“Hahhhh... Jadi elo diodohin sama cowok yang elo gigit kemaren, Nay? Seriusan??” Riri histeris mengkonfirmasi curhatan dari sahabatnya itu.
Kanaya hanya mengangguk lemas dengan wajah sepucat p****t babi, “Gue harus gimana dong, Ri? Gue gak cinta ama cowok aneh itu, tapi keluarga gue sudah banyak berhutang budi kepada keluarganya... Ibu gue bahkan bilang, kalo satu-satunya cara gue bisa membahagiakan dan membalas jasa beliau hanya dengan menikahi Dhany. Sumpah ini bikin gue depresi, Ri.”
“Ya elahhh... Napa harus depresih sih Nay, orang datuk maringgihnya ganteng gitu. Terima aja kali,” jawab Riri enteng.
“Datuk Maringgih? Emang gue Siti Nurbaya apa, ganteng sih ganteng. Tapi dia anak mama banget buk, kebayang gak sih. Dan perlu elo tahu, cowok sedeng satu itu terobsesi banget punya bayi...”
“OMG, baby?? Jadi kalo elo nikah sama dia, itu artinya elo akan segera tekdung dan melahirkan baby?” rancau Riri dengan gaya drama queennya.
“Iya,” jawab Kanaya lemas. “Masih mending kalo yang dijodohin sama gue itu si Romeo, gue dengan senang hati jadi Siti Nurbaya ato apa kek. Secara Romeo tuh ganteng, pinter, dewasa, cool... Ohhh perfect!”
“Betul, kayaknya elo mesti minta bantuan ke Romeo deh, Nay. Dia kan sepupunya, siapa tahu bisa bantu elo bujuk sepupunya biar ga nekad nikahin elo...” ide yang baru saja tercetus dari mulut Riri itu, dirasa kurang tepat oleh Kanaya.
“Duhh, ga deh Ri. Gue ga tahu harus ngomong gimana ke Romeo...”
“Terus, elo bakal menyerahkan diri ke sarang penyamun itu Nay?” tanya Riri mengintrogasi.
Kanaya menaikan kedua bahunya, sambil menggeleng lemas. Tiba-tiba sang datuk maringgih muncul di belakangnya, dengan jahil Dhany menoel-noel bahu Kanaya. Riri memberi isyarat berupa kedipan, namun Kanaya masih tak menyadari kehadiran sosok paling horor dalam hidupnya itu kini persis berdiri di belakangnya.
“Itu bukan cuma sarang penyamun Ri, nikah dengan si anak mama satu itu seperti terbelenggu ke dalam segitiga bermuda. Sekali masuk lo tidak akan pernah bisa keluar hidup-hidup, kebayang ga gimana seremnya?”
Mendengar perkataan buruk Kanaya tentang dirinya, Dhany segera menarik kerah baju Kanaya ke atas. Sambil berkata, “Oooohhh, jadi keluarga gue sarang penyamun? Trus gue ini Dajjal, si penunggu segitiga bermuda yang akan segera menarik elo ke dalam belenggunya gitu? Keren banget ya, analogi lo.”
Riri memejamkan mata ngeri menyaksikan adegan ini, “Gak kuat deh gue, mana kamera mana?” Sambil sok-sokan merem, Riri pergi meninggalkan Kanaya begitu saja.
Kanaya bergidik ngeri mendengar suara Dhany, “Hehehe, elo kok tiba-tiba nongol di sini sih?”
“Kenapa? Ga boleh?” tanya Dhany dingin.
Kanaya tak berkutik, dia hanya menatap Dhany dengan penuh ketakutan. Dhany menarik pergi Kanaya, membawanya ke tempat yang lebih sepi dan lebih kondusif untuk membahas wacana reproduksi baygan.
“Tunggu, tunggu... Lo mau bawa gue kemana sih?” protes Kanaya yang tidak nyaman dengan tindakan Dhany yang menariknya paksa.
“Gue cuma mau bilang, Kak Nat udah jelasin ke Bik Irma. Kata Kak Nat, Bik Irma setuju dan merestui lo nikain gue, tinggal nunggu jawaban dari elo yang sebenarnya ga penting banget. Harusnya mau ga mau, elo mesti tetep tanggung jawab dan sukarela nikahin gue.” ultimatum Dhany membuat Kanaya terkekeh.
“Gue ga bisa, gue ga cinta sama elo, dan gue ga mau nikah tanpa cinta! Memangnya elo mau nikah sama cewek yang ga pernah punya hati buat elo?”
“Ck, cinta... Alasan lo tuh basi bin klise, cinta tuh kayak sebatang ranting singkong. Lo tancepin di tanah bagian indonesia manapun pasti bakal tumbuh dengan mudah,” jawab Dhany enteng.
“Okey, lupakan cinta! Sekarang gue tanya ke elo, apa alasan elo pilih gue dari sekian banyak cewek yang mungkin dengan suka rela bersedia nikah sama putera mahkota keluarga Tuswantono?” tanya Kanaya tak mengerti.
Dhany mengangkat satu alisnya sambil menatap Kanaya lekat-lekat, “Sepertinya ada yang sudah salah pengertian, lo pikir gue jatuh cinta sama lo gitu? Harus banget ya gue jelasin untuk yang kesekian kalinya ke elo? Dengerin baik-baik ya, siapa juga yang cinta sama cewek buas dengan tempramen buruk seperti lo. Kenapa gue minta lo nikahin gue? Karena elo adalah cewek pertama dan satu-satunya yang berani gigit gue, menodai kesucian gue..”
Dengan wajah jijik banget Kanaya membalas argumen lebay Dhany, “Tau bakal kayak gini konsekuensinya, harusnya kemarin gue gak cuma gigit elo. Harusnya gue mutilasi aja lo, biar mulut lemes lo ini gak bisa berkoar-koar tentang kesucian yang sukses bikin gue mules tiap denger itu. Nyesel banget gue!”
“Okey, serahhh lo ajahh. Gue cuma mau bilang kalo elo gak setuju nikahin gue, terpaksa gue akan laporin ke Mama bahwa elo udah mengigit serta merebut kesucian gue, lo menyusup serta tinggal diam-diam di rumah gue, dan masalah keluarga elo yang sudah menjual rumah peninggalan Papa. Gue yakin banget serentetan dosa lo ini bakal membuat Mama gue murka dan segera memecat Bik Irma tanpa pikir dua kali, itu yang lo mau? Mempertahankan idealisme lo, dan membawa ibu lo ke jalanan?”
Kanaya mendengarkan penuturan Dhany dengan mata berkaca-kaca, gadis ini memang selalu sensitif setiap kali terbayang ibunya harus menderita atau terluka lagi. Dengan menghela nafas panjang, Kanaya akhirnya menyetujui pernikahan konyol itu.
“Jangan. Tolong jangan katakan itu pada Bu Rida, gue akan mengikuti kemauan lo. Bertanggung jawab, menikah, menghasilkan bayi, atau bila perlu gue harus minum racun sekalipun gue pasti akan melakukannya. Jangan sentuh dan sakiti ibu gue,” kata Kanaya lemas sambil menitihkan beberapa tetes air mata. Pandangannya kosong dan wajahnya tampak sangat-sangat pucat, Dhany sebenarnya tidak tega melihat gadis ini menyerah begitu saja.
Sepertinya Dhany berhasil menemukan titik yang menjadi kelemahan Kanaya, yakni ibunya. Dengan penuh simpati, Dhany memeluk Kanaya. Bermaksud menenagkan dan menghibur Kanaya, tapi gadis itu dengan semena-mena menghempaskan tubuh Dhany.
“Gak perlu sok hibur gue, toh pada kenyataannya elo adalah orang yang menghancurkan hidup gue.” kata Kanaya sedih seraya pergi meninggalkan Dhany.
Dhany mematung sambil meresapi perkataan dan kesedihan yang tersirat di mata Kanaya, “Apa gue keterlaluan ya?” gumam Dhany galau.
***
Dhany : Kak Nat dimana?
Nath_asya : Di kantor lah.
Nath_asya : Kenapa?
Dhany : Adek galau T,T pengen curhat...
Nath_asya : Aduhhh dek, maaf deh.. Kak Nat lagi sibuk banget.
Dhany : Jahat.
Dhany : Lagi sama Beno ya?
Nath_asya : Ben! Bukan Beno, selalu ajah gonti-ganti nama cowok kakak seenak udel lo.
Nath_asya : Ya udah, tunggu kakak di cafe EdMos. Kakak sampai sana sekitar jam 7 lah.
Dhany : *peluk cium* Makasih Kak Nat, cuma dikau yang daku miliki saat ini :’(
Nath_asya : Emang sebaiknya elo segera nikah deh, biar ga ngerecokin kakak terus.
Dhany : Kejammmmmm..
Nath_asya : hehehe :p
Dhany berjalan muram menuju kelasnya, di tengah perjalanan seseorang menghadang jalannya. Dengan malas Dhany melirik siapa gerangan yang nekad dan nyari mati hari ini, ternyata kaki yang menghalangi jalan Dhany adalah kaki Romeo.
“Elo..., apa kabar Rom?” tanya Dhany yang langsung cerah ketika melihat Romeo berdiri menantinya.
“Sayangnya kabar gue buruk Dhan, bisa kita bicara di tempat yang lebih tenang?” ajak Romeo dingin. Dhany pun mengangguk dan berjalan mengikuti Romeo menuju pelataran parkir, kedua pemuda tampan itu masuk ke dalam Toyota Sienta putih milik Romeo.
“Wajah lo kenapa Rom, pucat kayak habis lihat penampakan Hitler ajah.”
“Lebih parah dari sekedar penampakan Hitler, harusnya gue ga ijinin elo gantiin gue kemarin. Kalau seperti ini akhirnya,” kata Romeo penuh penyesalan.
“Seperti ini apaan? Elo di hukum sama Prof Haryanti?? Wahhh, tuh cewek emang terlalu n terlebay.” Dengus Dhany kesal.
“Bukan itu masalahnya, gue gak setuju elo nikah sama Kanaya.”
“Whattt?? Gue gak salah denger? Elo cintrong ma Kanaya, Rom?” tanya Dhany dengan tawa meledak.
“Bukan urusan lo, yang pasti tindakan kekanakan lo ini akan sangat berdampak bagi masa depan Kanaya. Sebagai temennya, gue gak bisa diem aja melihat Kanaya yang pintar dan berprestasi itu terpaksa menyerah pada cita-citanya cuma kerena kesalahan kecilnya terhadap lo. Please man, lepasin Kanaya...” Romeo memperingatkan.
Dhany hanya diam dan tak mengatakan apapun, dia mulai ragu melanjutkan rencana konyolnya pada Kanaya.
Apa gue terlalu sadis? Apa gue kejam? Apa gue gak manusiawi? Apa gue harus menyerah? Kenapa semua menjadi tidak menyenangkan lagi, padahal gue udah fix memenangkan permainan ini...
***
Bersambung ....