Saat Putus Asa Menyapa
_______________________
Langit senja kini sudah berganti nama menjadi malam. Sisa-sisa hujan yang turun masih membasahi jalanan dan dedaunan. Setelah penat berjalan tak tentu arah, akhirnya Dinni pulang ke rumahnya. Rasa kecewa yang dia rasakan sebenarnya belum surut. Rasa marah yang menyesakkan d**a pun masih terpendam. Terkadang Dinni merasa dunia seperti mempermainkannya terus menerus. Apakah semesta selalu bercanda seperti ini? Padahal dia sudah mengerahkan upayanya yang paling maksimal. Dia sudah mengusahakan yang terbaik untuk mendapatkan pekerjaan itu.
Berhari-hari sudah Dinni mempersiapkan diri. Dia bahkan mengurangi jam tidurnya dan sering begadang untuk belajar guna mengikuti tes tulisnya. Selain itu Dinni bahkan berlatih berjam-jam di depan cermin untuk tes wawancara. Dinni juga melakukan observasi mendalam dan mempelajari semua seluk beluk perusahaan itu sebagai modal tambahan baginya. Dia bahkan sampai hapal kapan perusahaan itu berdiri, siapa pendirinya, apa visi dan misi perusahaan itu, pokoknya Dinni melibas habis segala informasi tentang perusahaan yang menjadi incarannya itu. Semua dilakukan Dinni tanpa mengenal waktu dan tempat. Dia terus berlatih di mana saja. Di kamar mandi, saat dalam bus di perjalanan, sesaat sebelum tidur, dan di berbagai kesempatan lainnya.
Dinni benar-benar bekerja keras karena dia menganggap...
Ini adalah kesempatan terakhir baginya. Ya, sebelumnya Dinni juga sudah berkutat dengan status sebagai pencari kerja yang tak kunjung menemukan tempat bernaung. Kadang dia bahkan langsung ciut karena tidak memenuhi persyaratan yang diajukan. Kadang dia terlunta-lunta tanpa kejelasan dari instansi ataupun perusahaan tempat dia melamar pekerjaan itu. Yang lebih parahnya lagi, tak jarang Dinni juga harus mengecap pahitnya penolakan dikarenakan faktor penampilannya.
Berpenampilan menarik dan mempunyai berat badan yang proposional...
Itu adalah kalimat yang paling dibenci oleh Dinni setiap kali melihat syarat melamar sebuah pekerjaan. Memangnya kenapa jika tidak berpenampilan menarik? Apakah memiliki postur badan yang tidak proposional adalah sebuah dosa? Dinni benar-benar tidak mengerti dengan cara pandang kebanyakan orang di negeri ini.
Apa penampilan fisik itu memang selalu menjadi patokan utama?
Langkah kaki Dinni pun akhirnya terhenti seiring dengan suara helaan napasnya yang terdengar lirih. Tatapannya sekarang tertuju pada rumah sederhana yang terlihat lapuk. Atapnya sudah berkarat. Sebagian dindingnya sudah rapuh dan rontok. Cat dinding rumah berwarna kuning itu sudah terlihat pudar dan sebagian besar mengelupas. Bingkai kaca jendela rumahnya bahkan sudah banyak berlubang karena dimakan rayap.
Di depan rumah itu terdapat sebuah gerobak dagang yang digunakan ibu Dinni untuk berjualan ketoprak setiap harinya. Kondisi gerobak tua itu pun terlihat memprihatinkan. Kayu-kayunya juga sudah berlubang dimakan rayap. Kacanya juga sudah pecah dan hanya diganti dengan plastik yang juga sudah menguning di terpa cahaya matahari.
"Dinni...!" pintu rumah tiba-tiba terbuka bersamaan dengan munculnya seorang wanita paruh baya yang segera berlari kecil menghampiri Dinni.
"Kenapa kamu baru pulang?"
"I-iya, Buk. Tadi aku ke rumah Ishaya dulu," jawab Dinni.
Sang ibu pun tersenyum. "Ayo buruan masuk, Ibukudahmasakin makanan kesukaan kamu."
"I-Ibuk masak buat aku?" Dinni menatap heran.
Ibunya hanya tersenyum dan segera membawa Dinni masuk ke dalam rumah.
"Kak Dinni...!" seorang gadis kecil berusia 6 tahun yang tadinya sedang asyik menggambar segera berlari menghampiri Dinni.
"Tumben Nana kelihatan seneng banget ngelihat Kakak?" tanya Dinni.
"Nana udahlaper dari tadi, tapi kata Ibuk tunggu Kak Dinni pulang dulu, baru boleh makan." bocah itu langsung mengadu.
Dinni pun semakin terheran-heran. Tidak biasa-biasanya ibunya bersikap seperti itu
"Ya udah, kita makan sekarang, yuk!" Dinni mendorong pundak mungil Nana menuju ruang makan yang langsung menyatu dengan dapur.
Sang ibu kini sibuk menyajikan banyak jenis makanan di atas meja. Dinni pun menatap heran, sekaligus menelan ludah karena mulai tergoda dengan hidangan itu. Aroma kelezatan makanan buatan sang ibu kini memenuhi rongga hidung Dinni. Cacing-cacing di perutnya kini mulai meronta. Dinni pun hampir meneteskan air liurnya setiap kali sang ibu datang dengan aneka menu yang menggugah selera.
"Kenapa Ibuk masak banyak sekali hari ini?" tanya Dinni.
Sang ibu hanya tersenyum dan ikut duduk di meja makan. "Ayo buruan makan! kamu pasti sudah lapar, kan?"
Dinni mengangguk dan mulai ragu untuk mulai dari mana karena saking banyaknya jenis makanan itu. Akhirnya Dinni pun mendaratkan garpunya ke atas ikan nila goreng yang renyah. Dinni mulao menyantap makanan itu dengan lahap. Dia pun tersenyum pelan. Memang, bagi Dinni makanan adalah surga dunia. Saat sudah berhadapan dengan makanan, Dinni bisa melupakan sejenak tentang kekejaman dunia padanya.
Dinni memang tipikal gadis yang penyayang. Apalagi terhadap makanan. Dinni merasa sayang melihat makanan yang menganggur dan pasti akan mengantarkan makanan itu ke peristirahatan terbaik miliknya. Yaitu sang lambung yang maha penampung lagi maha tidak pemilih.
"Nana juga pengen cepat-cepat dewasa dan dapat kerja, ah," celetuk Nana tiba-tiba di sela suapan nasinya.
Tatapan Dinni pun beralih pada bocah itu. "Kenapa Nana ngomong gitu?" tanya Dinni.
Nana melipat tangannya di d**a. "Biar Nana juga dimasakin banyak makanan sama Ibuk. Tadi kata Ibuk, sekarang ini adalah hari yang spesial karena Kak Dinni sudah mendapatkan pekerjaan," jawab Nana dengan wajah polosnya.
Deg.
Dinni terhenyak. Makanan yang baru saja masuk ke mulutnya seketika terasa hambar. Pandangannya beralih pada sang ibu yang kini menatapnya dengan senyum penuh arti. Ada binar bahagia yang terpancar dari matanya. Sang ibu terus saja tersenyum. Kali ini dia bahkan menatap Dinni dengan sorot mata yang melukiskan sebuah harapan.
Seketika d**a Dinni terasa sesak melihat raut wajah ibunya itu. Dinni meneguk segelas air dan kembali meletakkan gelas itu dengan jemari bergetar. Padahal tadi nafsu makannya begitu menggebu-gebu, tapi sekarang... Dinni kehilangan selera makannya.
"Jadi kapan kamu mulai bekerja, Din?" tanya sang Ibu.
Dinni langsung tertunduk. Dia tidak berani menatap wajah sang ibu. Lama kelamaan pemandangan di depannya mulai terlihat buram karena genangan air mata. Dinni kini mulai dihinggapi rasa bersalah. Salahnya memang, tadi pagi sebelum berangkat Dinni memang mengatakan pada ibunya bahwa kali ini dia pasti akan mendapatkan pekerjaan itu. Dinni sudah terlanjur memberikan sang ibu sebuah harapan yang ternyata tak juga mampu diwujudkannya.
"D-Dinni...?" Panggil sang ibu lagi.
Dinni tidak menjawab. Bersamaan dengan itu air mata Dinni mulai mengalir pelan di wajahnya.
Sang Ibu pun kini menatap nanar. Senyum di wajahnya perlahan surut. Suasana meja makan itu mendadak sunyi. Hanya suara dentingan sendok Nana saja yang sesekali terdengar. Bocah itu memang tidak memerhatikan Dinni dan ibunya.
Setelah cukup lama, Dinni mengangkat kepalanya bersamaan dengan air matanya yang jatuh. "Maafin Dinni, Buk," ucapnya serak.
Sang ibu terdiam. Helaan napasnya kini terdengar sesak. Raut kecewa jelas terlihat di wajah senja itu. Tanpa bersuara, sang ibu beranjak ke dalam kamar. Dinni pun menatapnya dengan perasaan sedih. Dia tahu ibunya merasa kecewa, tapi dia juga berharap sang ibu mengerti bahwa semua memanglah tidak mudah.
"Kakak mau ke mana?" tanya Nana ketika Dinni ikut beranjak pergi.
Dinni tidak menjawab dan segera berlari masuk ke kamarnya.
Setiba di dalam kamar, Dinni langsung membenamkan wajahnya ke bantal, lalu menangis terisak. Dia tadi sebenarnya sudah lelah menangis di sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah. Tadinya dia berharap sang ibu akan menghibur dan menguatkannya.
Tadinya Dinni mengira bahwa rumah akan menjadi tempat yang nyaman baginya untuk menghela napas dari sesaknya kehidupan yang mendera. Namun, ternyata semua sama saja. Dinni merasa semakin putus asa dan bertanya-tanya dalam hatinya. Apa memang tidak ada lagi tempat di dunia ini untuk orang seperti dia?
***
Pagi ini Dinni tertunduk lemas di tepi ranjangnya. Tadinya dia sudah keluar dan berniat hendak membantu sang ibu berjualan seperti biasanya. Tapi, sang ibu bersikap dingin dan memerlakukannya seperti mahluk yang tidak kasat mata. Sang ibu tidak menjawab ketika Dinni berbicara. Dia juga buru-buru mengambil alih setiap pekerjaan yang akan dikerjakan oleh Dinni.
"Semua ini bener-benernggak adil," bisik Dinni.
Tatapannya tertuju pada sebuah figura di atas meja. Foto itu berisi potret Dinni sewaktu kecil dengan seorang wanita yang terlihat cantik dan dewasa. Dia adalah Amanda. kakak Dinni dan jugaibu kandung dari Nana. Berbeda dengan Dinni, jalan hidup Amanda terbilang mulus. Dia selalu bisa mendapatkan apapun keinginannya. Dia terkenal sebagai gadis yang cerdas dan ambisius. Kasih sayang sang ibu pun lebih tercurah padanya. Sampai akhirnya Amanda membuat kesalahan dan menghilang tanpa jejak setelah melahirkan Nana.
"Bahkan setelah semua ini, Ibuk masih terus memikirkan dia dan nggak pernah membahas kesalahan dia sama sekali." Dinni menatap potret saudarinya itu dengan wajah kuyu.
Pandangan gadis berusia 24 tahun itu kini beralih menatap cermin. Dinni merengut sebal, lemak di pinggulnya terlihat semakin membesar. Kedua pipinya juga bengkak karena semalam sudah memakan empat bungkus mie instan yang di masak sekaligus. Dinni bahkan tidak pernah lagi menimbang berat badannya karena selalu terkejut melihat pergerakan angka timbangan yang terus naik.
Sebenarnya sewaktu masih sekolah dasar, Dinni termasuk anak yang aktif dan tak kalah pintar dari kakaknya. Dia anak yang percaya diri dan juga energik. Sampai kemudian teman-teman di sekolahnya mulai mengejek dan mencemooh penampilannya. Saat itu Dinni masih belum begitu terusik. Hingga suatu hari dia mengajukan diri untuk mendaftar sebagai mayoret untuk tim drumband di sekolahnya.
Dinni pun sudah banyak berlatih dan cukup lihai mengayunkan tangkai sapu yang dijadikannya sebagai pengganti tongkat mayoret. Namun, saat itu gurunya bahkan tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Dinni untuk menunjukkan kemampuannya. Menurut gurunya bobot tubuhnya itu tidak akan membuatnya leluasa dalam bergerak. Hal itupun membuat kepercayaan diri Dinni mulai memudar.
Menginjak bangku SMP, Dinni semakin merasa minder dan menarik diri dari pergaulan. Disaat teman-temannya menjalani masa pubertas dengan cinta-cinta monyet, Dinni memilih mengasingkan diri dengan membaca buku. Karena memang hanya tumpukan buku-buku itulah yang memberikan Dinni sedikit kebahagiaan melalui kisah-kisah indah yang ada di dalamnya.
Masa SMA-nya pun jauh lebih mengerikan lagi. Dinni benar-benar merasa terkucilkan selama tiga tahun masa SMA-nya. Meski duduk di kelas yang sama, tetapi Dinni merasa terisolasi dan berada di dunia yang berbeda dengan teman-temannya. Dia tidak mengenal istilah hangout dan juga jenis hara-huru ala anak muda kekinian lainnya.
Dddrrtt... ddrrtt...
Dinni dikejutkan oleh suara getaran handphone-nya di atas meja. Dia buru-buru mengambil handphone itu dan langsung tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar.
"Halo... kamu di mana sekarang?" suara dibalik telepon itu terdengar rusuh.
Dinni tidak menjawab. Bibirnya langsung berkedut menahan tangis.
"Din... kamu dengerin aku, kan? kamu di mana sekarang?"
Bibir Dinni mulai bergerak pelan. "A-aku... a-aku...." dia berucap terpatah-patah
"Kamu nangis...? ya ampun Dinni, kamu di mana sekarang?" sosok yang sedang menelepon itu terus mengulang pertanyaan yang sama.
Dinni masih belum menjawab pertanyaan itu. Deru napasnya kini terdengar memburu. Lama kelamaan kedua pundak gempalnya mulai bergetar bersamaan dengan suara tangisnya yang pecah.
"Juaaaaaan...!!!" jerit Dinni di sela suara tangisnya.
"Kamu kenapa, Din? kamu di mana sekarang? kita ketemu sekarang, ya?" suara lelaki bernama Juan itu terdengar semakin cemas.
Tangisan Dinni malah semakin menjadi-jadi. Wajahnya kini sudah bersimbah air mata. Dinni pun langsung mengadu tentang apa yang sudah terjadi pada Juan. Sepertinya memang hanya pada Juan dia bisa menumpahkan segala keluh kesahnya. Hanya dia yang selalu mengerti Dinni. Hanya Juan yang tetap bertahan di sisinya dan juga selalu menerima Dinni apa adanya.
***
Bersambung.