Part 3

1725 Kata
"Aku Jul—" Julian mengaduh, Kiki menyikut perutnya. Lalu tangannya ditarik paksa. "Tante, maaf, kita cari Julian dulu ya," ujar Kiki. "Sebentar kok.” Di sisi lain Hazel berhenti di salah satu jalanan sepi di komplek rumah Julian. Tidak ada mobil atau motor yang lewat. Ia memilih duduk di trotoar dan menghidupkan ponselnya. Beberapa pesan masuk, salah satunya dari Aneshka. Hazel membuka pesan itu. Lalu membacanya secara acak. Ia menggulir ke pesan yang lain, nama ayahnya muncul. Wajahnya langsung kusut setelah membacanya. "Ketemu!" seru seseorang yang Hazel kenal suaranya. "Ngapain lo di sini?" "Jemput lo." Hazel langsung mendongak dan mendapati wajahnya yang kini begitu ia benci akhir-akhir ini. Bukan karena wajah itu jelek atau apa, tapi karena ruh orang lain yang menempati tubuhnya itu punya sifat yang benar-benar menyebalkan. "Temen lo mana?" tanya Hazel mengalihkan perhatian, Julian tidak langsung menjawab dan ikut duduk di trotoar. "Gue suruh pulang, gue juga mau pulang," jawab Julian santai. "Ke rumah lo?" "Ke rumah lo lah." "Kenapa?" "Sejak lo bikin reputasi gue buruk di depan orang-orang lo masih tanya kenapa? Sekarang gini ya, Zel. Kita bikin perjanjian aja supaya semuanya sama-sama enak. Sekarang lo balik ke rumah gue dan bilang baik-baik kalau yang tadi bukan apa-apa. Karena nggak segampang itu gue ngaku ke Mama.” Hazel tak menjawab. Matanya memandang jalanan yang kotor karena daun pohon yang berserakan di atasnya. "Gue pasti nemuin cara buat bikin kita balik. Gue—" Julian tak melanjutkan kata-katanya ketika sebuah lengan merangkulnya. Ia merasakan sensasi geli saat rambut mendesak lehernya. Tapi itu cuma sebentar. "Thanks." Hazel berdiri dan membersihkan celananya. Julian menatapnya dari bawah. "Gih, lo balik. Gue juga mau balik." "Tapi perjanjian—" "Iya," potong Hazel, "gue bilang ke nyokap lo kalau nggak ada apa-apa." Tanpa ingin melanjutkan percakapan mereka, Julian segera pergi dengan perasaan yang begitu aneh. Sejak kulit mereka bersentuhan, Julian merasakan sesuatu yang hangat menjalar ke tulang belakangnya. Namun seluruh tubuhnya menggigil. Pagi harinya Julian bangun tanpa alarm. Benda mati yang sudah disetel jam lima pagi seperti biasanya tak lagi terdengar olehnya. Mata julian melirik jam itu, pukul tujuh kurang lima belas menit. Seperti dibius oleh kantuk luar biasa, Julian memejamkan matanya lagi. Tak lama kemudian jam yang menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit itu terbayang-bayang di otaknya. Berjalan naik ke atas lalu menghilang, dari bawah muncul lagi dan menghilang ke atas. "AH, TERLAMBAT!!!" Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk Julian cuci muka, gosok gigi dan mengganti pakaian seragamnya. Ia menyesali kegiatan begadangnya dan baru tidur pukul tiga dini hari itu. Dengan cepat ia menyambar kunci motor Hazel di meja sambil berpikir ditaruh di mana motor itu. Selama ini ia tak pernah memakai motor itu dengan alasan takut Aneshka minta jemput. Ia sama sekali tidak  menaruh perasaan apa pun pada Aneshka. Cewek itu cantik, Julian mengakui. Tapi digelayuti tiap hari di sekolah bukannya membuatnya senang justru semakin risih. Begitulah jadi introvert, sibuk dengan urusan ketenangan diri sendiri. Punya ruang lingkup pertemanan yang minim dan rela menghabiskan waktu berjam-jam di dalam rumah. Apalagi setelah ia mengenal bagaimana pribadi Hazel dan teman-temannya. Mungkin hidup mereka terlalu berantakan, pikirnya. Sebelum pergi tour singkat mencari motor Hazel, Julian melirik sebentar ke meja makan. Sesuatu menarik perhatiannya. Dengan dasi abu-abu yang berantakan di kerahnya, ia membetulkan tas ransel di bahu dan menuju ke meja makan. Dahinya berkerut melihat cake sebesar kepalan tangan di meja. Di bawahnya terselip note kecil berwarna biru muda. Ia penasaran dan membacanya. Selamat ulang tahun, Hazel. –dari Bunda Julian tak bisa berkata apa pun dan bergegas ke sekolah dengan apatis. Gerbang sekolah sudah ditutup dan untung negosiasinya dengan security yang berjaga di depan gerbang mendapatkan hasil. Kini meski harus masuk ke kelas dengan satu sepatu, Julian sangat mensyukuri itu. Paling tidak hukumannya ringan. Ia hanya harus mengambil sepatunya nanti selepas bel istirahat berbunyi. Julian bersumpah, ini akan menjadi satu pengalaman terhebatnya karena pernah terlambat ke sekolah. Adam menyenggol lengan Julian yang sedang dalam lelah akut karena berlari naik ke lantai tiga. "Kenapa?" "Irfan cari masalah lagi tuh," bisik Adam. Julian melirik ke arah ibu Cecillia, guru Matematikanya yang killer, sebelum menjawab, "Dia nyariin gue?" Meski tak menoleh, Julian tahu Adam menggelengkan kepalanya. "Dia mukulin anak kelas 2." "Siapa?" "Kata anak-anak, geng Irfan mukulin itu anak sambil nyebut-nyebut nama lo," ujar Adam membuat Julian menoleh. "Tadi anak basket yang kemarin itu ke sini nyariin lo kayak orang kesetanan." Julian mengernyitkan dahi. Bingung tetang apa masalahnya Irfan dengan Kiki. "Btw, siapa yang dipukulin?" "Kalau nggak salah namanya Julian." Julian membelalakkan mata. Ketika bel istirahat berbunyi, Julian tidak ingat sama sekali dengan sepatunya. Ia langsung menuju ke kelas Kiki di lantai dua dan Kiki langsung berlari menghampirinya. Saat itu Kiki bilang Hazel sejak pagi bolos kelas dan tidak tahu ada di mana. Julian berlari ke tempat di mana saja kira-kira ia bisa menemukan Hazel. Pertama-tama ia ke gudang, tempat itu kosong. Lalu ia beralih ke tribun berharap Hazel ke sana karena notabene Hazel itu dari klub futsal, tapi ternyata juga nihil. Ia tak tahu ke mana lagi tempat yang bakal Hazel kunjungi kalau sedang malas di kelas. Ia mendongak ke atas sambil berpikir. Matanya menangkap sosok Hazel di jeruji pagar atap sekolahnya. Tanpa pikir panjang Julian langsung berlari ke atap bahkan ia tak mendengar Kiki berteriak memanggil-manggil namanya. Julian mengantur napasnya yang tak beraturan karena menerjang tangga. Dadanya naik turun kelelahan sedang tangannya menumpu berat badannya di lutut. Seseorang yang ia cari menatapnya. Julian yang sudah sampai di atap dengan selamat langsung berdiri di hadapan cowok itu. Wajahnya yang dihuni Hazel itu babak belur hampir tiap sisi. "Kenapa sih harus pake kekerasan?" Julian menghampiri Hazel. "Mereka duluan yang mulai." Hazel membuang muka. "Lo ‘kan bisa lari sambil teriak minta tolong?" "Emangnya lagi kebakaran, teriak minta tolong segala? Lo mikir dong, jadi cowok nggak punya nyali banget dipukulin diem aja." "Jangan sama-samain gue sama lo." Hazel bungkam setelahnya. Julian juga bungkam. Beberapa detik berikutnya Julian menyodorkan plester yang belum sempat ia pakai ketika Hazel memberinya waktu ia juga dipukuli oleh geng Irfan. Tangan Hazel bergerak ke atas, bukan untuk mengambil plester itu, tapi menarik pergelangan Julian dan membuatnya terduduk di bangku sebelahnya. Tanpa mengatakan apa pun Julian langsung melunak. Ia teringat note kecil dari ibunya Hazel. "Lo hari ini ulang tahun?" katanya dengan nada pelan. "Kemarin," jawab Hazel. "Kalau gitu, selamat ulang tahun." Julian menyodorkan tangannya untuk dijabat, tapi Hazel tidak menggubrisnya. Julian menarik tangannya lagi. "Yang ke berapa?" "81." Julian terkekeh, ia tahu artinya itu—Hazel ulang tahun ke delapan belas. “Tadi gue nemuin ini di meja.” Hazel melirik memo kecil yang terdapat tulisan ibunya. Ia meraih benda itu, tanpa repot-repot membacanya lagi, ditaruhnya ke dalam kantung. Lantas ia menaruh tangannya di paha Julian, membuat Julian menoleh. Mata mereka bertemu. Diam-diam Hazel memindahkan tangannya ke leher Julian membuat empunya menegang tiba-tiba. Dalam jarak waktu yang singkat, Hazel menempelkan bibirnya pada bibir Julian. Menyesap bibir bawahnya lembut. Julian bungkam sepenuhnya. Angin membelai rambut mereka dengan pelan. Sulit baginya untuk mencerna. Matanya melotot ketika sadar ia melihat dirinya sendiri di depannya tengah terpejam. Hazel menciumnya. Julian menutup matanya karena terbawa alur, tapi ia tak membalas ciuman itu. Hanya ia merasa tangan Hazel mencengkeram lehernya kuat. Merasa tubuhnya seperti tersengat listrik. Julian langsung menarik tubuhnya dan berdiri, namun segera terjatuh. Namun beberapa detik kemudian Julian sadar sesuatu. Yang dilihat di depannya bukan dirinya lagi. Melainkan sosok Hazel dengan gaya kalem yang ia kenali di cermin kamarnya tadi pagi. Tiba-tiba wajahnya sakit dan punggung tangannya penuh memar. Julian menatap Hazel memastikan. "G-gue udah balik lagi?" Hazel tak menjawab apa pun, ikut bingung. Lalu tiba-tiba ia tertawa seakan-akan ini adalah lelucon. "Good for you. Dengan ini kita selesai?" "Tunggu! Gue masih nggak ngerti kenapa kita balik gitu aja." Hazel menggeleng, tak mengatakan apa pun meski ia ingin. Nampaknya ia sudah lelah secara batin. Tidak peduli dengan kejadian abnormal yang terjadi pada tubuhnya. Julian hampir-hampir berpikir bahwa ini tak masuk akal dan mulai mengira bahwa semua ini adalah rencana Hazel. Cowok itu pasti pakai cara ghaib atau apa. Benar-benar mustahil. Alhasil tanpa berkata lebih lanjut, Julian memilih pergi dengan langkah pelan, sebelum akhirnya berlari secepat mungkin. Meninggalkan Hazel dengan pertanyaan besar. Aneh tapi nyata. Ia hanya memakai satu sepatu. Lalu Hazel ikut pergi setelah beberapa menit Julian menghilang membawa tubuhnya yang penuh memar dengan euforia kepuasan. Good for ya, eh? Hazel membuka pintu rumahnya kasar saat tiba di rumah. Bunyi pintunya berdebum menabrak tembok. Ia melangkah ke dalam dan menjatuhkan tubuh di karpet dekat sofa ruang tamu rumahnya. Rumah aslinya. Ia menatap sekeliling, seolah ia baru saja melakukan perjalanan panjang di luar sana dan merindukan rumah. Tangannya bergerak mengusap bibir. Mengolah kejadian di atap sekolah tadi. Ia tak percaya ia mencium Julian dan mereka kembali ke tubuh masing-masing dengan selamat. Rasanya ia menyesali berakhirnya permainan mereka. Tidak, ia menyesali ketika ia harus kembali ke kehidupan aslinya. Walaupun ia mencium Julian tanpa sadar, tapi ia tahu sepenuhnya bahwa sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya melakukan itu. Tapi kenapa? Kenapa ia melakukan itu? Tak menemukan jawaban apa pun, Hazel mengacak rambutnya kesal. Bangkit dari posisinya dan melempar tasnya ke sembarang tempat dan sekitar lima belas menit Hazel telah tiba di sekolahnya lagi, saat bel pulang menggema. Setelah gerbang terbuka dan beberapa anak mulai keluar dari gedung sekolah, Hazel masuk dan naik ke lantai atas. Tepatnya ke lantai dua. Hazel berhenti sebentar dan napasnya terengah. Beberapa siswa menoleh ke arahnya. Ia berlari lagi dan menemui sosok Julian tertawa akrab bersama temannya. Hazel mundur. Entah. Ia mundur begitu saja. Tapi ia melihat temannya menyenggol Julian dan memberitahukan keberadaannya. Mereka saling tatap di antara beberapa siswa yang lewat. Tanpa sadar, Hazel berlari menarik tangan Julian, membawanya pergi. "Oi, lepasin gue!" Julian hanya bisa berteriak, tapi tangan Hazel tak lepas bahkan setelah mereka telah jauh dari kerumunan anak siswa yang lain. "Huh. Capek!" keluh Hazel yang langsung berdiri dan bersandar pada pohon. Kini mereka berada di belakang gedung sekolah mereka, sejauh mata memandang Julian hanya melihat komplek perumahan. Julian mengusap matanya. "Kenapa lo ngajak gue ke sini?" "Gue cuma mau minta maaf," kata Hazel. "Buat kekacauan yang lo buat?" Kini Julian berbalik, menatap Hazel sambil mengingat kekacauan yang terjadi. "Gue udah maafin lo, dan sekarang jangan gangguin gue lagi. Lo sendiri yang bilang, kita udah selesai." "Setidaknya bagi nomor HP  lo." Julian tersandung batu yang entah kapan ada di depan kakinya. "Ogah!" "Ya udah, nanti gue minta sama Kiki." Tbc ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN