4. Rasa terdalam

1676 Kata
Stela tidur meringkuk di kamarnya. Ia masih memikirkan perkataan Vicky tentang mereka yang sudah berhubungan badan. Stela tidak mau hamil. Stela takut sekali bila dia mengandung, perempuan itu tidak bisa membayangkan dirinya dengan perut gendut dan terasa menendang-nendang di dalam. "Hiksss hikss!" isak Stela dengan pilu. Stela mengigit selimutnya untuk meredam tangisannya.  "Hiksss ... aku tidak mau hamil ... hikss ...."  Stela tidak suka anak kecil, dan Stela tidak suka dirinya cepat dewasa. Stela belum pernah merasakan indahnya naik bianglala, atau indahnya jalan-jalan bersama keluarga. Namun kini tanpa sadar Stela sudah dewasa dan kembali kecil itu tidak mungkin dia lakukan. "Kenapa hidupku berbeda hiksss.. hiksss!" isak Stela makin keras. Stela selalu merasa hidupnya kurang beruntung daripada orang lain. Dia memang anak orang kaya, tapi dia tidak mendapat kasih sayang apapun juga tidak pernah merasakan indahnya masa kecil hingga remaja.  Stela melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Harusnya dia sudah bersiap-siap untuk kerja. Namun, dia merasa tak punya tenaga untuk sekadar bangun. Kakinya sakit dan kepalanya pening. Tadi malam ia memaksa pindah kamar. Ia tidak betah di kamar Vicky, apalagi ada pria itu. Stela takut ia diapa-apain, meski Vicky suaminya tetap saja rasanya sangat seram. Apalagi Vicky mengatakan kalau semalam mereka sudah melakukan hubungan suami istri. Stela meremas selimut yang dia pakai, sekarang pipinya terasa sangat memanas. Dia tidak ingat apapun tapi tetap saja dia merasa malu. Stela tidak bisa membayangkan dirinya yang telanjang bulat di hadapan suaminya.  Stela memandangi bola-bola di sudut ruangan kamarnya, ia ingin main bola itu. Namun, ia sama sekali tak punya teman. Stela ingat dulu waktu dia kecil, ia mengajak kakanya main bola, tapi kakaknya malah mendorong tubuh kecilnya hingga dia terjatuh di bebatuan yang ada di belakang rumahnya. Kakaknya selalu begitu, selalu mendorongnya saat Stela mengganggu. Mengingat itu membuat Stela meneteskan air matanya, rasanya sangat menyesakkan dadaa ketika mengingat masa-masa menyedihkan itu. Stela membiarkan air matanya yang terus menetes. Kalau tidak ada yang menyayanginya, apa gunanya dia hidup? Kadang Stela berfikir seperti itu. "Stel, kamu gak kerja?" tanya Vicky dari balik pintu. Vicky mengetok kamar Stela dengan pelan, karena tak ada jawaban Vicky membuka kamar istrinya dengan kunci cadangan. Mendengar langkah kaki Vicky membuat Stela makin terisak. Stela malu bila ada yang melihat kamarnya selain pelayan. Betapa menderitanya Stela, penderitaannya itu ia ungkapkan dalam bentuk kamar yang sangat ramai dengan mainan anak kecil. Stela menangis keras, ia sudah tak tahan lagi dengan kesepian yang ada di hatinya. "Stela, apa ada yang sakit? Kenapa kamu nangis?" tanya Vicky dengan lembut. Vicky mengusap kening Stela dengan lembut. Stela makin menangis, ia tidak suka Vicky menyentuhnya. Namun, di sisi lain ia juga merasa nyaman. "Pergi dari sini! Hikss ... hikss ...." titah Stela di sela tangisannya. "Badanmu demam! Ayo kita ke rumah sakit!" ajak Vicky bersiap membopong tubuh istrinya. "Enggak mau!" jawab Stela semakin mengencangkan tangisannya. Tangisan Stela persis seperti tangisan anak kecil. Vicky makin panik, tidak biasanya istrinya akan menangis. Istrinya selalu menampilkan wajah garangnya. "Stel, hentikan tangisanmu itu! Ayo sarapan dulu!" titah Vicky yang memang sudah membawa bubur sayur untuk istrinya. "Pergi kamu! Aku gak butuh perhatianmu!" jerit Stela. "Stela!" panggil Vicky dengan nada rendahnya. Stela menutup wajahnya. Ia benci nangis di hadapan pria itu, ia benci terlihat lemah. Vicky mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Laki-laki itu melihat banyak mainan yang berserakan di kamar istrinya seperti yang dia lihat kemarin.  "Kalau gak enak badan, gak usah kerja. Tapi, kamu harus sarapan dulu. Sini aku suapin!" ucap Vicky membantu Stela duduk. Untuk kali ini Stela pun menurut. Sebenarnya Vicky selalu lembut padanya, hanya saja itu belum bisa meluluhkan hati keras Stela. Vicky mengamati wajah Stela yang basah karena air mata. Wajah yang putih mulus tanpa cela itu pasti membuat siapapun menolehkan kepalanya dan memandang kagum. Namun bukan itu yang membuat Vicky bertahan, Vicky bukan hanya sekadar mengagumi wajah Stela, tapi ada rasa terpendam di dalam hatinya untuk istrinya itu. "Jangan menatapku seperti itu!" bentak Stela membuat Vicky sedikit kaget dan membuyarkan lamunannya. Buru-buru Vicky mengarahkan sendok ke mulut Stela. Dengan pelan Stela menerima suapan suaminya. Ini untuk pertama kalinya Stela sedekat ini dengan suaminya. "Kalau boleh tau, kenapa banyak mainan di kamarmu?" tanya Vicky penasaran dengan jawaban Stela. Stela mendorong bahu Vicky agar sedikit menjauh dari dirinya. "Jangan mengurusku. Pergi kamu!" ucap Stela. "Maaf gak bermaksud. Ayo makan lagi!" "Gak mau. Aku sudah kenyang," tolak Stela yang moodnya sudah terjun lagi. "Stel, badan kamu lemas. Dokter bilang kamu harus makan teratur. Jadi, ayo makan!" ucap Vicky membujuk. "Aku makan sendiri. Kamu keluar!" usir Stela. Vicky pun mengalah daripada terus berdebat, toh lebih baik istrinya makan daripada dia tunggui malah gak jadi makan. Setelah kepergian Vicky, Stela meletakkan mangkuk buburnya di nakas. Dia tidak napsu makan kenapa terus dipaksa. Stela mengambil hp yang ada di nakas dan menatap layar hpnya itu yang sama sekali tidak ada pesan masuk. Ia tidak punya teman sama sekali. Dulu waktu kuliah teman-temannya tak mau bergaul dengannya karena alasan Stela anak orang kaya dan mereka minder. Padahal Stela tak pernah memilih teman. Stela ingin berteman dengan siapapun, tapi mereka tidak mau. Lama berada di kamar akhirnya Stela memilih keluar, perempuan itu mencari Rina. Hanya Rina yang bisa membuatnya sedikit merasa disayangi. Stela celingak celinguk. Tidak ada Vicky, ia meneruskan langkahnya. Langkah perempuan itu menuju ke dapur yang dia tebak ada Bu Rina di sana.  "Bu Rina!" sapa Stela memeluk Bu Rina dari belakang. Tebakan Stela benar kan, Dapur memang sudah seperti markas Bu Rina "Eh, Stela. Katanya sakit, kok kamu turun?" tanya Rina membalikkan badan. "Aku bosan di kamar," jawab Stela merajuk. "Kenapa gak ajak jalan-jalan tuan Vicky?" tanya Rina yang membuat Stela membulatkan matanya. "Tidak akan mau. Aku sudah beberapa kali ijin jalan-jalan. Tapi, dia tidak meperbolehkanku." jelas Stela. "Itu karena kamu ijinnya sendiri. Coba aja ajak Tuan. Pasti dia tidak akan menolak," ucap Rina mencubit pipi Stela. Setalah berfikir sejenak perempuan itu bimbang. Mungkinkah Vicky mau? "Kamu minum obat dulu biar gak pusing, ibu ambilin ya!" tawar Bu Rina yang diangguki Stela. Sedangkan di sisi lain, di kantin perusahaannya Vicky tengah mendengar krasak krusuk yang tidak mengenakkan. Mereka tengah mencibir istrinya. Saat Stela menabrak Reno kemarin, langsung menjadi bahan ghibahan para karyawati di kantornya. Mereka mengatakan Office girl yang tidak sopan, tidak tau diri, dan bla bla bla. Vicky ingin sekali mencengkram mulut-mulut sialan itu. Mendengar nada mengejek dari mereka untuk istrinya membuat dia ikut merasa sakit hati. Jelas saja, karena dia suaminya. Dering hp Vicky membuyarkan keinginannya untuk menonjok karyawannya satu-satu. Vicky merogoh hp nya di saku kemeja. Nama istrinya, tumben sekali istrinya mau menelfonnya. Vicky menggeser ikon hijau ke atas. Menempelkan hp nya di telinga ia diam menunggu Stela yang berbicara. "Kamu dimana?" tanya Stela lirih. "Di kantor," jawab Vicky dengan lugas. "Em ... A ... a lupakan!" ucap Stela mematikan hp nya sepihak. Vicky mengerutkan alisnya. Ada apa dengan istrinya itu? Vicky mendiall nomer Rina, pria itu menanyakan keadaan istrinya dan maksud istrinya menelfon. Vicky tersenyum mengangguk setelah mendengar penjelasan Rina. Tanpa berlama-lama Vicky meninggalkan meja makannya seraya mematikan sambungan telfon sepihak. "Monica, batalkan jadwalku hari ini. Aku harus pergi!" ucap Vicky saat berpapasan dengan Monica di lobby. Tanpa membantah, Monica mengiyakan. Vicky melajukan mobilnya ke rumah. Kalau istrinya mengajaknya jalan-jalan, kenapa dia menolak? Itu akan tampak menyenangkan. Setelah sampai di rumahnya, Vicky segera mencari keberadaan istrinya. Istrinya tengah duduk bersandar di sofa sambil memainkan hp. Ada Claudia di sampingnya. "Stel, cepat ganti baju! Kita jalan-jalan!"  ucap Vicky mengagetkan Stela. Mendengar ucapan suaminya membuat Stela diam mematung, Vicky pun mendelik menatap istrinya. "Kamu mau jalan-jalan, kan? Ayo kita jalan-jalan!" ulang Vicky. Stela lantas mengangguk semangat, ia langsung berlari ke arah kamarnya untuk ganti baju. "Ah senangnya bisa jalan-jalan. Aku mau ke kebun binatang, aku mau ke dunia fantasy dan aku mau ke pantai. Aku belum pernah kesana!" ucap Stela dengan gemas. Stela menganti baju rumahannya dengan kaos putih yang dibalut cardigan dan celana baggy berwarna khahi. Setelah mematut dirinya di cermin, Stela langsung keluar menghampiri Vicky. "Ayo!" ajak Stela dengan semangat. Vicky mengamati penampilan istrinya. Kalau berpakaian seperti itu, istrinya terlihat sangat belia. "Ayo!" jawab Vicky yang menarik lengan Stela. "Clau!" Vicky melirik Claudia. Lantas Claudia langsung mengangguk. Isyarat dari Vicky untuk membuntuti mereka dari belakang. Stela menatap penampilan suaminya dari atas sampai bawah. Apa suaminya mau pergi ke kebun binatang dengan menggunakan jas? Stela ingin protes, tapi ia urungkan. Ia takut malah Vicky membatalkan niatnya untuk jalan-jalan. Vicky menuntun Stela untuk masuk ke mobilnya, Vicky yang akan menyetir mobilnya sendiri tanpa sopir. Hening, tidak ada percakapan sama sekali antara pasangan suami istri itu. Stela tidak punya bahan pembicaraan, begitu juga dengan Vicky. Perjalanan mereka hanya ditemani oleh musik klasik yang diputar Vicky. Vicky ingin membuka pembicaraan, tapi dia sendiri bingung akan mengangkat topik apa.  Setelah lima belas menit berlalu, Stela membulatkan matanya dengan sempurna saat Vicky memasukkan mobilnya di basemant Mall, "Vick, kenapa kita kesini?" jerit batin Stela. Tentu saja hanya menjerit dalam hati karena ia tidak berani bertanya langsung. Vicky keluar dari mobil dan memutari mobilnya untuk membukakan pintu Stela, mau tak mau Stela juga keluar. Sebelum keluar, tak lupa Stela memakai masker dan kacamata. Ia tidak ingin identitasnya terbongkar. "Belanja apapun yang kamu inginkan. Aku jamin kamu senang dengan jalan-jalan kita," ucap Vicky menarik Stela untuk memasuki kawasan mall mewah. Setelah sampai ke dalam, pria itu menarik istrinya ke deretan baju yang mahal-mahal. "Damn it!" umpat Stela kesal. Bukan ini jalan-jalan yang dia maksud. Ia ingin ke taman bermain, bukan di mall kalangan sosialita. Stela sudah bosan di tempat seperti ini, perempuan itu tampak menghentakkan kakinya dengan kesal. Tak ada satupun barang yang menarik perhatiannya. Ia tidak suka belanja, tapi suaminya malah mengajaknya kesini. Ekspetasi jalan-jalan indah akhirnya pupus seketia. Stela ingin menangis dan meraung kencang di tengah-tengah Mall untuk melampiaskan kekesalannya. Belum lagi, Claudia dan para bodyguard yang mengikutinya kemanapun dia dan Vicky pergi. "Kenapa cuma muter? Ayo ambil semua yang kamu mau!" ucap Vicky. Mendengar ucapan Vicky makin membuat Stela kesal. Stela mendorong bahu Vicky kencang, perempuan itu berlari membelah kerumunan orang-orang belanja. "Stela!" teriak Vicky mengejar Stela yang kabur. Para bodyguard pun juga ikut mengejar Stela.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN