"Alina..."
Alina yang tadi sedang sibuk merapikan tasnya karena jam pulang telah tiba, melihat ke arah suara yang memanggilnya, ternyata itu adalah suara Bu Dina yang menghampirinya, "iya bu, ada apa?"
"Ibu cuma mau bilang, untuk olimpiade terakhir ini ibu harap kamu memberikan yang terbaik ya. Ini akan jadi yang terakhir sebelum kamu fokus pada semua ujian kamu dan tamat dari sekolah ini. Ibu tahu kamu bisa lakukan ini dengan baik tanpa ibu bicara seperti sekalipun." Bu Dina tersenyum dengan wajah penuh harap pada Alina.
Alina ikut tersenyum, "baik bu, Alina akan lakukan yang terbaik. Terima kasih juga sudah bimbing Alina selama ini ya bu."
Bu Dina mengangguk, "kamu bilang tadi perut kamu sakit. Sekarang bagaimana? Apa perlu ibu antar pulang?"
Gadis itu langsung menggeleng, "eh nggak usah bu, Alina udah minta buat pulang bareng adik Alina."
"Adik?? Adik kamu jemput ke sekolah?"
Alina tertawa sambil menggeeng, "adik Alina kan sekolah disini juga bu."
"Siapa memangnya? Adik kandung Alina? Kelas berapa? Kenapa ibu tidak tahu?" Bu Dina tampak antusias dan begitu penasaran perihal saudara Alina.
"Dia kelas 10 bu, namanya Giandra, tapi biasa dipanggil Iyan."
Bu Dina tampak kaget mendengar nama itu, "Giandra? Setahu ibu hanya ada satu Giandra di kelas 10 ataupun di satu sekolah ini."
"Iya Bu, Giandra Kavin Gayatri. Itu adiknya Alina."
Mata Bu Dina terbuka lebar mendapati fakta itu, "benar, ibu baru sadar nama belakang Iyan sama dengan kamu. Tapi bagaimana bisa? Dia sangat berbeda dengan kamu, maksud ibu kenapa dia sedikit nakal?"
Alina terkekeh pelan karena ini bukan kali pertama orang-orang bicara seperti ini padanya. Kalau Alina terkenal sebagai anak baik, pintar dan patuh, maka Iyan adalah kebalikan dari semuanya, "Iyan sebenarnya tidak se nakal itu kok bu, dia sebenarnya anak yang sangat baik."
"Hm.., baiklah kalau begitu ibu pergi dulu. Kamu hati-hati ya."
"Baik bu." Alina mengangguk sopan membiarkan Bu Dina pergi dan sekarang hanya dirinya yang kini tertinggal di dalam kelas sambil lanjur merapikan barang-barang ke dalam tas.
Alina mengambil ponselnya dari dalam saku tas untuk menanyakan keberadaan Iyan sekarang, tapi baru saja ia akan menelfon sudah terdengar suara yang memanggilnya dari pintu, "Lin! Udah selesai?"
Alina yang melihat kehadiran Iyan langsung mengambil tasnya dan berjalan keluar.
"Kenapa maksa ngajakin pulang bareng sih? Orang mau nongkrong gangguin aja ih!" omel pria bertubuh tinggi dari kakaknya itu berjalan di sebelah Alina dengan wajah malas.
"Aku baru PMS, perutnya sakit dan nanti takut tembus di motor abang ojek."
"Terus nanti kalau tembus di motor gua ga papa?"
"Ya kan ga maluu,"
"Awas ya nanti kalau tembus di motor gua, harus lo yang bersihin sendiri! Bisa ternoda nih motor kesayangan gua! "
"Iya iya! Bawel banget!" Alina melirik Iyan kesal karena adiknya ini jarang sekali bersikap baik padanya, padahal ia adalah kakaknya.
Langkah Alina melambat saat ia memasuki area parkir dan mendapati dari kejauhan Sakya juga tengah mengambil motornya.
"Iyan pinjem jaketnya bentar!" Alina menarik jaket yang akan Iyan pakai secara paksa.
"Eh buat apa?" Iyan kaget dan melongo.
"Bentaran doang! Tunggu disini." Alina mengikatkan jaket itu di pinggangnya untuk menutupi area pinggul dan berjalan cepat mendekati Sakya sebelum pria itu pergi dengan motornya.
"Sakya!" panggil Alina berdiri di depan motor Sakya.
Sakya kaget bukan main dan langsung mengerem sebelum dia menabrak wanita yang tiba-tiba sudah berada di depannya itu, "astaga kaget!"
Alina tersenyum malu, "maaf..."
"Ada apa?"
"Tentang yang tadi aku mau bilang terima kasih dan minta maaf. Tadi kamu nggak dihukum atau dimarahi sama Bu Astrid karena aku kan?"
Sakya tertawa, "udahlah santai. Bukan apa-apa."
"Tapi..."
"Udahlah, ga ada apa-apa kok. Boleh minggir? Aku harus pergi secepatnya." Sakya tampak memang terburu-buru namun tetap berusaha menjawab sambil tertawa pada Alina.
Gadis itu hanya bisa menurut untuk minggir begitu saja dan membiarkan Sakya pergi.
"Duluan ya, bai!" Sakya menggas motornya dengan kecepatan tinggi sehingga dalam waktu beberapa detik kehadirannya sudah tak terlihat lagi di pandangan.
Dengan wajah kecewa Alina kembali ke arah Iyan yang sudah menunggu dengan wajah datar.
"Nih udah, ayo pulang." Alina mengembalikan jaket Iyan dengan muka datar.
Iyan mengangkat alisnya menatap kakaknya itu, "lo kenapa Lin?"
"Enggak, buruan pulang, perutku ga enak."
"Yaudah buruan," Iyan memberikan helm pada Alina dan mereka pun pulang ke rumah.
"Lin!" Iyan memanggil Alina yang duduk di belakangnya, mereka masih di jalanan menuju rumah.
"Apaan?"
"Lo kenal Bang Sakya? Gua kira lo ga kenal sama orang macam Bang Sakya."
Alina melihat Iyan dari kaca spion, "aku baru kenal tadi, dia bantuin beli obat waktu perut aku nyeri."
"Kok bisa?"
"Ga ada orang, kebetulan yang ada cuma dia."
"Ooh, gua pikir."
"Eh, kamu kenal Sakya?" tanya Alina bersemangat.
"Ya kenal lah, Sakya itu panutan gua."
"Kenapa?"
Iyan tertawa, "seru aja lihat dia hidupnya santai banget, bebas mau ngelakuin apapun tanpa peduli sama yang namanya aturan. Gua mau banget kayak dia, keren banget."
Alina hanya diam sambil tampak berpikir, "dia juga kenal kamu?"
"Ya kenal lah, kita pernah kena hukum bareng."
"Hm.., seperti itu. Sakya itu manis ya Yan, baik pula."
Iyan terkejut mendengar ucapan kakaknya sambil melihat wajah Alina dari kaca spion yang tampak senyum-senyum sendiri, "lo serius ngomong begitu?"
"Memangnya kenapa?"
"Ya secara Bang Sakya itu terkenal sama bandelnya, sedangkan lo kan anak baik-baik primadona sekolahan, udah kayak anak emas dimanapun lo berada, bahkan gua selalu malas ngakuin gua itu adek lo karena endingnya mereka pasti ceramahin gua dan banding-bandingin gua sama lo. Menyebalkan sekali."
Alina menarik sudut bibirnya, "aku ga kenal Sakya sebelumnya, dan dia juga ga kenal aku sama sekali. Apa sebelumnya aku kurang terkenal?"
Iyan terbahak, "itu sama kasusnya kayak lo ga kenal Sakya sebelumnya. Lo nya aja yang sibuk sama lingkup anak-anak kesayangan guru. Kurang terkenal apa coba Bang Sakya? Selain karena bandelnya, dia itu juga artis sekolahan."
"Artis sekolahan?"
"Tuh kan, padahal lo udah mau tiga tahun satu sekolah sama dia. Walau dia bandel, tapi banyak cewek yang suka sama dia, suaranya kalau udah nyanyi dan megang alat musik bikin anak perawan teriak-teriak. Elo sih sibuk belajar dan lomba mulu, ga kerasa kan gimana seneng-senengnya di masa SMA?"
Alina langsung manyun mendengar ucapan Iyan, "siapa bilang? Aku seneng kok selama SMA."
"Iya deh, kan kadar seneng tiap orang beda-beda. Buat lo dapatin piala, piagam sama sertifikat adalah sumber kebahagiaan lo kan? Kadar kebahagiaan yang sama dengan orang-orang tua. Buktinya lo terus yang disayang papa dan mama."
Alina terdiam sejenak memperhatikan pantulan wajah Iyan di kaca spion, "Yan jangan ngomong gitu. Papa dan mama juga sayang sama kamu. Gua ngerasa sangat gak nyaman kalau ada yang ngomong gitu, kita kan sama-sama anak papa mama, ga boleh dibanding-bandingin."
"Kalau orang tua ga bisa ngertiin keinginan dan karakter anak, itu artinya mereka ga sayang." jawab Iyan datar.
"Ya kamu sesekali nurut lah sama ucapan papa dan mama, jangan ngelawan terus."
"Lo ga ngerti di posisi gua Lin, dan papa mama juga ga paham gimana gua, mereka selalu aja maksain apa yang mereka mau ke kita. Elo sih enak punya jiwa yang bisa terima dan jalani semuanya. Lah gua? Gua ga tahan, gua udah coba pada awalnya, tapi gua ga bisa. Orang tua kita terlalu egois."
Alina kebingungan bagaimana harus menanggapi ucapan Iyan, dari awal Alina memang paham kalau Iyan bukan orang yang suka diatur secara berlebihan, tapi apa daya ia juga tak mengerti harus seperti apa, kini Alina memeluk Iyan dari belakang, "terlepas dari apapun itu, aku sayang sama kamu Yan, kamu itu saudara aku satu-satunya. Adik kecil gemas yang sangat aku sayang sejak dulu."
"Ish Alina! Apaansih peluk-peluk!? Geli tahu!" Iyan bergerak geli dan meminta Alina segera menjauh darinya.
Tapi Alina sepertinya tidak peduli dan terus memeluk Iyan sambil terkekeh karena ia tahu kalau Iyan sangat tidak suka diperlakukan manis seperti ini, "uuuuh, adik aku udah gede banget!"
"Alina! Gua kalau nabrak ga tanggung jawab ya!"
"Kita kan pakai helm, jadi ga masalah."
"Woi Alina b**o! Ya ga gitu juga hakikat helm!"
Alina terbahak dan melepaskan tangannya dari Iyan karena ia juga tak ingin terjadi apa-apa, dia akan ikut olimpiade dan banyak ujian dalam waktu dekat, dia tak ingin mengacaukan segalanya.
"Yeay sampai!" Alina turun dari motor Iyan saat baru sampai depan rumah namun langsung memegang Iyan saat adiknya itu terlihat akan pergi lagi, "eh eh mau kemana??"
"Keluar bentar."
"Kemana? Ngapain? Ganti baju dulu ih, ga boleh keluyuran pakai baju seragam!" Alina memperingatkan sambil kini memegangi tas Iyan agar tak kabur.
"Bentaran doang eh, gua cuma mau ke minimarket depan beli cukuran."
"Serius?"
"Iyaaa, lepasin ah!" Iyan menarik tasnya dari tangan Alina dan kini langsung menggas keras motornya keluar dari pekarangan rumah.
Alina hanya pasrah sambil membuka helm berjalan hendak masuk ke rumah, tapi ia dikagetkan dengan kehadiran mamanya yang keluar dengan terburu-buru.
"Mama? Ngapain?"
"Itu barusan Iyan? Kamu pulang sama Iyan?"
Alina mengangguk polos, "iya bareng Iyan."
"Alinaaaa! Kenapa Iyan nya dibiarin pergi lagi?"
"Memangnya kenapa ma? Iyan bilang cuma mau ke minimarket depan kok." Alina kebingungan.
"Ya ampun Alina, kamu ga ingat tadi pagi Iyan berantem sama papa?"
Alina langsung menganga sambil memukul jidatnya sendiri karena lupa, "astaga Alina lupa ma. Ya soalnya Iyan sering banget ribut sama papa, jadinya udah ga spesial lagi dan Alina ga ingat."
Mama Alina menghela napas panjang, "Iyan kalau udah siap berantem sama papa pasti ga akan pulang sekitar dua atau tiga hari. Mau kemana lagi hari ini anak itu akan kabur?"
Alina menggaruk belakang kepalanya, "maafin Alina ya ma, soalnya Alina benar-benar lupa, kalau Alina ingat pasti bakal Alina tahan disini biar Iyan nya ga pergi."
"Yaudah ga papa, mending sekarang kamu masuk, ganti baju dan istirahat ya." mama dari Alina mengusap sekilas puncak kepala putrinya itu.
"Iya ma."
*
Iyan terus berputar-putar tanpa arah tujuan dengan motornya, pandangannya tampak masih tidak tenang karena teringat pertengkarannya dengan papanya tadi pagi, entah kenapa ia sudah sering ribut dengan papanya tapi ia tak kunjung terbiasa dan terus merasa marah dan kesal seperti sekarang.
"Harus kemana lagi gua mesti kabur sekarang?" gumam Iyan kebingungan karena sudah terlalu lama berkendara kian kemari tanpa arah tujuan.
Disaat itu matanya terarah pada sebuah motor lain di depannya yang ia rasa kenal, tanpa pikir panjang ia langsung mengejar motor itu.
"Bang Sakya!" teriak Iyan saat kini motornya beriringan dengan motor Sakya.
"Wih? Iyan? Kemana lo?" Sakya yang kaget langsung tertseyum lebar
"Abang mau kemana?" balik Iyan bertanya.
Sakya tertawa sambil melirik kotak di bangku belakang motornya, "ada kerjaan nih."
"Kerjaan? Gua boleh bantu bang?"
"Serius lo?"
"Iya, gabut nih." jawab Iyan dengan suara keras agar Sakya bisa mendengarnya.
"Thanks bro, kalau gitu minggir dulu lah!"
"Okey!"