Keputusan
---------------
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking!
Ya, terdengar menggelikan, tapi memang begitulah realitanya. Manusia lebih cenderung mengkotal-kotakkan manusia yang lain berdasarkan penampilan fisiknya. Saat ada perempuan cantik yang membuat kesalahan, sebagian orang dengan mudah memakluminya bahkan menganggap hal itu sebuah hal yang wajar. Namun ketika seorang perempuan yang memiliki penampilan kurang menarik membuat kesalahan, kebanyakan orang akan menghujatnya, menertawakannya dan menjadikannya sebagai bahan cemoohan.
Sepertinya hidup akan lebih mudah jika terlahir sebagai manusia yang cantik dan tampan. Sepertinya semua akan lebih menyenangkan saat mempunyai bentuk fisik yang sempurna. Bahkan standar ketampanan dan kecantikan mulai tercipta. Orang-orang mulai terobesei mengikuti standar yang kadang tidak lagi masuk akal. Kulit yang harus putih, lingkar pinggang yang kecil, hidung yang mancung, bibir yang berisi dan berbagai standar gila lainnya yang menjengkelkan.
Bukankah setiap manusia itu istimewa? Tidakkah bisa menghargai sebuah perbedaan? Kenapa harus berlomba-lomba untuk terlihat seragam sedangkan kamu sudah diciptakan dengan keunikan diri kamu sendiri? Ya, semua itu karena mekanisme kehidupan yang sangat menggelikan itu.
Keadilan sosial bagi seluruh warga good looking memang menjadi penyebab semua orang menjadi terobsesi menjadi orang lain dan melupakan jati dirinya sendiri.
-My Ice Boss
------------
“Kamu kenapa pakai acara minggat segala, sih, Din?” Gadis berkacamata tebal itu menatap prihatin. Dia bahkan meremas guling dipelukannya lebih erat lagi. Padahal malam ini dia ingin menonton Drama Korea kesukaannya seorang diri tanpa diganggu siapapun. Dia ingin tersenyum sepuasnya. Dia ingin tertawa dan menangis tanpa ada yang melihat. Namun tiba-tiba dia dikejutkan oleh kedatangan Dinni. Sahabatnya itu datang dengan mata yang sudah sembab. Pipinya yang bulat bahkan terlighat semakin semok kala dia tersedu menahan tangis.
“Eh, aku nanya kamu malah diem aja,” sergah gadis itu lagi.
Dinni menelan ludah. “Aku juga bingung sekarang, Is. Tadi itu saking emosinya aku nggak bisa mikir apa-apa waktu keluar dari rumah.” Dinni menatap Ishaya dengan bibir melengkung ke bawah.
Ishaya menghela napas. Dia turut merasa sedih akan nasib sahabatnya itu. Gadis berambut keriting itu pun menepuk pundak Dinni pelan. “Ya udah, buat sementara kamu nginap di sini dulu aja.”
Dinni tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Makasih, ya, Is.”
Ishaya mengangguk. Dia akhirnya terpaksa menunda rencananya untuk menonton Drama Korea sesuka hati. “Terus apa rencana kamu selanjutnya?”
Dinni menerawang menatap langit-langit kamar yang temaram. “Ya, apalagi kalau bukan ngedapetin pekerjaan secepatnya.”
Ishaya melepas kacamatanya, lalu memijit batang hidungnya yang tidak seberapa itu. Sebenarnya nasib mereka berdua kurang lebih sama. Mereka menyandang status pengangguran kelas kakap sejak keduanya sama-sama diwisuda dua tahun yang lalu. Sebelumnya Dinni dan Ishaya bahkan sering melamar pekerjaan secara berbarengan. Mereka sudah bertualang ke seantaro negeri untuk memperjuangkan kehidupan mereka, namun keduanya sama-sama tidak beruntung. Hingga detik ini kedua sahabat itu masih tetap setia dengan status pengangguran mereka.
“Oh iya, bukannya kemaren kamu ada interview lagi?” Ishaya menepuk paha Dinni dengan antusias.
Bunyi tepukan itu terdengar sangat dahsyat. Lemak di paha Dinni bergetar seiring dengan suara ringisannya yang merasa kesakitan karena ditampar oleh Ishaya.
“Sakit tau, Is!” sergah Dinni sambil mengusap-usap paha montoknya.
“Daging setebal itu kok merasa sakit,” ledek Ishaya.
Sebuah boneka berbentuk beruang yang sudah berbau iler pun mendarat tepat di wajah Ishaya hingga kacamatanya copot ke bawah hidung.
