Sembilan

1210 Kata
Akhirnya hari yang ditunggu oleh Nike dan Adi tiba juga. Hari lamaran bagi Gustave untuk Merlian pun datang. Seharusnya malam ini hanya acara pertemuan dua keluarga saja, namun orang tua Gustave rupanya ingin mempercepat proses agar bisa segera menikahkan Merlian dengan Gustave. Rumah sederhana milik Alda menjadi saksi betapa banyak hantaran yang dikirimkan oleh keluarga Gustave sehingga memenuhi ruang tamu yang semua barangnya dikeluarkan dan diganti oleh tikar milik kelurahan yang berada tak jauh dari pasar. Merlian mengenakan kebaya yang dikirim oleh ibu Gustave sehari sebelum acara tersebut. Rupanya kain yang dikenakan Merlian senada dengan baju batik Gustave. Bahkan Daifa diminta ibu Gustave untuk datang ke rumah Merlian, merias wajah Merlian sehingga wanita itu tampak cantik. Bayi Rial sudah pulang sejak tiga hari lalu, kini bayi tersebut diungsikan di rumah salah satu tetangga karena khawatir keramaian membuat istirahatnya terganggu. “Kami ingin pernikahan dilangsungkan dua minggu lagi, jadi apakah Merlian memiliki wali yang bisa kami hubungi, karena setahu kami, ibu Alda ini keluarga dari pihak ibu ya?” ucap Adi dengan senyum ramahnya, meskipun saat ini duduk lesehan namun dia tak tampak risih, ikut membaur dengan keluarga Merlian. Ada pula di sana Baba Ahong dan bang Ucok yang ikut menjadi saksi. Meskipun Ucok lebih sering membuang pandangan ke arah lain ketika baba Ahong meliriknya, jelas saja dia tak mau ditagih hutang di acara ini. Baba Ahong melirik Fahri dan Alda, dia tahu kisah kelahiran Merlian, terlebih dia seusia dengan kakek Merlian dan berteman dulu di masa muda, meskipun mereka berbeda kasta. “Ibu Merlian, itu ibu tunggal,” ucap Baba Ahong, suaranya pelan namun mampu menusuk sanubari Merlian, hal yang selalu ditakutkan selama ini. Ketika orang menyinggung tentang orang tuanya. Bahkan sampai sekarang saja dia tidak tahu siapakah ayahnya? Karena dia yakin ibunya tak mungkin hamil seorang diri. Memangnya Amoeba? Nike dan Adi kini yang bergantian saling tatap. Lalu mereka mengucapkan kata maaf. Merlian hanya menunduk, Gustave yang berada di sampingnya sesekali melihat ke arahnya dengan diam seribu bahasa. Setelah beberapa pembahasan dan kepasrahan Merlian mengantarkan keluarga itu pada kata sepakat untuk menikah dua minggu lagi. Tidak ada hal yang tidak mungkin dilakukan bagi orang kaya seperti keluarga Gustave. Merlian mengantar Gustave dan orang tuanya sampai ke pelataran mobil mereka, beberapa kerabat yang dibawa Adi sudah pergi lebih dahulu. Merlian menyalami Adi dan mengecup punggung tangannya, “maaf Om tidak tahu kalau ibu kamu itu ibu tunggal,” ucap Adi memohon maaf dengan sangat tulus. “Enggak apa-apa, Om. Aku yang minta maaf harusnya aku bicara lebih dulu biar Om enggak malu. Tapi apa om benar-benar enggak apa-apa dengan asal usulku, aku saja enggak tahu siapa ayah biologisku karena ibuku dulu enggak menikah,” tutur Merlian memasang wajah tak enak. Adi mengusap kepala Merlian. “Itu bukan kesalahan kamu, kami tidak malu kok, ya kan Ma,” ucap Adi pada istrinya yang berada di sampingnya. “Betul Merlian, setelah menikah nanti, kami yang akan jadi orang tua kamu, jadi jangan pernah sungkan, ya?” ucap Nike yang entah mengapa membuat hati Merlian menghangat seolah ada tungku perapian yang dinyalakan di dekatnya. Dari sudut matanya Merlian melihat Ucok mengendap-endap pergi seraya menenteng sandal di kedua tangannya, dimasukkan dalam tangan seolah bersiap untuk lari. “Ucok! Di mana lu olang! Owe tadi lihat lu,” ujar Baba Ahong dengan suaranya yang khas. Ucok menoleh dan lari dengan cepat. Merlian menggeleng melihat kelakuan orang yang sudah dianggap seperti keluarga baginya. Dia berjanji akan membantu melunasi hutang bang Ucok nanti. Gustave melihat ucok yang lari, dia menunjuk arah Ucok ke Baba Ahong yang hanya mengucap terima kasih dengan mengangkat tangannya. Merlian mendengus ke arah Gustave yang hanya mengangkat bahu acuh. “Ya sudah, sudah malam kami pulang dulu ya. Besok ingat untuk datang ke butik tante Ya? Nanti dijemput sama sopirnya Gustave,” tutur Nike. Merlian mengangguk dan mempersilakan mereka meninggalkan tempat itu. Merlian kembali ke rumahnya, para warga sudah berkerumun memandangi parsel-parsel yang tampak mewah itu. Sementara sang bibi sudah membawa masuk bayi Rial ke kamarnya. Daffa yang ingin membereskan rumah itu hanya bisa duduk di pojokkan, para tetangga itu tak bisa diusirnya. Hingga Merlian membawa sapu. “Permisi ya buibu pak bapak, saya mau beresin rumah, besok parselnya dibuka dan dibagikan buahnya,” tutur Merlian mengusir secara tak halus kerumunan tetangga yang keponya melebihi reporter. “Yah kita masih pengen liatin ini Melon, lihat tuh buah melonnya bagus banget,” ucap salah satu ibu tetangga. Merlian hanya menarik napas panjang. “Sudah malam, kasian bayi Rial mau tidur, ya,” ucap Fahri yang mencoba memberi pengertian. Mendengar nama bayi Rial disebut, barulah mereka membubarkan diri. Kesehatan bayi itu memang yang utama, mereka sangat tahu betapa tersiksanya keluarga ini belakangan karena kondisi bayinya, bayi semungil itu harus merasakan pisau bedah. Karena itu tanpa dipinta mereka mengadakan acara tasyakuran ketika bayi itu diperbolehkan pulang. Membuat Alda sangat berterima kasih pada mereka. Sepeninggal para warga, Merlian pun memindahkan parsel-parsel yang didominasi oleh buah-buahan dan makanan itu ke salah satu sudut, dia mengganti kainnya dengan celana pendek, membiarkan kebayanya tetap melekat manis di tubuhnya. Dengan kekuatan ekstra dia menggotong sofa butut itu kembali masuk bersama Daffa, sementara Fahri menenteng meja. Mereka kelelahan dan duduk di sofa, Merlian mengambil satu parsel berisi buah dan membukanya. Tanpa mencucinya dia menggigit apel. Alda ke luar dari kamar dan ikut duduk di samping Merlian. “Rial tidur, Tan?” tanya Merlian. Alda hanya mengangguk, mengambil anggur dan menyuapnya jelas saja tanpa mencucinya. Memang sama persis mereka berdua. “Kamu yakin kan mau menikah dengannya? Enggak ada yang memaksa kamu? Kalau tante lihat kok calon suami kamu sejak tadi risih ya, apa benar kalian pacaran?” tanya Alda memberondong pertanyaanya. “Jawaban pertama yakin, jawaban kedua enggak ada, yang ketiga dia memang terobsesi dengan kebersihan, dan yang keempat ya kita pacaran diam-diam karena khawatir orang tuanya enggak setuju, rupanya setuju jadi kita nikah,” jawab Merlian, tentu saja jawaban ke empat adalah jawaban yang dikarangnya sejak kemarin. “Tante enggak nyangka jodoh kamu bagus Mel, semoga langgeng ya, kamu benar enggak mau cari tahu siapa ayah kamu?” tanya Alda. Daffa tampak tak peduli dengan pembicaraan itu karena dia sibuk mengambil anggur dan memasukkan dalam mulutnya. “Enggak, untuk apa? Tante juga enggak tahu kan siapa yang menghamili ibu dulu?” Alda berdehem, melirik pada Daffa, mungkin kata-kata itu terdengar cukup dewasa, padahal Daffa baru tujuh belas tahun. “Ibu kamu itu pendiam, dia tetap enggak mau cerita, nenek juga dulu pasrah aja. Ya sudah enggak penting juga kamu cari tahu laki-laki mokondo kayak gitu, lebih baik enggak perlu tahu dari pada dia numpang hidup nantinya,” ucap Alda. Merlian mengangguk. Dia pun berpamitan untuk ke kamarnya di depan, karena besok banyak hal yang harus dia lakukan. Setelah masuk kamar yang berukuran sangat kecil itu, dia mengambil buku agenda yang paling sering dibawanya. dia melihat foto seorang wanita cantik dengan rambut panjang dan lurus, memakai bandana putih dan tersenyum lebar. Foto itu tidak utuh, Merlian bisa melihat tangan yang merangkul bahu sang ibu yang dia yakini merupakan tangan dari pria yang menyumbangkan spermanya hingga menjadi Merlian yang tengil seperti ini. Sayangnya foto itu hanya separuh. Merlian mengusap wajah ibunya di foto itu. “Bu, anak kamu ini mau menikah lho, laku juga,” ujar Merlian seraya terkekeh menutupi getir hatinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN