Roni menganggukan kepala perlahan. “Sekitar dua minggu yang lalu. Belum begitu lama. Kalau film Korea Along with The Gods itu benar. Dia akan masih eksis di sekitar kita paling tidak sampai lima mingguan ke depan.”
Bulu kuduk di sekujur tubuh Gio semakin meremang. Ia benar-benar tidak habis pikir. Masalahnya kemarin itu semua yang terjadi terasa sungguh nyata. Ia bahkan sangat yakin pada indera penglihatan dan ingatannya. Semua tidak mungkin salah.
Tapi, yang namanya keyakinan memang tidak hanya utarakan kebenaran.
Gio bertanya lagi, “Maafkan aku kalau ini akan jadi kurang sopan atau seperti tidak berempati. Tapi, apa yang membuat anak itu sampai kehilangan nyawa?”
Roni mendangakkan kepala. Menatap lurus ke arah jendela kecil di dinding bagian atas. Dengan (semakin) lirih melontarkan jawaban, ”Dia menjadi tumbal.”
”HAHH??!!!” pekik Gio. Sangat terkejut sampai sebagian tubuh bagian atasnya terangkat dari permukaan tempat tidur.
Salah satu siswi PMR yang berjaga di dekat sana langsung menegur, ”HEH! Kamu itu benar-benar sakit apa tidak? Kenapa bisa sampai teriak-teriak segala? Kalau sudah sembuh cepat kembali ke kelas sana!” perintahnya.
Roni menatap lurus wajah Gio, “Kamu sudah sembuh?” tanyanya “polos”.
Gio kembali membaringkan tubuh dengan sempurna. Rasa sakit yang sepersekian detik sempat sirna barusan. Telah kembali menjalari sekujur tubuh. “Aku rasa orang sedang sekarat juga akan otomatis melakukan hal seperti aku barusan. Kalau tau teman sekelasnya baru saja meninggal karena hal seperti itu.”
Roni mendekatkan wajah ke telinga Gio. Berkata lagi, ”Aku harap kamu tidak mengatakan soal hal ini pada siapa pun. Terlebih teman sekelas kita.”
”Aku pikir itu sudah jadi rahasia umum. Makanya kamu sampai berani menceritakannya padaku,” pikir Gio.
“Aku mengatakan hal ini padamu hanya karena kamu baru saja mengalami kejadian mistis yang berhubungan dengan dia. Sebagian anak di kelas kita hanya tau kalau dia wafat karena mengalami kecelakaan kendaraan bermotor,” beritahu Roni.
”Tolong ceritakan padaku, Ron… alasan kenapa kamu dan perangkat kelas lain bisa sampai menyimpulkan sesuatu yang sangat mengerikan,” pinta Gio.
Bukan melakukan apa yang teman sekelasnya inginkan. Roni malah mendirikan tubuh dan berkata, ”Akan aku ceritakan apa yang sebenarnya sudah kami alami. Tapi, tidak di tempat ini,” liriknya ke arah kelambu yang menembus meja jaga para siswi maupun siswa PMR.
Tempat ini terlalu "terbuka" untuk jadi tempat penguakan kenyataan yang tidak terbayangkan.
*
Usai kegiatan belajar mengajar sekolah. Gio yang sudah kembali ke kelas sejak jam pelajaran pertama setelah istirahat kedua. Mendekati Roni yang tampak mulai memisahkan diri dari gerombolan teman kalangan elitnya. Mereka berdua pun berjalan bersama menuju pintu gerbang yang dekat dengan parkiran mobil.
”Kamu biasa pulang naik apa?” tanya Roni. Mengawali obrolan mereka. Karena selama ini tidak begitu dekat. Tentu akan terasa canggung jika setelah bertemu lagi tiba-tiba harus langsung masuk ke topik pembahasan utama.
”Naik bis umum. Atau angkutan kota,” jawab Gio jujur.
Roni langsung tampak cukup terkejut. Padahal dari seragam yang mereka kenakan saja. Sudah jelas lah berasal dari sekolah macam ”apa”. Dan terasa cukup tidak biasa ada anak seperti ”mereka” melakukan hal seperti itu.
Yah, bukannya pasti tidak ada juga. Hanya kurang biasa.
“Aku lebih suka bepergian menggunakan moda transportasi umum. Itu membuat bisa lebih banyak berinteraksi dengan orang lain. Bahkan juga mendengar kebisingan yang nyaman,” lanjut Gio.
”Kamu unik ya ternyata. Jadi ingin coba pulang sekolah naik kendaraan umum juga, nih,” ucap Roni. Mempercepat langkah menuju sebuah mobil Alphard yang telah menunggu di parkiran.
”Ada apa, Mas Ron?” tanya seorang pria bertubuh kecil dengan seragam safari yang terlihat seperti supir anak remaja itu.
“Saya mau pulang sekolah bersama teman. Mas pulang saja sendiri, ya,” jawab Roni memberitahu alasannya tidak bisa pulang seperti biasa hari itu.
Si supir mengiyakan. Ia pun bergegas menggas kendaraannya untuk kembali ke rumah.
Tertinggallah Gio dan Roni “berduaan”. Bersama hendak menyusuri trotoar untuk mencapai halte bis kota paling dekat.
”Enak juga ya ternyata berjalan kaki di trotoar seperti ini. Ketimbang naik kendaraan pribadi yang hanya menghasilkan polusi,” komentar Roni asyik melompat-lompat di trotoar bagus dan terawat.
”Jadi, bagaimana asal kejadiannya?” tanya Gio memotong euphoria si anak remaja di sampingnya. Ia ingin segera mendengar alasan dari kematian anak itu. Karena ia merasa khawatir karena sesuatu.
Roni pun mulai bercerita, ”Alkisah waktu itu aku sebagai bendahara kelas, Hafza sebagai wakil ketua kelas, dan Angie sebagai sekretaris kelas datang ke rumah Lintang untuk berbelasungkawa mewakili seluruh kelas…”
”Kenapa tidak satu kelas saja datang berbelasungkawa? Kalau yang meninggal aku. Aku bisa paham hanya segelintir saja yang mau datang melayat. Tapi, anak itu kan pasti popular dan punya banyak teman,” tanya Gio penasaran. Habisnya memang cukup tidak biasa, ’kan?
”Yah, itu karena memang orang tuanya sendiri meminta agar hanya perwakilan kelas saja. Yang datang untuk menunjukkan belasungkawa,” jawab Roni.
”Lalu, kalian tau dari mana? Rasanya tidak mungkin deh kalau orang tua anak itu yang bilang sendiri ke perwakilan kelas seperti kalian. Nak, Lintang baru saja meninggal karena menjadi tumbal pesugihan. Begitu kan tidak mungkin,” tanya Gio dengan intonasi suara datar.
Roni langsung membatin, anak ini bicara serius atau bercanda kadang tidak ada bedanya. “Yah, itu karena kami tidak sengaja mencuri dengar percakapan di antara para pembantu di rumahnya. Mereka mengetahui hal itu dari seorang paranormal yang ditugaskan untuk memeriksa kematian Lintang.
”Waktu itu begini…”
*
”Afra, Aura, Yasmin, Mutia, kalian semua harus jauh lebih hati-hati lagi setelah kejadian ini. Dalam menyajikan makanan untuk majikan kita,” ucap seorang pembantu yang tampak paling senior.
”Memangnya Mas Lintang itu wafatnya kenapa toh, Mbak?” tanya seorang pembantu bersuara cempreng bernama Aura penasaran.
”Saya dengar saat Ki Manteb Sudoyono berbincang dengan Tuan dan Nyonya. Mas Lintang itu mengalami kematian yang belum waktunya, tapi bukan dibunuh. Melainkan dijadikan tumbal oleh ’sesuatu’. Setelah itu dia memberitahu saya untuk mewaspadai beberapa jenis bahan makanan yang memiliki ciri tertentu.
”Karena bisa jadi bahan makanan yang memiliki ciri seperti itu telah mendapat guna-guna entah dari siapa. Bisa jadi dari pedagangnya sendiri. Bisa jadi dari pembeli lain yang memang ingin menebar bala penyakit saja.
”Jadi, ciri-cirinya adalah…”
*
”Seperti itu,” tutup Roni.
”Jadi, apa kira-kira kamu tau apa yang menyebabkan Lintang bisa sampai menggoda aku seperti itu?” tanya Gio serius. Sekujur tubuhnya masih sangat merinding. Tapi, walau kenyataan itu mengerikan. Ia merasa harus tetap mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dan berhenti bersikap acuh tak acuh.
Roni tersenyum lebar. Ia mengangkat kedua telapak tangan ke udara. Menjawab, ”Wah, maaf, ya. Aku bukan paranormal atau orang pintar. Aku sama sekali tidak akan bisa memberimu jawaban.
”Tapi...”
”Tapi apa?” tanya Gio.
“Aku pernah dengar dari suatu tempat dulu.” Roni menghadapkan kedua telapak tangannya, tapi tidak sampai menempel. ”Dunia manusia dan dunia mereka yang tidak terlihat itu dibatasi oleh sebuah dinding penghalang yang sebenarnya cukup tipis. Nah, yang membuat dinding itu tetap berfungsi sebagaimana mestinya walau tidak begitu tebal adalah kekuatan diri kita sendiri sebagai manusia. Kesadaran kita. Orang-orang yang pada suatu waktu mengalami peristiwa dapat menyaksikan penampakan atau yang semacam itu. Kemungkinan besar sedang berada dalam fase yang ’lemah’. Lemah artian dari luar maupun dalam,” terang anak remaja itu serius.
”Ya ampun, dunia ini ternyata mengerikan sekali. Selalu ada iblis di mana saja manusia berada,” komentar Gio seraya memandang ke kejauhan.
Roni tersenyum dan mengacungkan jari telunjuk. ”Karena manusia sendiri adalah separuh iblis, Gio. Aku, kamu, mereka, kita semua. Adalah iblis yang memiliki bentuk fisik saja.”
”Yah, kamu tidak salah,” sahut Gio.
*
Sesampai di daerah di mana kediaman sang papa berada. Dari kejauhan ia melihat bangunan rumah dengan cat berwarna abu-abu itu tak ubahnya sebuah istana iblis. Ya, karena ibl*s paling kejam dan keji yang ia kenali di dunia ini berada di sana. Tinggal di sana. Dan menjalani kehidupannya di sana. Dalam kebahagiaan yang tercipta usai mengakibatkan penderitaan bagi kehidupan orang lain.
Tapi, yang namanya iblis mana sadar juga sih kalau mereka itu jahat.
“Eeehh, Gio sudah pulang sekolah,” “sambut” sang mama tiri.
Dengan sinis anak remaja itu membalas, “Ya iya lah sudah jelas aku baru pulang. Tidak perlu deh sok asyik dengan menegur segala. Jijik aku mendengar suara dan melihat wajahmu,” balas Gio kasar. Hendak naik ke lantai dua.
“Sebelum istirahat sebaiknya kamu pergi ke dapur dan urus makan malam untuk kami semua dulu ya, Sayang,” pinta wanita itu “ramah”. Sekaligus minta dipukul pakai talenan wajahnya.
Gio terdiam di tempat. Kalau yang namanya iblis itu memang ada. Ia harap mereka bisa segera membawa wanita itu bergabung di neraka saja. Mereka pasti bisa lebih bersenang-senang jika bersama. Karena satu spesies.
Khaa kha kha.
Namun, akal sehat anak remaja laki-laki itu segera mengatakan hal berbeda. "Tanpa" sadar tubuhnya bergerak mengikuti keinginan si mama tiri. Gio merasa ia masih harus banyak bersabar untuk mendapatkan apa yang ia kehendaki di masa depan. Gio Sr. menganggap wanita bekas p***n itu sebagai bidadari (neraka). Pria itu bahkan tak segan menyakiti dirinya. Apabila sampai melakukan hal yang tidak wanita itu sukai.
Sungguh menyebalkan sekali.
”Aku sangat ingin menghabisi kalian semua... aku sangat ingin menghabisi kalian semua... aku sangat ingin menghabisi kalian semua... aku sangat ingin menghabisi kalian semua... aku sangat ingin menghabisi kalian semua... aku sangat ingin menghabisi kalian semua... aku AKAN menghabisi kalian semua...” ucapnya berkali-kali. Seraya memotong-motong daun bawang dengan tatapan penuh “hasrat”.
Kreesh kreesh kreesh kreesh kreesh kreesh kreesh kreesh kreesh kreesh kreesh!
”Suatu saat akan aku buat tubuh kalian semua jadi tercerai berai seperti potongan daun bawang ini!” tekadnya.
KRESH!!!
"Aku bersumpah atas nama pembuluh yang mengalirkan cairan merah kehidupanku...!"