Tak terasa, sudah hampir empat tahun Eva dan Declan menikah. Banyak hal yang terjadi baik dalam kehidupan sehari-hari di kantor, di kampus, maupun di rumah. Setiap harinya, Declan semakin sibuk dengan pembukaan cabang hotel baru di beberapa negara. Eva juga mulai sangat sibuk dengan paper dan skripsi (bachelor thesis). Sedangkan di rumah, Declan mempunyai tanggungan baru–seorang wanita dan seorang bayi perempuan yang harus dia lindungi–Francesca dan Leah.
Francesca yang mulai ingin hidup mandiri setelah usia Leah bisa masuk taman kanak-kanak, mulai mencari pekerjaan agar tak terus bergantung kepada Declan. Dia tahu bahwa sepupunya tak akan keberatan walaupun harus menanggung biaya apartemen dan uang makan untuk sepuluh atau seratus orang lagi. Namun, sebagai orang yang tahu diri, Francesca tak ingin terus menerus hidup sebagai beban. Dia ingin menjadi ibu yang membanggakan bagi Leah.
“Maafkan aku karena sepertinya tak bisa datang dan menemanimu saat upacara kelulusan nanti,” bisik Declan sambil mengecup kening Eva. Dia tahu Eva sangat kecewa karena dia tak bisa hadir memberikan ucapan selamat di hari istimewa yang dinantikan.
“Tak mengapa. Urusan bisnis lebih penting, Dec. Lagi pula, ada Frankie dan Leah yang akan menggantikanmu di kursi keluarga,” jawab Eva berusaha tenang saat memeluk Declan erat. Melepas Declan pergi ke Inggris selama sebulan membuatnya merasa rindu bahkan sebelum Declan menapakkan kaki ke jet pribadinya.
Namun, Eva berusaha tenang. Segala kekecewaan dan rasa rindunya bisa ditebus nanti setelah Declan pulang. Bukan masalah baginya. Dia telah menyiapkan rencana besar untuk dirinya dan Declan nanti.
Declan akhirnya menyudahi pelukannya. Dia dan Robert segera naik ke jet, disambut oleh seorang pramugari dan seorang pilot. Hati Eva tersayat. Entah mengapa, dia merasa saat ini melepas Declan pergi bukanlah sesuatu yang tepat. Namun, dia berusaha menepis kekhawatirannya yang tak beralasan.
“Hentikan, Eve. Kau terlalu banyak berimajinasi akhir-akhir ini,” gumam Eva ke diri sendiri sambil menepuk-nepuk kedua pipinya cukup keras.
***
Seminggu di Inggris, Declan merasa tak enak badan. Aktivitasnya akhir-akhir ini terlalu padat. Dia membuka koper untuk mengambil vitamin.
“Di mana Eva meletakkan vitamin C?” gumam Declan sambil mengacak-acak kopernya.
Saat menemukan plastik ziplock berisi obat-obatan dan vitamin, mata hijau Declan mendarat ke sebuah buku yang bukan miliknya–warna merah muda sudah pasti bukan warna kesukaan Declan.
"Ah, Eva pasti salah memasukkan buku harian miliknya ke koperku."
Declan tersenyum mendapati kecerobohan istrinya yang sangat jarang terjadi. Dia meletakkan kembali buku harian Eva ke dalam koper.
Namun, tiba-tiba rasa penasaran menggelitik. Declan sangat ingin tahu apa yang ditulis Eva tentang dirinya di sana. Kurangnya hiburan membuat Declan melanggar privasi istrinya. Dengan senyum jenaka, dia membuka lembar demi lembar buku harian Eva dan terkekeh saat mendapati kekonyolan yang tertulis di sana.
Kadang, hati Declan dibuat berdesir saat dia tahu perasaan Eva yang begitu dalam padanya sebelum mereka menikah.
"Jadi, kau terpesona padaku sejak awal, Eve?" ujar Declan tersenyum. "Harusnya aku tak menahan diri begitu lama untuk menyatakan perasaanku."
Declan terus membaca buku harian Eva tanpa henti. Dia seperti melepas rindu setelah seminggu tidak bertemu.
Robert yang melihat hanya tersenyum geli. Baginya, tak ada pasangan yang paling romantis yang pernah dia temui selain Declan dan istrinya.
Beberapa atasannya yang terdahulu hanya merekrutnya untuk mengelabui istri mereka dengan berpura-pura setia. Padahal, sebenarnya mereka selingkuh di belakang sang istri. Tak seperti Declan yang dia tahu sangat setia walau beberapa wanita mencoba menggodanya beberapa kali.
"Wah, kau rupanya menginginkan bayi, Eve?" gumam Declan tanpa tahu bahwa Robert sedang mengamatinya berbicara sendiri. "Well setelah kau lulus kuliah, kita akan membuat banyak anak, Sayang!"
"Wow, kau ingin operasi agar lebih cantik? Apa kau ingin membuatku tak mau keluar rumah?"
Hanya saja, Declan berhenti bicara saat beberapa lembar terakhir dia baca. Matanya berkaca-kaca membaca perasaan cinta Eva yang begitu tulus padanya. Dia menutup buku harian Eva dan meletakkannya di sisi ranjang.
Declan berjalan ke sisi jendela, mengamati pemandangan kota London di malam hari yang tak terlalu indah baginya. Saat ini, di pelupuk mata Declan bukanlah lampu-lampu yang menghiasi kota di gelapnya malam, melainkan wajah istri yang dia rindukan.
"Aku mencintaimu, Eve. Sangat …."
Hari-hari berikutnya, dilalui tanpa masalah. Hanya saja, kelelahan yang begitu membuat badan Declan tersiksa membuatnya harus mengunjungi dokter.