“Gila bonekanya mau pesing.” Dinni mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya.
Ishaya menatap tajam. “Kamu mau aku usir dari sini.”
Dinni meneguk ludah. Diambilnya boneka itu, lalu di endusnya dengan wajah yang mengkerut karena menahan bau itu. “Mmmm ternyata bonekanya wangi sekali... harumnya seperti wangi kehidupan.”
Ishaya tergelak pelan. “Aku tadi nanya lho, Din... bukannya kemarin kamu ikut interview lagi? terus gimana hasilnya?”
Dinni menggeleng sambil tersenyum.
Hening. Keadaan mendadak menjadi sunyi untuk sekian detik.
“Apa sebaiknya kita berdua join aja buat bikin usaha?” usul Ishaya.
Dinni menjentikkan jarinya. “Nah, aku juga mikir gitu, Is... kamu punya tabungan buat modal nggak?”
Ishaya menelan ludah. “Boro-boro punya tabungan. Untuk beli kuota aja aku masih ngumpulin kembalian uang receh kalau di suruh ke pasar sama Mama.”
Dinni menghela napas lesu.
“Kamu sendiri punya tabungan nggak?” Ishaya balik bertanya.
“Aku nabung di sini.” Dinni terkekeh sambil mengelus-elus perut buncitnya.
Ishaya tergelak, tidak lama kemudian tawa mereka pun pecah. Dinni dan Ishaya kini saling menertawakan kemalangan nasib mereka masing-masing.
Dinni mengambil toga milik Ishaya yang tergantung di dinding, kemudian memakainya di kepala. Ishaya pun langsung berdiri di depan Dinni dengan wajah serius layaknya seorang Rektor yang akan memindahkan tali toga itu.
Ishaya menghela napas, jemarinya kini sudah memegang tali toga itu bersiap untuk memindahkannya. “Dengan ini sampean saya sahkeun menjadi pengangguran,” ucap Ishaya dengan suara lantang.
Dinni pun memasang posisi tegap. “Siap, Lur,” jawabnya.
“Hahahaha....”
“Hahahaha....”
Tawa keduanya pun kembali pecah. Cukup lama mereka melakukan parodi super gila itu dan terus tertawa. Hingga kemudian keduanya merasa penat dan terduduk lemas di lantai.
“Eh, ngomong-ngomong insiden minggu kemaren itu gimana ending-nya, Din?” tanya Ishaya.
Dinni melamun sekian detik, kemudian dia langsung sibuk memeriksa tasnya.
“Kamu nyari apa, Din?” tanya Ishaya dengan wajah bingung.
Dinni masih mengobrak-abrik isi tasnya. Sampai akhirnya dia tersenyum setelah menemukan secarik kertas yang sudah kusut. Dinni menatap kartu nama itu sambil menghela napas lega. Setelah itu dia langsung bangun dan menatap Ishaya dengan tersenyum penuh arti.
“Sepertinya aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
_
Setelah sekitar tiga puluh menit menembus padatnya jalanan Ibukota di pagi hari, akhirnya gojek yang ditumpangi Dinni pun berhenti di depan sebuah rumah mewah yang berpagarkan besi berwarna emas. Dinni melepas helmnya, kemudian menatap rumah itu dan alamat yang tertera pada secarik kertas di tangannya secara bergantian. Setelah merapikan pakaian dan rambutnya yang kusut karena helm, Dinni pun segera memencet bel rumah itu.
Dinni menunggu dengan gelisah. Sekujur tubuhnya kini sudah basah bermandikan peluh. Dia terus menyeka keringatnya dan langsung tersentak begitu seorang satpam membukakan pintu gerbang secara tiba-tiba.
“Ada keperluan apa?” tanya satpam itu.
"Ah, Ini... saya mau ketemu sama Mbak Rieta." Dinni tersenyum canggung sambil menyerahkan kartu nama yang ada di genggamannya.
Satpam itu meneliti penampilan Dinni dari atas hingga bawah, lalu mengangguk pelan. “Ayo ikuti saya.”
“B-baik, Pak.”
Dinni langsung melongo begitu memasuki kawasan rumah elit itu. Seluruh halaman diselimuti oleh rumput hijau yang terlihat lembut. Di bagian depan rumah terdapat sebuah kolam air mancur yang dihiasi kebun mawar putih di sekelilingnya. Di sisi sebelah kanan, terdapat deretan garasi mobil yang berbaris memanjang. Langkah Dinni pun tersendat-sendat karena sibuk melihat berbagai penampakan yang menakjubkan itu. Sampai akhirnya dia menyadari bahwa pak satpam sudah jauh di depan sana.
“Tunggu akuh, Pak... tunggu!” bisiknya sambil terkekeh.
Kedua mata Dinni kembali melotot saat menatap bangunan di depannya. Bangunan utama rumah itu mengusung gaya klasik ala eropa di abad pertengahan. Ada banyak pilar-pilar besar yang berjejer menopang berandanya. Rumah itu benar-benar terlihat layaknya sebuah istana. Di bagian belakangnya, terdapat sebuah koridor yang menghubungkan bangunan utama itu dengan sebuah bangunan modern yang identik dengan dinding kaca di semua bagiannya.
Dinni terus melangkah dengan leher yang masih celingak-celinguk memerhatikan keindahan yang memanjakan matanya itu. Di sepanjang perjalanan yang tak kunjung sampai itu, Dinni kerap berjumpa dengan para pekerja yang mengenakan seragam serba hitam. Mereka terlihat super sibuk dan melangkah dengan tergesa-gesa.
“Nah... Itu Mbak Rieta.” satpam itu menunjuk sosok wanita yang terlihat sedang memberikan intruksi kepada para pekerja yang kini berbaris rapi.
“Makasih ya, Pak,” ucap Dinni.
Satpam itu tidak menjawab dan hanya menatap Dinni sambil memelintir ujung kumisnya.
Dinni melangkah perlahan mendekati mbak Rieta. Kedatangannya pun langsung menarik perhatian. Mbak Rieta menyipitkan matanya sebentar sebelum akhirnya menjentikkan jarinya.
“Dinni...?”
“I-iya Mbak... ini saya,” jawab Dinni.
“Tapi kenapa....” mbak Rieta menghentikan kalimatnya sebentar. “Ada apa kamu datang ke sini?”
Dinni menelan ludah. “A-apa saya masih punya kesempatan untuk mengambil pekerjaan itu?” tanya Dinni sambil menahan rasa malu yang kini memuncak.
Mbak Rieta mengernyitkan dahinya. “Tapi tenggat waktunya sudah lewat tiga hari yang lalu,” jawabnya.
Dinni menatap kecewa. Dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum, kemudian tertunduk lesu.
Mbak Rieta pun menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk pelan. “Apa kamu yakin mau mengambil pekerjaan itu?”
Pertanyaan itu membuat Dinni mengangkat wajahnya dan langsung mengangguk cepat-cepat.
“Kamu yakin?” mbak Rieta masih meragukan niat Dinni.
Dinni terdiam.
“Meskipun terdengar sepele... tapi di sini pekerjaan itu amatlah penting. Kamu akan dihadapkan pada kontrak dan sanksi yang jelas.” tegas mbak Rieta.
“M-maksudnya?” Dinni masih belum bisa mencerna kalimat itu
“Maksudnya... kamu tidak bisa datang dan pergi sesuka kamu setelah bekerja di sini. Dengan menandatangani kontrak, artinya kamu setuju untuk mengerahkan semua waktu dan dedikasi kamu untuk bekerja di sini,” jelas Mbak Rieta.
Dinni tampak berpikir keras. Dia tidak mengerti kenapa pekerjaan ini menjadi terkesan menakutkan. Padahal dia hanya akan bekerja sebagai asisten rumah tangga alias ART. Tapi, dari penjelasan mbak Rieta barusan, Dinni merasa seolah-olah akan dihadapkan pada beban yang amat berat.
“Bagaimana, apa kamu masih mau bekerja di sini?” tanya mbak Rieta.
Dinni mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu menepikan segala ego dan gengsinya. “S-saya mau Mbak, bekerja di sini.”
“Apa kamu bisa menjaga sikap?”
“Bisa, Mbak.”
“Apa kamu bisa menjamin dan berjanji untuk tidak akan menimbulkan masalah seperti waktu itu lagi?”
Dinni menelan ludah. Matanya kini bergerak liar. Tragedi seminggu yang lalu itu kembali terbayang olehnya. Hari di mana dia benar-benar merasa dilecehkan. Saat di mana dia merasa begitu tidak dihargai. Pedih di hatinya bahkan masih terasa perih sampai hari ini. Namun, hidup terkadang memang selucu itu. Nyatanya hari ini dia sendiri yang kembali datang dan menjilat ludahnya sendiri.
Dinni tersenyum gamang, kemudian menatap mbak Rieta yang masih menunggu jawabannya. “I-iya, Mbak... saya berjanji tidak akan bertingkah seperti itu lagi.”
_
Bersambung...