“Akira maafkan aku! Apa yang kamu lihat tidak sesuai dengan apa yang kamu pikirkan. Kedatangan Raka kemari karena dia sering diikuti oleh makhluk tak kasat mata.”
“Sudahlah Sekar. Aku tidak mau membahas ini,” sahut Akira.
“Kamu harus tahu duduk permasalahannya, biar kamu tidak salah paham begitu. Dokter Raka kemari karena butuh bantuan Dokter Diah agar terlepas dari gangguan makhluk itu! Sedangkan aku bekerja di sini bukan menjadi perawat seperti kamu yang setiap hari merawat pasien manusia. Sementara aku merawat pasien dari golongan jin dan lainnya,” terang Sekar.
“Apa pun pembelaanmu. Aku hanya gak ngerti saja, kenapa kamu setiap hari begitu akrab dengan Mas Raka. Kamu tahu aku menyukainya, tapi kamu justru sengaja di depan mataku sendiri sangat mesra dengan Mas Raka.”
Sekar terdiam karena memang ini adalah kesalahannya juga. Dua hari berada di sini Dokter Raka memang mendekati Sekar agar mau di bawa ke Surabaya.
“Aku tidak menyukai Dokter Raka. Memang aku akui salah tadi Akira, tapi kejadian tadi karena tidak sengaja! Aku harus menjelaskan bagaimana lagi?”
“Kamu tidak perlu menjelaskan! Tindakanmu sudah menjelaskan semuanya.”
“Akira, asal kamu tahu. Dokter Raka bukan pria yang baik. Ada sosok wanita yang selalu mengikutinya, wanita itu menuntut balas atas kematiannya.”
“Sekar! Bukankah aku sudah bilang berhenti membahas soal ini. Kamu gak perlu menjelekkan Mas Raka. Aku tidak percaya dengan apa yang kamu katakan kecuali aku melihat dengan mata kepalaku sendiri.”
Kesalahpahaman kedua sahabat itu membuat hubungan mereka renggang. Akira sudah tak lagi ingin bekerja di rumah sakit milik Dokter Diyah.
Selain sepinya pasien, Akira juga ingin mengembangkan keahliannya dengan menemui banyak kasus.
***
keesokan harinya.
“Akira!” sapa Sekar.
Gadis berambut sebahu itu hanya meliriknya tanpa berucap. “Akira, kalau memang keputusanmu demi mengembangkan ilmu aku akan selalu mendukungmu.”
“Sekar, maaf kalau aku terlalu begitu cemburu. Aku berharap kamu bisa mencari pria yang bisa mengerti keadaanmu. Jangan pernah mencariku lagi!”
Akira pun berpamitan. Saat Sekar ingin memeluk sahabatnya. Bulir air mata pun membasahi pipi.
“Maafkan aku Akira.”
Lambat laun rumah sakit semakin sepi hingga akhirnya membuat Dokter Diah menutup rumah sakit untuk beroperasi.
Satu tahun berlalu, Sekar yang masih berada di rumah bunga, telah mewarisi beberapa ilmu yang diberikan oleh Mbah Rahwuni. Sementara Dokter Diah mengundurkan diri karena harus pulang ke kota asalnya merawat sang Ibu yang sedang sakit, di Malang, Jawa Timur.
Bersama Mbah Rahwuni sekar mendapatkan banyak ilmu.
“Nduk, simbah ini sudah tua. Mbah berharap kamu juga bisa seperti teman kamu yang lain, bisa bekerja sebagaimana mestinya.
“Iya, Mbah. Sekar paham itu.”
“Dokter Diah memang orang baik. Kamu harus menjaganya, walau kalian terpisah jarak. Karena jika ada sesuatu yang terjadi dengan Diah maka kamu akan merasakannya juga. Kalian adalah muridku, jadi kalian akan terikat batinnya,” pesan Mbah Rahwuni.
Wanita tua yang berusia delapan puluh tujuh tahun ini, sekarang sering merasakan sakit-sakitan hingga akhirnya beliau menutup usia karena sakit jantung.
Sebagai anak yatim piatu, Sekar masih memiliki seorang Ayah tiri yang sangat begitu baik. Namun, semenjak kematian Ayundya ia tinggal bersama dengan Heni di Sumatra.
Hidup sebatang kara membuatnya pergi menemui Dokter Diah di Malang. Dari beliaulah Sekar bisa bekerja di salah satu rumah sakit kecil di daerah Jombang milik rekannya.
***
Di klinik yang baru, Sekar lebih banyak diam, ia tak pernah membahas tentang apa yang ia lihat dan rasakan.
Sekar bekerja seperti layaknya dia seorang perawat, bukan seorang cenayang.
“Sekar, besok kamu dampingi Dokter Dias ke kota Surabaya, bisa kan!” perintah Liana pemilik klinik.
“Kamu ngalamunin apa?” sapa Dina teman satu kos.
“Enggak kerasa aku sudah satu tahun di sini. Aku dulu punya sahabat tapi kami salah paham hingga membuatnya pergi dan aku tidak pernah tahu keberadaannya sekalipun!”
“Pasti rebutan!” Dina sontak tertawa.
“Seneng ya kamu kalau mengolok-olok aku.”
Keesokan harinya, Sekar bersama Dokter Dias mengikuti seminar di Kota Surabaya. Selama perjalanan mereka berdua tak banyak bicara, karena Dokter Dias termasuk pria pendiam. Terlihat dari tutur kata bicaranya, ia begitu sopan. Namun, belum ada satu pun wanita yang bisa meluluhkan hatinya.
“Sekar! Kamu pernah ke Surabaya?”
“Pernah, Dok.”
“Di mana saja?”
“Waktu itu aku mau ke Malang, Dok. Dan busnya transit di bungur asih. Jadi hanya di terminalnya saja.”
Dias tertawa mendengar cerita Sekar. Ini kali pertama, gadis itu melihat dokter yang sudah satu tahun bekerja dengannya tertawa.
“Ya nanti kita jalan-jalan dulu sebelum pulang.”
Sekar tercengang, karena ia baru pertama kali ini melihat Dias sangat begitu baik. Biasanya pria ini banyak diam dan tidak banyak bertingkah.
Pukul sepuluh lebih lima belas menit, mereka tiba di Hotel. Parkiran mobil yang penuh membuat Sekar dan Dias terpaksa parkir di luar.
“Sekar!” panggil Dokter Dias lirih.
“Iya, Dok!”
“Boleh minta tolong?”
“Bolehlah Dok. Kaya sama siapa saja.”
“Di seminar nanti pasti aku akan bertemu dengan teman-temanku. Kalau ditanya kamu jangan banyak bicara, biar aku yang bicara.”
“Baik, Dokter.”
“Satu hal lagi, panggil aku Dias saja! Ingat Dias!”
“Iya, Mas Dias.”
Sekar merasakan ada yang aneh dengan tingkah Dias. Selama berjalan menuju hotel, ia kerap menyentuh tangan Sekar, seakan ingin memeluk tangannya.
“Jangan-jangan aku di sini dijadikan wanita bayaran!” batin Sekar.
Begitu tiba di lobi, Dias bertemu dengan teman-temannya. Mereka saling bercengkerama dan Sekar hanya memilih duduk di sofa.
Kecantikan Sekar memang mengundang perhatian, terlebih pakaian yang dibelikan Dias begitu pas dan anggun dikenakan oleh Sekar.
Sesekali Dias melambaikan tangan dan teman-temannya pun ikut menoleh mengawasinya.
“Nah kan, aku dijadikan pacar palsunya!” gerutu Sekar.
Beberapa menit kemudian, seorang pria datang dan duduk di samping Sekar.
“Maaf ini kosong kan ya kursinya. Bolehkan aku duduk di sini?” tanya pria yang memiliki postur tubuh tinggi dan tampan. Namun, ia hanya sebentar saja duduk.
Beberapa menit kemudian Dias datang menghampiri Sekar, tanpa banyak bicara ia meraih tangan Sekar dan mengajaknya masuk ke dalam ruangan.
“Dokter Raka!” Sekar memalingkan wajah dan memilih pura-pura tidak mengenalnya.
“Ayo kita ke sana!” ajak Dias.
Dias kembali menyapa teman-temannya dan sekar hanya bisa mematung dan berharap Raka tak menyapanya.
“Pacar kamu?” tanya Raka.
“Iya dong, masa iya aku ngajak anak tetangga!” jawab Dias.