Robert mendapati atasannya lebih banyak terdiam. "Apakah ada yang bisa saya bantu?"
"Oh, tentu. Tolong kau tebus resep dokter ke farmasi terdekat," kata Declan sambil menyodorkan kertas resep kepada Robert.
"Baiklah," ujar Robert sambil memeriksa agenda untuk mengecek sisa kegiatan mereka malam ini.
Keduanya saat ini memang sedang dalam perjalanan ke pesta yang diselenggarakan oleh salah satu rekan bisnis Declan di Inggris. Namun, satu kejutan hadir di pesta tersebut. Kejutan yang sangat manis. Kejutan yang begitu indah.
"Miranda? Kamu Miranda, bukan?" tanya Declan terbelalak tak percaya melihat mantan kekasihnya.
"Declan?"
***
Hari ini adalah hari kelulusan Eva sekaligus hari Declan akan pulang dari London setelah pergi selama dua pekan lamanya. Tentu saja, Eva telah menyiapkan banyak kejutan untuk dia nikmati bersama Declan.
Eva juga ingin membicarakan tentang anak dengan Declan. Bagaimanapun juga, seperti wanita pada umumnya, Eva sangat ingin menimang bayi. Anak dari orang yang sangat dia cintai.
Namun, saat masih berada di kafe kampus Sarah mendekatinya sambil menyodorkan sebuah majalah yang memotret Declan sedang bersama wanita lain yang diduga kuat bernama Miranda, artis cantik asal Amerika yang tinggal di London selama lima tahun terakhir karena mengikuti keluarganya.
"Aku tadinya tidak ingin membawakan ini padamu. Namun, kurasa kamu harus tahu," ujar Sarah penuh semangat. Maklumlah, Sarah dulunya termasuk orang yang tak percaya bahwa Declan Sawyer akan berubah menjadi pria baik-baik.
Eva menelan ludah. Dia sama sekali tidak percaya dengan berita yang dimuat di tabloid gosip ternama itu. "Ini pasti cuma salah paham. Aku tak percaya!"
Walaupun berkata demikian, hati Eva tetap saja merasa menyempit karena cemas. Apa yang akan dia lakukan bila yang ada di berita benar? Apakah Declan kembali ke kebiasaan lamanya?
Malam itu, dengan harap-harap cemas, Eva menunggu kedatangan Declan di rumah. Dia telah berdandan secantik mungkin dan berusaha berpikiran positif bahwa Declan akan mengatakan bahwa semua yang dikatakan berita itu adalah bohong.
Namun, hingga tengah malam, Declan tak kunjung pulang. Kecemasan Eva pun berganti dengan hal lain. Apakah ada masalah dengan penerbangan Declan? Bukankah seharusnya mereka mendarat empat jam yang lalu di airport?
Eva menghubungi pihak airport. Namun, mereka mengatakan bahwa jet pribadi Declan mendarat tepat waktu. Sedikit kelegaan menghangatkan perasaan Eva. Sekarang dia hanya harus menghubungi Declan atau Robert saja.
Berulang kali Eva berusaha menghubungi ponsel Declan. Namun, tak panggilannya tak diangkat sekali pun. Dia kemudian menelepon Robert.
"Halo, Nyonya Eva, ehm ... ada yang b—"
"Di mana Declan? Bukankah kalian seharusnya sudah sampai rumah?" potong Eva dengan nada tinggi karena khawatir sekaligus marah.
"Ehmm, Tuan .... Tuan tadi sangat lelah. Beliau bilang ingin ke hotel saja."
"Katakan padaku di mana dia sekarang!" bentak Eva hampir menjerit. Perasaannya sudah sangat tak enak.
"Tuan ...."
"Demi Tuhan! Sebutkan kesalahanku padamu hingga kau tak mau jujur padaku, Robert!" desak Eva dengan wajah serius seolah-olah Robert bisa melihat ekspresi wajahnya. Tangannya yang tidak memegang ponsel mencoba menenangkan detak jantungnya yang sudah berpacu dengan demikian cepat.
Karena tak tega dengan kemarahan Eva, Robert pun mengatakan kepada wanita muda itu, di mana posisi Declan saat ini. Tanpa menunda lagi, Eva pun segera ke lokasi yang dimaksud Declan.
Mobil Eva berhenti di lahan parkir Hotel sss. Eva tak mengerti mengapa Declan memilih hotel lain. Bukan hotelnya sendiri.
Saat lift berhenti di angka 81, Eva segera mempercepat langkah menuju kamar 8107. Dia memencet bel berulang kali agar segera dibukakan pintu.
Alangkah terkejutnya Eva tatkala yang membuka pintu kamar adalah seorang wanita cantik berambut coklat gelap acak-acakan. Tubuh jenjangnya hanya berbalut bathrobe satin merah minimalis yang sangat tak pantas untuk menemui tamu. Saat Eva menatap dengan lebih seksama, wanita itu berwajah persis dengan wanita yang diberitakan media. Miranda Thomas!
"Hotel berengsek! Mengapa mengirim petugas cleaning service tengah malam!" gerutu wanita itu sambil memandangi Eva dari ujung rambut ke ujung kaki dengan jijik seolah Eva adalah sosok tuna wisma yang tak mandi berhari-hari. "Apa mau kamu?"
"Siapa yang datang, Sayang?" tanya suara parau lelaki yang sangat Eva kenal.
Betapa terkejutnya Eva saat mendapati suaminya hanya memakai handuk kecil yang dibalut terlampau rendah di pinggang. Suatu pemandangan yang Eva kira saat ini hanya spesial untuk dirinya, tengah dipersembahkan Declan untuk wanita lain.
"Bohong! Ini bohong!"