Matahari menembus sela-sela jendela, menghangatkan ranjang tempat Eva terbaring pagi itu. Eva membuka mata, badannya terasa sangat sakit.
“Apa aku salah posisi tidur?” gumam Eva pelan.
Jam dinding menunjuk angka sepuluh lewat 15 menit. Untunglah ini akhir pekan sehingga Eva tak perlu pusing karena sudah pasti dia terlambat ke kantor bila sekarang adalah hari kerja. Eva hendak beranjak dari tempat tidur tapi tidak bisa karena tubuhnya merasa tertindih sesuatu–lengan kekar seorang pria. Karena kaget, Eva menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya dia dengan apa yang dia lihat.
Declan!
Mata Eva membulat, lalu terpejam lega teringat hal yang semalam dia lakukan bersama Declan. Wajah wanita muda itu merona merah. Benar. Dia telah melewatkan malam yang tak diduga–begitu romantis–bersama Declan.
Eva hendak turun. Dia menyingkirkan lengan Declan yang besar dan berat. Akan tetapi, Declan menolak dan memeluk lebih erat. “Tunggulah lima menit lagi, Eve!”
Eva tersenyum dan membalikkan badan. Dia memandangi wajah tunangannya dengan tatapan takjub, bergantian dengan cincin berlian yang kini tersemat di jari manis kirinya. Karena masih terasa seperti mimpi, Eva mencubiti pipinya sendiri–dan memang terasa sakit–sehingga Eva percaya bahwa semua ini adalah kenyataan.
Declan yang setengah tidur, tersenyum geli melihat tingkah Eva. Dengan mata terpejam, dia berkata, “Apa kau kira ini mimpi? Bila iya, pastilah ini mimpi-basah!”
Eva menimpuk Declan dengan bantal lembut. “Dasar! Itukah hal pertama di pagi hari yang kau katakan pada tunanganmu?”
Declan tertawa terbahak-bahak sambil menggelitiki Eva dan menimpuk Eva dengan bantal yang lain. Perang bantal yang kekanak-kanakan di pagi hari dalam suasana yang sangat dewasa. Tentu saja, perang bantal itu sedikit disesali Eva karena berujung dengan aktivitas lain inisiatif dari Declan.
“Kau membuatku menginginkanmu lagi!” bisik Declan dengan suara serak di telinga Eva.
“Tunggulah sampai aku memesan makan pagi untuk kita!” tawar Eva sambil menahan agar Declan tak mendekat.
Namun, siapa Declan? Dia tak mungkin bisa menahan diri dari wanita yang telah begitu lama dia inginkan berada dalam pelukannya. Tak selang berapa lama, keduanya kembali larut dalam luapan api asmara yang menyala di pagi hari–menjelang siang.
***
“Kau ingin kita berbulan madu ke mana, Eve?” tanya Declan sambil mengunyah sandwich ayamnya–potongan yang ke-enam. Declan melahap sandwich-nya dengan rakus bagai seorang predator karena karena dia sangat lapar. Siapa yang tak lapar setelah berkali-kali melampiaskan hasrat tanpa makan dan minum apa pun di sela-selanya?
“Setiap wanita pasti punya tempat berbulan madu impian, bukan?” lanjut Declan saat melihat Eva kebingungan menjawab.
Eva menggaruk hidungnya yang tak gatal. “Mungkin, lebih tepatnya setiap wanita yang menikah di usia yang tepat akan mempunyai tempat berbulan madu yang mereka impikan.” Eva melempar pandangan mengolok ke arah Declan sambil menggigit kecil sekeping financier di tangannya. “Oh, financier dan kopi adalah paduan paling nikmat.”
Declan lalu mendekati Eva dan merebut gigitan financier di mulut Eva dengan bibirnya–lewat sebuah ciuman tentunya. “Financier dan kamu adalah surga dunia.”
“Dec, hentikan! Itu jorok,” protes Eva yang tentunya tak terbiasa dengan hal-hal nakal yang dilakukan Declan padanya–terlalu berlebihan jika dia harus menerima semua rayuan itu dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.
Declan menatap Eva dalam-dalam. Dia takut Eva mengira dirinya diikat dengan pernikahan. Dia khawatir Eva menyangka masa muda akan berakhir karena terpaksa menikah. Sepertinya, dia harus memberikan penjelasan lebih kepada calon istrinya yang masih sangat belia agar tak terjadi kesalahpahaman setelah mereka menikah nanti.
“Eve, dengarlah. Maafkan aku kalau memberi kesan memaksamu menikah di usia muda.” Declan meletakkan sandwich ke piring dan memandang Eva dengan tatapan serius. “Aku tak akan keberatan bila kau ingin melanjutkan hal-hal yang kau inginkan di masa mudamu.”
“Contohnya? Jalan-jalan dengan temanku?” Eva bertanya dengan gaya jenaka yang manis, mengundang senyuman Declan walau sesaat.
“Kau dulu pernah bilang kalau kau ingin kuliah, bukan?” lanjut Declan dengan wajah bijak dan kebapakan.
Eva mendesah panjang seraya melirik Declan. Dia memang pernah ingin kuliah sebagaimana anak-anak sekolah menengah lain. Dia ingin menjadi seorang pakar ilmu ekonomi yang menulis berbagai artikel berkelas di media cetak yang terpercaya.
Tapi itu dulu, sebelum ibunya sakit. Sebelum Markus mengabarkan bahwa mereka harus berutang ratusan ribu dolar demi pengobatan sang ibu. Sebelum dia bertemu dengan Declan dan terpaksa harus bekerja demi melunasi utang.
Sekarang, Eva bahkan sudah tak pernah menginginkan hal semacam itu lagi. Terlintas pun tidak. Dia hanya ingin hal-hal yang lebih realistis untuk menjalani hidup. Hidup yang tak ideal bagi orang tak mampu secara finansial. Namun, dia tak ingin menjalaninya dengan penuh beban.
Ternyata, kondisinya yang sekarang, sebagai calon Nyonya Sawyer yang tentunya tak akan memiliki masalah keuangan, tak memberikan rasa percaya diri lebih bagi Eva dalam melihat dunia. Dia memang tak ingin menikah muda. Namun, tentunya berbeda bila yang melamar adalah orang yang dia cintai. Siapa yang akan mengatakan tidak?
Demi melunasi utang dan menyelesaikan masalah keluarga, Eva rela meninggalkan mimpinya. Apalagi demi menikahi orang yang dia cintai. Dia tak akan segan meninggalkan keinginan-keinginannya saat dia masih polos.
“Apakah itu mungkin?” Pertanyaan Eva yang terdengar sangat pesimis meluncur begitu saja dari bibir mungil wanita muda itu. Dia menatap datar dan putus asa. “Kuliah dalam kondisi menikah. Tak pernah terlintas pikiran semacam itu di kepalaku.”
“Mengapa tidak?” sanggah Declan atas keberatan Eva. “Kamu tak harus hamil dan menyusui anak, bukan? Regina bisa mengurus semua pekerjaan rumah. Aku bisa menambahkan jumlah asisten rumah tangga penuh waktu bila kau mau. Kau bisa melakukan apa pun semaumu? Bersenang-senang dengan Rebecca dan yang lain, kuliah, atau bahkan aktif di kegiatan amal.”
Eva terdiam karena masih ragu. Jalan-jalan dan bersenang-senang dengan kawannya adalah perkara yang jauh berbeda dengan kuliah. Jarang sekali dia mendengar orang yang sudah berumah tangga yang masih menempuh pendidikan sarjana–dan tetap bisa belajar tanpa hambatan berarti.
“Kau tahu, bukan? Banyak pasangan yang serumah saat kuliah. Tak jarang beberapa di antara mereka hamil baik dengan pasangan sendiri atau bukan,” lanjut Declan meyakinkan. “Lalu apa yang membuatmu ragu? Aku bahkan tak akan keberatan bila kau menunda kehamilan sampai kau siap.”
Declan mendekati Eva dan berlutut di samping wanita yang dia cintai. “Aku menikahimu karena ingin menunjukkan kepada dunia bahwa aku serius dengan hubungan kita. Aku ingin menunjukkan bahwa Declan Sawyer telah berubah.”
Declan lalu menangkup wajah mungil Eva dengan kedua telapak tangannya. “Dengan menikahimu, aku sama sekali tak ingin menghalangimu meraih mimpi.”
Eva tersenyum mendengar penuturan tulus Declan. Dia memeluk Declan dengan erat dan Declan pun membalasnya dengan lebih erat lagi. Entah berapa lama hal ini berlangsung. Sangat lama tentu karena mereka berdua sepertinya tak berniat memisahkan diri satu sama lain.
“Jadikanlah aku mimpi indahmu, Eve. Jadikanlah aku semangat hidupmu,” bisik Declan lembut dan pelan seraya mengecup kepala Eva penuh kasih sayang.
Bersama Declan, seharusnya Eva memang harus lebih optimis menjalani hidup. Eva kemudian berjanji pada diri sendiri bahwa dia akan berubah. Dia tak boleh lagi menjadi Eva yang putus asa. Tak boleh lagi menjadi Eva yang menjalani hidup dengan pikiran ‘asalkan aku tak kelaparan’.
Langkah pertama, tentulah dengan menetapkan tempat yang indah untuk bulan madunya dengan Declan nanti. Dia harus bisa membayangkan sesuatu yang dia inginkan dan mengungkapkannya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita berdua pergi ke Capri untuk bulan madu?” tanya Eva setelah berpikir beberapa saat. “Aku memang belum pernah memikirkan tempat ideal untuk bulan madu. Namun, kau pasti setuju, bukan, kalau bulan madu bisa dilakukan berkali-kali?”
Declan memisahkan diri dari pelukan Eva, kemudian mengecup keningnya. “Ke mana pun dan berapa kali pun, akan aku penuhi maumu.”
“Ke bulan?”
“Ayo!”
Eva tertawa mendengar kesanggupan Declan. Tentunya, tawa Eva semakin keras saat dia mendengar kelanjutan dari pernyataan Declan setelah dia berpikir lebih lanjut. “Tidak. Di bulan kita tak akan bisa bersenang-senang dengan bebas.”