kepalaku untuk menjauhinya. Tapi karena pukulan itu pelan, aku pikir ibu masih bisa kubujuk. Tapi ternyata aku salah. Itulah awal mula aku mendapatkan mimpi buruk. Ayah tiriku menjauhkanku dari ibu. Lelaki kasar itu memaksa ibu yang sudah setengah sadar itu untuk melayaninya. Ibu menolak hingga tamparan demi tamparan pun harus ia terima juga. Mereka bercinta dengan menjijikkan. Di depan anak kecil sepertiku apalagi menyisakan bayangan wajah buruk ayah tiriku. Tak terima karena kupelototi, ayah tiriku menamparku lantas membawaku ke kamar mandi. Menguncikuku lalu pergi melanjutkan aktifitasnya walaupun ibu sudah berteriak histeris. Tak lama..pintu kamar mandi terbuka. Aku melihat ibu yang tak butuh waktu lama untuk melampiaskan kekesalannya padaku. Dalam bak penuh air itu, ibu menenggelamkanku tanpa ampun. Aku tak mengerti kenapa ibu melakukan itu padaku. Namun sejak hari itu ibu semakin menggila. Apalagi ketika ia ditinggal oleh ayah tiriku yang tertangkap polisi beberapa hari kemudian. Aku menghela napas panjang, lalu kembali pada realita. Kuhampiri perempuan dan anak kecil itu dengan beberapa lembar uang. Mata cokelat gadis itu membulat kala aku mengatakan pada ibunya kalau belikan apa yang dia pinta. Dan sang ibu ikut senang karena menerima uang yang kuberikan tak seberapa itu. "Belikan apa yang dia mau. Jangan mengecewakannya." Ibu itu tampak bersuka cita lalu mengucap banyak kali terima kasih padaku. Tak lama, mereka pergi meninggalkanku dengan perasaan tak menentu. Seandainya, ibuku dulu lebih peduli padaku. Apa sekarang aku menjadi manusia normal seperti yang lain?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN