Bening menatap sisi ranjang kosong di sampingnya sambil menangis. Perlahan ia menyentuh sisi ranjang itu, masih terasa hangat bekas tubuh Diraga. Pria itu baru saja meninggalkan Bening dengan membanting pintu penuh kemarahan dan tak lama kemudian terdengar deru mobil Diraga yang meninggalkan rumah.
Bening menangis sedih dan terisak-isak. Ini pertama kalinya ia bertengkar besar dengan Diraga. Sejak tahu bahwa Bening memiliki hutang besar pada beberapa rekan kerja almarhum sang ayah, Diraga mencecar Bening dengan list kepada siapa saja ia berhutang.
Mata Diraga semakin melotot saat melihat angka yang tertera diatas kertas yang dijabarkan Bening. Wajah Bening terlihat sangat pucat saat melihat reaksi Diraga.
“Sudah tak usah dipikirkan mas, biar nanti aku yang membayar semua ini… aku….”
“Enak saja kamu kalau bicara! Kamu pikir akan satu kali tadi saja ada orang yang menagih?!”
Bening terdiam saat Diraga membentaknya keras.
“Kalau saat itu aku punya uang untuk mengobati bapak, pasti kami tak akan berhutang kemana-mana mas!” balas Bening tak bisa menahan perasaannya.
Diraga terdiam, tapi terlihat dadanya bergerak naik turun menandakan bahwa ia masih merasa marah.
“Seharusnya kamu memberitahu semua ini sebelum kita menikah!”
“Aku tahu aku salah menyembunyikan masalah ini dari mas Diraga tapi aku terpaksa mas….”
“Apanya yang terpaksa?! Kamu bisa minta rumah untuk mahar, kenapa gak sekalian minta uang untuk melunasi hutangmu?!”
Sebuah tamparan mendarat di pipi Diraga dengan keras. Disindir seperti itu membuat Bening tak bisa menahan emosinya.
“Kamu?!”
“Aku tahu bahwa mas Diraga selalu berpandangan jelek padaku sejak aku meminta mahar berupa rumah pada keluarga mas Diraga! Tapi bukan berarti aku serendah itu mas! Kalau aku mampu, sedikitpun aku tak akan mau menjadi istri mas Diraga!” jerit Bening penuh kemarahan.
Air matanya mengalir deras diantara kedua matanya yang menatap Diraga tajam. Mendengarkan ucapan Bening, sontak Diraga terdiam sesaat, ia tak menyangka Bening berani untuk mengatakan kalimat yang melukai harga dirinya.
“Kamu pikir kamu siapa?!” tanya Diraga sambil menarik tangan Bening dengan kasar. Ia merasa kesal dipandang rendah oleh Bening.
“Jangan sentuh aku!” pekik Bening marah sambil menepis tangan Diraga kasar.
Ditolak untuk disentuh oleh Bening membuat emosi Diraga naik ke ubun-ubun. Ia segera menarik Bening dan menghempaskan tubuh istrinya ke atas ranjang. Bening meronta saat Diraga menahan tubuh Bening dengan berada diatasnya.
“Aku gak mau mas! Jangan sentuh aku!” tolak Bening saat Diraga menyentuh tubuhnya kasar.
“Kenapa kamu jijik padaku?! Heh?!”
Melihat Bening meronta, Diraga segera memegang wajah istrinya dan melumat bibir istrinya kasar. Bening memukul-mukul wajah Diraga keras sehingga Diraga melepaskan ciumannya dan terlihat kesakitan.
“Sialan kamu!” ucap Diraga penuh amarah.
“Jangan pernah menyentuhku seperti itu!”
“Kenapa aku tak boleh menyentuhmu?! Kamu istriku! Dan aku berhak melakukan apa saja dengan tubuh itu!”
“Ceraikan saja aku! Ceraikan aku! Aku sudah tidak tahan lagi menjadi istrimu!”
“Sombong sekali!”
“Lebih baik aku jadi gelandangan diluar sana daripada hidup bersama orang berhati kejam seperti kamu! Aku menyesal membuat keputusan mau menikah dengan mas Diraga demi rumah! Ceraikan aku! Cerai! Aku minta cerai mas!” pekik Bening histeris tak tahan dengan sikap Diraga sambil menangis pilu.
Mendengar ucapan Bening, Diraga hanya diam sesaat lalu berdiri meninggalkan kamar dengan membanting pintu. Sedangkan Bening masih menangis terisak-isak penuh rasa sedih karena marah dan tak tahu harus berbuat apa. Dianggap wanita yang menjadi beban dan masalah oleh Diraga membuat hati Bening sedih tak terkira.
Bening terbangun dari tidurnya saat suara adzan subuh terdengar nyaring. Matanya terlihat sembab dan bengkak karena menangis semalaman. Diraga pun tak kembali kerumah setelah pertengkarannya dengan Bening. Ada sedikit rasa menyesal dihati Bening mengingat ucapannya yang meminta cerai pada Diraga. Bagaimanapun, walau Diraga sangat menyebalkan, kedua orang tua suaminya itu sangat baik padanya. Tak hanya mertuanya, kakak perempuan Diraga pun baik terhadapnya.
Wajar jika Diraga merasa marah padanya saat mengetahui hutangnya yang besar. Siapapun pasti akan kesal jika tahu bahwa pasangannya memiliki rahasia. Sikap dan ucapan Diragalah yang membuat Bening menjadi emosi sehingga tak bisa mengendalikan diri.
Kini ia hanya bisa pasrah jika akhirnya Diraga benar-benar menceraikannya. Bening mencoba tersenyum pada Lembayung yang baru keluar kamar juga dengan mata sembab. Adik perempuannya itu pasti mendengarkan pertengkaran dirinya dan Diraga tadi malam. Melihat kakaknya dengan mata sembab dan bengkak, Lembayung segera memeluk Bening erat.
“Mbak… ayo kita pergi dari sini… gak apa-apa kita tinggal di kontrakan lagi, yang penting mbak Bening gak bertengkar dengan mas Diraga. Aku bisa bantu dengan jualan disekolah kok mbak…,” suara Lembayung terdengar lirih dan matanya terlihat basah.
Bening hanya bisa membalas pelukan Lembayung erat menahan tangis.
“Kamu siap-siap sekolah dulu, nanti mbak cari tempat tinggal untuk kita, memang butuh waktu… “
“Gak ada satupun dari kalian meninggalkan rumah ini!”
Lembayung memeluk kakaknya lebih erat saat Diraga hadir menyela pembicaraan mereka. Ia merasa sangat takut pada kakak iparnya.
Bening menatap Diraga yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang makan. Ia merasa lega karena suaminya kembali walau sebenarnya Bening juga kembali takut menghadapi Diraga.
“Ini rumah kalian, namanya pun sudah atas nama Bening. Kenapa mesti keluar dari rumah ini?” Diraga berkata dengan suara lembut sambil menyeret dua buah koper besar ke dalam ruang makan.
“Ayo, kamu siap-siap sekolah Lembayung! Awas ya, kalau mas pergoki kamu berjualan apapun di sekolah! Tugas kamu belajar yang baik!” tegur Diraga tegas walau suaranya terdengar halus.
Diraga segera mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari dompet dan memberikannya pada Lembayung.
“Ini uang jajanmu untuk satu minggu, pergunakan yang baik untuk kebutuhan sekolah dan makan yang benar,” ucap Diraga menyodorkan uang itu pada Lembayung.
Lembayung menggelengkan kepalanya perlahan dan berkata dengan takut-takut,
“Jangan mas, uangnya diambil kembali saja, anggap saja Lembayung ikut nyicil hutang mbak Bening.”
Diraga terhenyak dengan jawaban Lembayung. Ia segera menarik tangan lembayung dan meletakan lembaran uang itu di telapak tangan gadis kecil yang masih memeluk kakaknya.
“Soal hutang, itu urusan kakakmu dan mas Diraga. Tugas kamu hanya belajar dengan baik. Sudah jangan pikirkan macam-macam. Sekarang kamu siap-siap buat sekolah.”
Lembayung hanya diam dan menatap kakak dan kakak iparnya ragu.
Melihat Lembayung masih termenung, Diraga segera menarik Bening dan memeluknya erat.
“Lihat, mas dan mbakmu sudah baikan kok, betulkan Ning?" tanya Diraga sambil menatap istrinya dan memeluk Bening lebih erat untuk meyakinkan Lembayung.
Bening yang masih kaget dipeluk Diraga hanya bisa mengangguk tanpa bicara apa-apa.
“Cium aku Ning, Lembayung mau lihat apa kita benar-benar baikan,” pinta Diraga setengah berbisik pada Bening sambil menatap Lembayung.
Bening terlihat kikuk, lalu ia mengecup bibir Diraga perlahan. Diraga mengerjapkan matanya saat ia merasakan seolah getaran listrik saat Bening mengecup bibirnya. Tak sadar ia semakin memeluk tubuh Bening erat. Melihat kedua kakaknya saling mengecup mesra, Lembayung tampak tersipu malu lalu berjalan meninggalkan mereka berdua.
Bening segera melepaskan pelukan Diraga perlahan dan bergerak mundur satu langkah. Diraga hanya berdehem pelan lalu menarik kedua kopernya ke arah kamar tidur miliknya dan Bening.
“Apa itu mas?” tanya Bening membuka pembicaraan sambil menatap kearah koper mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam kamar.
Diraga hanya diam dan menyimpan kopernya di sudut kamar lalu menutup pintu kamar saat Bening ikut masuk.
“Berikan semua no contact dan rekening orang-orang yang harus kamu bayar hutangnya padaku, nanti segera aku lunasi semuanya.”
“Mas, jangan! Aku bisa…”
“Apa? Mencicil nya? Kalau kau ingin mencicil, cicil padaku!”
“Mas…”
“Kenapa?! Gak sabar minta cerai?! Boleh kamu mengajukan cerai lagi setelah kamu lunasi semua hutangmu padaku!”
Bening terdiam.
Diraga berdiri tegak di hadapan istrinya dan menatapnya dalam. Semakin dilarang, semakin ia terobsesi dengan bibir Bening. Mengingat ada getaran listrik saat Bening menciumnya tadi membuat Diraga ingin merasakannya lagi.
“Baik, aku akan mencicilnya setiap bulan, berapa besar cicilan yang harus aku bayar?” tanya Bening tegas.
“Satu juta!” jawab Diraga pasti.
“Aku bisa mencicil lebih dari itu kok mas…”
“Tidak, aku hanya ingin kamu mencicilnya satu juta perbulan! Hanya satu juta!” ucap Diraga sambil membuka kopernya.
“Setelah hutangmu lunas, kamu bisa lakukan apapun yang kamu mau, tapi selama kamu masih berhutang padaku, aku akan tinggal disini bersamamu.”
Diraga berkata dengan santai sambil mengeluarkan baju-bajunya dari koper.
“Kalau begitu, biar aku saja yang mencicil semua hutangku! Mas Diraga tak perlu membantu!” ucap Bening cepat, ia tak tahan membayangkan ratusan bulan harus tinggal bersama Diraga.
Diraga melangkah mendekati Bening perlahan. Bening merasa gugup saat wajah suaminya berada begitu dekat dengan wajahnya. Nafas Diraga yang hangat membuat jantung Bening berdetak cepat.
“Aku hanya berniat menolongmu, karena kasihan melihat kedua adik iparku yang polos itu kelaparan karena kamu hanya memberi mereka makan seadanya! Jangan terlalu sombong, Ning! Terima saja tawaranku.”
Suara Diraga terdengar pelan tapi tegas di telinga Bening lalu pria itu kembali bergerak membereskan pakaiannya. Bening berdiri mematung, ucapan Diraga ada benarnya. Jika seluruh hutangnya dilunasi hidupnya akan kembali tenang. Ia hanya butuh bertahan dengan sikap menyebalkan Diraga beberapa tahun ini, setelah itu ia pasti bisa bebas.
“Setuju?” tanya Diraga lagi sambil melirik pada istrinya yang tampak berpikir keras. Bening pun akhirnya mengangguk pelan.
Ada senyum kemenangan dibibir Diraga, ia merasa menang bisa menaklukan Bening. Perempuan itu ada digenggamannya sekarang. Bening hanya menghela nafas panjang dan mulai berjalan keluar kamar, tapi Diraga menahan pintu saat Bening hendak membukanya.
“Hari ini kamu tak perlu masuk kerja, aku sudah minta ijin pada mbak Mariska dan bilang ada urusan yang harus kamu selesaikan. Sekarang, siapkan sarapan untuk adik-adikmu, setelah itu kembali kesini untuk melayaniku.” ucap Diraga berbisik.
Bisikan Diraga terdengar begitu m***m di telinga Bening sampai membuat Bening merinding. Ia merasa kesal sekaligus heran. Setelah pertengkaran hebat mereka kemarin, Diraga masih bisa meminta haknya untuk dilayani diranjang. Ingin rasanya Bening menjambak rambut dan jambang suaminya sampai Diraga berteriak kesakitan, tapi hal itu hanya bisa Bening lakukan dalam mimpi. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk dan segera keluar kamar untuk membuatkan sarapan dan bekal sang adik. Sedangkan Diraga tersenyum lebar penuh kemenangan sembari mengatur pakaiannya di dalam lemari.
Bersambung.