Malam hari, setelah Declan terlelap Eva ingin meminta izin untuk pulang karena akan sangat canggung bila dia tidur di dalam satu ruangan dengan Declan. Namun, dia melakukan kesalahan dengan tidak menanyakan apa yang harus dia lakukan saat Declan masih terjaga. Apa boleh buat. Akhirnya, Eva terpaksa tidur di sofa hingga pagi.
Pagi hari, Eva bangun lebih awal dari Declan. Karena melihat Declan yang masih belum bangun hingga pukul tujuh, Eva khawatir pria itu akan terlambat ke kantor. Padahal, dia belum pulang dan tak ada pakaian ganti untuknya.
Oleh karena itu, Eva menelepon resepsionis hotel dan meminta tolong agar dia bisa mendapatkan pakaian ganti untuk Declan. Tak lupa dia mengecek ukuran setelan Declan dan warna yang kira-kira cocok untuk pria itu. Tentu saja, Eva menggunakan nama Declan agar dia bisa memastikan akan mendapat pakaian ganti untuk Declan tepat waktu.
“Mohon tunggu sebentar. Kami akan segera menyiapkannya untuk Anda,” jawab resepsionis dengan suara yang lembut dan menyenangkan.
Pelayanan yang mengesankan membuat Eva paham mengapa Hotel Glory menjadi salah satu hotel terbaik di kota ini. Tak perlu menunggu lama, pakaian ganti untuk Declan sesuai dengan yang Eva pesan telah tiba di kamar.
Eva lalu memesan chocochips cookies dan financier untuk dimakan Declan sebagai sarapan bersama kopi. Perpaduan ringan yang cocok di pagi hari karena Eva tak tahu selera makan Declan.
Harum kopi dan cookies yang baru matang menguar di dalam ruangan, menggelitik bulu hidung Declan, dan membuat pria itu terjaga dari mimpi indahnya. Dahi pria itu mengernyit saat melihat Eva masih di dalam kamar dan menyiapkan sarapan untuknya.
“Kau semalaman di sini?” tanya Declan penasaran. “Kau tidur di mana?” Kecurigaannya pada Eva meningkat karena tak ada selimut di tempat lain di kamar itu.
“Saya tidur di sofa, Tuan.” Eva menjawab dengan tenang dan santai seolah tidur di sofa bukan masalah besar bagi gadis itu.
“Tanpa selimut?” Declan membayangkan betapa tidak nyamannya Eva tidur di sofa tanpa selimut dan hanya memakai bantal sofa yang kecil. Tubuh jenjang gadis itu pastilah terlipat karena sofa di kamar itu tak cukup panjang untuk meluruskan kakinya. “Pasti badanmu sakit dan pegal-pegal. Mengapa tak pulang saja?”
“Saya bingung, Tuan. Tadinya, ‘kan, saya tidak diizinkan pulang. Dan Tuan tertidur saat saya pijat. Jadi, saya memutuskan untuk tidur di sofa saja,” jawab Eva dengan ragu. Apakah dia akan dibilang konyol bila berkata jujur? Namun, dia sadar. Tak ada gunanya juga menutupi kejadian semalam dengan kata-kata manis yang menjilat.
Declan menutup mulut, tersenyum simpul, menertawakan kelakuan Eva yang benar-benar lugu di balik telapak tangannya. Dia tak ingin terlihat ramah di hadapan Eva.
“Saya sudah menyiapkan cookies untuk sarapan dan baju ganti untuk Anda.” Eva membawakan nampan sarapan untuk Declan ke ranjang dan menyiapkan meja kecil agar Declan tidak perlu turun dari tempat tidurnya.
Namun, Declan tetap saja jual mahal dan tak mau menerima perhatian Eva. “Apa kau pikir aku lumpuh? Taruh saja makanannya di meja!”
Declan bukanlah orang jahat. Hanya saja, egonya terlalu tinggi untuk mengagumi kecekatan Eva yang katanya baru lulus sekolah menengah. Dia mengira anak seusia Eva hanya tahu caranya tertawa dan menarik perhatian lawan jenis dengan pakaian mereka yang minimalis.
"Saya permisi pulang dulu, Tuan!" pamit Eva tak lama kemudian.
"Hei, ini sudah jam 7:30. Bukankah aku memintamu untuk datang ke kantor jam sembilan? Kau akan terlambat bila pulang sekarang," cegah Declan.
"Tapi, saya tak mungkin ke kantor dengan pakaian seperti ini, Tuan." Eva tersenyum getir menatap penampilannya sendiri yang masih memakai mini dress warna marun. Dia akan dikira wanita màlam bila berpenampilan seperti itu ke kantor.
"Kau bisa melakukan semua persiapan ini untukku, tapi kau tak bisa melakukannya untuk dirimu sendiri?" cemooh Declan seraya meneguk kopinya yang masih panas.
"Saya tak punya uang untuk membayar." Eva berkata demikian tanpa bermaksud apa-apa. Dia hanya ingin diizinkan pulang dan mengambil pakaiannya sendiri yang lebih pantas untuk dipakai ke kantor.
Namun, tentu saja Declan mengira Eva memintanya untuk membayar semua itu untuknya, hal yang biasa dilakukan teman-teman kencan Declan. "Aku yang akan membayar. Siapkan dirimu sebaik mungkin dan jangan membuatku malu karena mulai hari ini kau adalah asisten pribadiku!"
Eva sangat terkejut sekaligus senang mendengar pernyataan Declan. Apakah dia sudah dianggap pantas bekerja? Bukankah Declan bilang dia harus menjalani tes terlebih dahulu? Eva lalu melihat Declan yang sedang menikmati sarapannya dan pakaian yang tergantung di kloset.
Tampaknya, usahanya semalam dan pagi ini tak sia-sia. Dengan senyuman optimis, Eva segera menelepon resepsionis lagi dan meminta bantuan untuk menyiapkan satu set pakaian wanita untuknya.
"Satu hal lagi. Panggil saja aku Declan. Aku merasa geli bila asistenku memanggil dengan panggilan lain."
"Baik …, Declan!"
***
Eva menjalani masa percobaan selama satu pekan. Asisten pribadi Declan yang lama, Alana, mengajarkan semua hal kepada Eva. Alana terkesan dengan kecekatan dan kesungguhan Eva dalam bekerja. Wanita itu merasa tenang bahwa Declan menemukan penggantinya yang baik.
“Kau beruntung sekali. Di mana kau menemukannya?” tanya Alana siang itu. “Aku rasa, dia akan membantumu sebaik aku. Oh, tidak! Mungkin dia bisa membantumu dengan lebih baik lagi.”
Declan hanya tersenyum mendengar penuturan Alana. Dia tentu tak tega bila harus mengatakan yang sebenarnya tentang pertemuannya dengan Eva. Hal itu bisa menyebabkan gosip tak sedap. “Aku memungutnya dari pinggir jalan.”
Tentu saja jawaban Declan mengundang pertanyaan besar bagi Alana. Dahi wanita itu berkerut sambil melempar pandangan penasaran ke arah Declan.
Declan yang dipandang seperti itu pun langsung sadar diri. Dia tertawa sambil menjelaskan singkat tentang latar belakang Eva.
“Dia anak Markus!” ujar Declan meralat pernyataan sebelumnya sambil tersenyum.
“Markus Meyer?” tanya Alana yang tentu langsung dijawab dengan anggukan Declan. “Dia punya anak secantik itu?”
Declan hanya menjawab dengan senyuman tanpa mengalihkan pandangan dari laptop. Dia melanjutkan kembali pekerjaannya dan meminta Alana membuatkannya kopi. “Oh, jangan lupa tambahkan dua keping financier,” pinta Declan sebagai tambahan.
“Biasanya kau tak suka cookies?” tanya Alana keheranan. “Tapi akhir-akhir ini kau selalu meminta financier.”
Kecerewetan Alana memang membuat Declan sering merasa terganggu. Bila bukan karena dia sangat piawai bekerja, pasti sudah lama Declan mengusirnya.
"Dulu aku tak suka cookies, sekarang aku suka cookies. Ada masalah? Bukankah itu seperti mengganti dirimu dengan Eva?" tanya Declan dengan malas.
Alana hanya tersenyum dengan ekspresi keibuan. Dia tahu, beberapa perubahan kecil Declan akhir-akhir ini sepertinya disebabkan oleh asisten barunya.
Suatu hari, kapal yang berlayar pasti akan berlabuh juga. Mungkin, seperti itu juga dengan hati Declan. Alana berharap, semoga Declan bisa menemukan orang yang tepat.
***
Kinerja Eva yang baik hanya membuahkan satu hal: efisiensi pekerjaan Declan. Gadis itu benar-benar tahu apa yang dia kerjakan. Seperti kata Alana, Eva bisa membantu Declan dengan jauh lebih baik.
"Eva, tolong rapikan tumpukan dokumen ini!" perintah Declan tanpa peduli seberapa tinggi tumpukan dokumen yang dia sodorkan pada gadis itu.
"Baik, Dec!" Eva memboyong segunung kertas itu ke meja dan memilahnya sesuai dengan kategori yang tepat agar mudah dicari lagi. Pekerjaan yang membosankan itu dilakukan Eva dengan cepat.
"Oh, sudah selesai? Kalau begitu, siapkan bahan meeting besok pagi!" Begitulah seterusnya. Selesai pekerjaan yang satu, datang pekerjaan yang lain.
Declan senang dengan pekerjaan Eva. Dia tak perlu menceramahi dan menjelaskan apa yang harus Eva lakukan karena gadis itu dengan cerdas mempelajari petunjuk dari Alana. Bila Eva bingung, dia akan mengambil rujukan dari dokumen tahun-tahun sebelumnya. Benar-benar asisten yang sangat memenuhi kriteria yang Declan inginkan.
Walaupun pekerjaan terasa begitu berat karena sesekali Eva harus membereskan kebutuhan di penthouse Declan, Eva tetap berusaha dengan baik karena gajinya sangat besar. Dia hanya akan menerima sepuluh persen saja dari total gaji karena sisanya dipotong untuk pelunasan utang. Sepuluh persen itu dia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan jumlahnya relatif cukup karena Eva orang yang pandai berhemat.
Hal lain yang menyenangkan tentang pekerjaannya saat ini, Eva hanya dikontrak selama tiga tahun saja. Setelahnya, Eva bisa bebas untuk menentukan karir. Apakah dia akan tetap bekerja dengan Declan, atau memilih pekerjaan lain.
Hanya ada satu hal yang kurang Eva sukai dari pekerjaannya. Bukan karena menguras tenaga, melainkan karena dia juga harus mengurus segala keperluan pribadi Declan, termasuk memesan hotel atau restoran lain untuk acara kencan. Walaupun tentu saja semua bisa dilakukan di hotelnya sendiri, tetapi seringkali teman kencan Declan menginginkan tempat lain untuk selingan.
"Eve, jangan lupa kirimkan bunga dan hadiah untuk semua teman wanitaku selesai berkencan!" ujar Declan mengingatkan sore itu. "Oh, ya. Jangan lupa juga mengirim hadiah di hari ulang tahun mereka dan setiap hari istimewa."
"Baik, Dec!"
Seharusnya, dia tak pernah menjelekkan Declan yang playboy. Sekarang, dia merasa terkena kutukan karena harus menjadi bagian penting dari kebiasaan Declan yang suka berganti-ganti pasangan.
"Ya, Tuhan! Hidup di dunia macam apa aku ini sampai-sampai harus memfasilitasi kebiasaan buruk pria semacam Declan?"