BABAK PAPAT (4)

1002 Kata
    Si Bule telah merencanakan sesuatu yang keji untuk mengerjai si Udik, gue setuju saja.  Gue juga ingin memberi pelajaran pada makhluk hina dina ini.  Biar tahu rasa, dia.  Biar jera mendekati gue.      Jadi Bule sudah menyewa tukang pukul untuk mengerjai Udik.  Dan seperti biasanya gue dijadikan umpan untuk memancing Udik keluar.  Itu rencana kami.      Tentu saja gue tak menceritakan hal ini pada Lola sohib gue, bisa diomelin gue.  Lola orang baik, tak mungkin dia menyetujui rencana iblis seperti ini.  Maka, ketika gue bermanis sedikit pada si Udik, dia mengerutkan dahinya.      "Hei Udin." Gue menyapa dulu si Udik hingga sukses membuat heran Udik dan Lola.      "Yaoloh mimpi opo aku semalam sampek mbak Pini nyopo dhisik!  Mari kesambet tah, Mbak?" tanya Udin heran.      Gue menahan diri mendengar komentar norak Udik.  Oke, gue rasa gue pantas mendapat piala oskar.  Bukannya kesal, gue malah tersenyum manis pada makhluk hina dina ini.       "Kesambet apaan, sih Din? gue cuma baru nyadar lo itu orangnya baek ya."  Gue mulai merayunya.     "Syukur mbak pean wes sadar.  Bahagia atiku iki Mbak."      "Udin, ntar malam lo mau anterin gue?  Gue mau cari kado buat bokap."       Si Udik membelalakkan matanya, seakan tak percaya mendengar permintaan gue.   "Mbak Pini serius? Minta aku anter pean golek1 kado?"      1 Cari       "Iyalah.  Lo kan temen gue yang paling tahu and kenal bokap."      "Tunangan Mbak. Boten konco2." Dia membenarkan dengan gaya norak.      2 Bukan teman       "Serah lo deh.  Mau gak? Kalau gak mau gue cari cowok lain buat nemenin gue deh," gertak gue kesal.     "Yaoloh Mbak. Ojo ngambeg poo." Dengan sok akrab, Udik menjawil lengan gue. Ih, jijay.       "Pastilah aku mau Mbak, kanggo tunanganku apa wae manut Mbak3."       3 Buat tunanganku apa saja nurut Mbak       Niat Udik ingin beromantis ria, tapi buat gue itu jayus sekali.  Kampungan. Norak.  Uh, liat saja, Udik, setelah malam ini lo bakal kapok mendekati gue lagi!             ==== (*~*) ====          Malam yang gelap dan sepi, suasana ini mendukung rencana gue dan Bule. Sengaja gue mengajak si Udik berjalan melewati lorong yang gelap dan sepi.      "Medeni ngene Mbak. Laopo toh lewat jalan iki?4" Udik berjalan di samping gue sambil melihat sekeliling.       4 Nakutin gini Mbak. Ngapain toh lewat jalan ini?      "Lah gimana, mobil gue mogok kehabisan bensin. Jalan bentar aja kenapa, mall nya udah gak jauh dari sini kok."      Gue ikut melihat sekeliling kami, kemana preman suruhan si Bule?  Kok belum tampak batang hidungnya?      "Lo takut Din? Cemen lo!"       Mendengar cemooh gue, Si Udik berjingkat dan menjawil lengan gue sok akrab.      "Aku ora takut Mbak.  Cuma ono tunanganku iki yang bikin aku khawatir, ngono lho mbak."       Akhirnya gue melihat preman~preman itu muncul di depan gue.      "Kenapa kalian terlambat?" tegur gue pada preman~preman itu.  Mereka menatap gue dengan heran.  Dasar otak kebo semua!       "Lho mbak Pini kenal mas~mas serem iki toh?" tanya Udik bingung.       "Sure, kan gue yang suruh mereka datang kemari untuk kasih lo pelajaran."      "Lho mas~mas serem iki guru les toh?" Si Udik berlagak pilon.       "Guru les pala lo!!  Mereka ini kemari mau ngerjain lo! Mau kasih peringatan lo supaya gak ganggu hidup gue lagi,ngerti lo!"       Gue tertawa keji, Udik menatap gue seakan tak percaya.      "Serang dia!" perintah gue pada para preman itu.          Mereka mulai mengepung Udik.  Bukannya  ketakutan, si Udik justru  terlihat santai menghadapi mereka.  Ia selalu bisa menghindari mereka namun juga tak balas memukul.  Mengapa dia seperti main~main saja?  Gue tak sabar melihatnya, lalu gue protes pada pimpinannya yang berdiri di samping gue.       "Lo bagaimana sih memilih anak buah? Tak becus begitu!! Masa menghadapi satu orang saja tak bisa?!" omel gue sambil menuding kepala preman itu.      Mendadak pimpinan preman itu mencengkeram tangan gue dengan kencang.       "Kapan kita pernah transaksi, Perempuan? Berani~beraninya kamu memperbudak kami!  Kami kemari karena ingin merampok dan memperkosamu juga!"      s**t!  Ternyata mereka bukan suruhan si Bule!  Gue mulai panik saat menyadari posisi gue yang kini terancam bahaya.  Preman itu mendekati gue dengan tatapan penuh nafsu.  Tanpa pikir panjang gue segera melarikan diri.  Namun preman itu mengejar gue dan dalam waktu singkat dia berhasil menangkap gue!      Gue menjerit ketakutan ketika dia memondong gue seperti membawa karung beras.      "Lepasin b******n! Lepasin!" Teriakan gue sama sekali tak digubris b******n itu.      Ia melempar tubuh gue hingga jatuh di tumpukan jerami.  Matanya dengan rakus melihat tubuh gue seakan ingin menelan bulat~bulat.      "Mau apa lo? Awas kalau.."      SRETTTTT! ia merobek baju atasan gue dengan kasar.  Gue berteriak histeris sambil menutup d**a gue! Oh Tuhan, apakah ini karma?  Gue berencana mengerjai orang tapi kini malah gue yang terancam bahaya.      "Lepaskan!!!" terdengar suara penuh amarah.      Udin menatap preman di depan gue dengan wajah dingin, matanya berkilat penuh amarah.  Betulkah itu Udik?   Gue seakan tak mengenalinya lagi.      Selanjutnya gue seakan menyaksikan adegan dalam film action.  Si Udik menghajar preman itu habis~habisan sementara gue hanya diam terpaku menatap pertarungan itu.           ===== (*~*) ====       Udin mengantar gue pulang dan dia yang menyetir mobil gue.  Banyak hal tak terduga yang gue lihat dalam dirinya.  Malam ini gue seperti tak mengenalinya.  Lihat aja caranya nyetir, dia terlihat tak canggung sama sekali.  Seperti sudah terbiasa melakukannya.  Dan kemana sikapnya yang norak dan kampungan itu?  Dia menatap jalanan dengan serius dan sikapnya begitu dingin.          Lalu cara dia menghajar preman~preman itu terlihat sangat heroik.  Tak terkesan norak sama sekali.  Meski bajunya kampungan sikapnya tadi tak menunjukkan hal yang sama. Bahkan dia dengan gentle meminjamkan jaketnya untuk menutup atasan gue yang telah sobek.      Apakah ini Udik??  Tak sadar gue menatap dia terus dan gue menyadari satu hal. Dia ganteng.  Dibalik dandanannya yang super norak itu tersimpan wajah yang rupawan!       Mengapa selama ini gue tidak menyadarinya?       Dia .. ganteng tapi udik!       "Kenapa kamu melakukan itu?" Tiba~tiba dia bertanya dengan nada dingin .     Gue speechless.  Gue merasa bersalah.  Awalnya gue berniat menyelakainya, justru kini dia yang menyelamatkan gue!  Ada sekelumit rasa malu yang menyergap nurani gue.      "Maaf Din.."      Dia tak berbicara lagi, tapi sikapnya yang dingin menunjukkan perasaannya.  Mungkin rencana gue gagal tapi misi gue sukses.  Setelah ini mungkin si Udin bakal meninggalkan gue.      Anehnya pemikiran itu tak membuat gue happy tak terkira.  Mengapa?  Gue tak bisa menjelaskannya, gue  bingung dengan diri gue sendiri!             ==== (*~*) ====   Bersambung   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN