bc

ABRACADABRA

book_age16+
49
IKUTI
1K
BACA
powerful
brave
prince
princess
student
fairy
drama
sweet
bxg
first love
like
intro-logo
Uraian

Khanza Ayudia menemukan sebuah botol yang ternyata berisi seorang jin laki-laki yang mengaku bernama Sameer Al-Farizi. Kehidupannya yang datar dan monoton seketika berubah. Begitu banyak petualangan yang mereka lalui sehingga mereka menjadi dekat.

Apa yang terjadi pada mereka ketika sang jin harus kembali ke tempat asalnya?

Cover original by Me

Gambar https://unsplash.com/photos/S9MV8BG5ops

Font by PicsArt

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1
Jam alarm baru saja berbunyi, tetapi penghuni kamar itu sudah bangun sedari tadi. Gadis itu lupa menyetel alarmnya lebih pagi sehingga jam alarm itu berbunyi baru sekarang ini, saat ia sudah bangun dan bersiap-siap. Hari ini mereka akan pergi ke pantai, makanya Khanzana Ayudia bangun lebih awal dari biasanya. Gadis tujuh belas tahun yang akrab disapa Khanza itu sedang mempersiapkan segala keperluannya saat di pantai nanti. Khanza memasukkan sunblock dan pelembab bibir ke dalam tas tangannya. Sebenarnya bukan tas tangan sih, talinya terlalu panjang untuk disebut tas tangan. Namun Khanza tak peduli. Yang ada dipikirannya saat ini pantai dan berenang sepuasnya serta benda-benda unik yang kemungkinan akan ditemukannya di pantai. Jarum jam tepat menunjuk ke angka enam, dan Khanza sudah menyelesaikan berbenahnya. Sekarang ia hanya harus membantu Mama menyiapkan sarapan juga bekal yang akan mereka bawa nanti. Bergegas gadis itu menuruni tangga, kamarnya berada di lantai dua. "Pagi, Mama," sapa Khanza mengecup pipi Mama. "Ada yang bisa Khanza bantu nggak?" tanyanya. "Pagi juga, Sayang," sahut Mama. "Tumben anak Mama udah bangun. Biasanya kan dibangunin dulu." Khanza cemberut. "Mama sih gitu," erangnya. "Kan Khanza mau bantu Mama, makanya bangun pagi-pagi." Claudya Nadya, Mama Khanza, tersenyum. Ia hanya bercanda tadi. Ia tidak pernah membangunkan Khanza di pagi hari, putri tunggalnya itu selalu bangun sendiri. Khanza tak pernah terlambat bangun, ia selalu bangun bila jam alarm yang dipasangnya berbunyi. "Beneran mau bantu Mama?" tanya Mama. Khanza mengangguk. "Emang kamu bisa masak?" Khanza kembali cemberut mendengar pertanyaan kedua Mama. Ia memang tidak bisa memasak, tidak suka. Ia lebih suka makan. "Lebih enak makan," sahut Khanza lamat-lamat. Namun Mama masih dapat mendengar sahutan itu, sehingga perempuan berusia tiga puluh delapan tahun itu menyunggingkan senyum lagi. Ia tahu betul itu. Khanza tidak suka memasak, ia hanya suka makan, juga melihat demo memasak. Khanza sangat suka mengawasinya saat ia memasak. Katanya Mamanya hebat, jago memasak. Namun Khanza tidak ingin belajar memasak. "Beneran bantu-bantu Mama kan ya? Nggak cuman bantu liatin Mama masak kayak biasanya?" goda Mama. Khanza mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya. Gadis itu berdiri, menghampiri Mama yang berdiri di depan kompor. "Khanza bantu Mama buat ambilin apa yang Mama perlu." "Duh, pinter anak Mama." Claudya mengusap pipi Khanza, mencubit pipi gembil itu pelan. Khanza tersenyum lebar. Sebagai anak satu-satunya, Khanza sangat manja. Wajar, karena orang tuanya juga selalu memanjakannya. Mereka tidak pernah memarahi Khanza, selalu memperlakukan Khanza dengan lembut. Khanza anak yang baik, meskipun manja dan selalu dituruti apa keinginannya, ia tidak pernah meminta yang aneh-aneh. Khanza termasuk gadis yang mandiri. Mereka memiliki asisten rumah tangga, tetapi gadis itu tidak pernah meminta bantuan asisten rumah tangganya itu untuk membersihkan barang-barang pribadi miliknya. Khanza memang dimanja, tetapi juga diajarkan untuk mandiri dan tidak selalu mengandalkan orang lain. "Ya udah, kamu duduk aja dulu. Nanti kalo Mama perlu bantuan Mama panggil." Khanza mengangguk semangat. "Siap, Mama." Khanza menaikkan tangannya, memberi hormat pada Mama sebelum duduk di depan meja pantry. Claudya tersenyum. Khanza memang gadis yang penurut dan ia bangga akan hal itu. Semua yang diajarkannya dan suaminya diserap Khanza dengan baik. Tak lama, masakan Claudya siap. Untuk urusan dapur, Claudya memang turun tangan sendiri. Ia yang mempunyai hobi memasak tidak ingin anak dan suaminya memakan masakan orang lain. Terkecuali ia memang benar-benar berhalangan atau sedang tidak bisa memasak. Seperti ia sakit misalnya. Asisten rumah tangga hanya bertugas membantu membersihkan rumah dan menemani Claudya saat suami dan putrinya berada di luar rumah. Claudya juga akan meminta asisten rumah tangga untuk membantunya memasak atau membuat kue kadang-kadang. Khusus untuk hari Minggu, Claudya meliburkan asisten rumah tangga mereka. Hari Minggu bagi Claudya adalah hari untuk berkumpul bersama keluarga, dan ia yakin asisten rumah tangganya juga ingin seperti itu. "Khanza bantu Mama masukin bekal ke dalam wadah ya?" pinta Claudya. Khanza mengangguk. Tanpa kata, Khanza langsung menghampiri Mama, membantu Mama mengisi wadah dengan salah satu masakan yang tadi dimasak Mama. "Gini kan, Ma?" tanya Khanza begitu ia menyelesaikan pekerjaannya. Mama menoleh lantas mengangguk. Tangan kanannya terangkat mengusap pucuk kepala Khanza sambil tersenyum. "Iya, Sayang," ucap Mama. "Makasih ya udah bantu Mama." Khanza mengangguk cepat. "Ada uang bisa Khanza bantu lagi nggak, Ma?" tanyanya. Mama menggeleng. "Udah nggak ada," jawabnya. "Semua udah siap kan?" Khanza mengawasi wadah-wadah di atas meja pantry yang semuanya berisi makanan. Kepalanya bergerak naik-turun. Khanza mengacungkan ibu jari kanannya di depan Mama. "Ya udah, Mama siap-siap dulu. Sekaligus nengokin Papa nih, udah selesai belum berbenahnya." Khanza cekikikan. Papa memang sedikit lamban kalau berbenah. Papa akan seperti perempuan kalau sudah di depan cermin. Papa yang perfeksionis dalam hal penampilan tidak akan menjauh dari depan cermin sebelum ia merasa penampilannya sempurna. "Kamu juga siap-siap ya? Ganti baju sana!" Khanza mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya kemudian berlari keluar dapur menuju tangga. Claudya juga meninggalkan dapur setelah berkata seperti itu. Ia juga harus bersiap-siap. *** Mereka sedikit terlambat tiba di pantai. Selain karena terjebak macet, Papa yang belum juga siap saat Khanza dan Mama sudah rapi juga menjadi alasan. Papa memerlukan waktu di depan cermin lebih lama dari Khanza dan Mama. Beruntung masih ada payung pantai yang bisa mereka sewa, juga masih ada tempat untuk mereka duduk. Pantai sangat ramai hati ini, mungkin hari memang hari ini adalah hari libur. Banyak para orang tua yang mengajak anak-anak mereka ke pantai. Karena selain mereka bisa bersenang-senang, berwisata ke pantai juga bisa dijadikan sarana edukasi bagi para orang tua. Mereka bisa mengajarkan kedisiplinan dan ketertiban kepada anak-anak mereka, selain mengajarkan betapa pentingnya menjaga kebersihan tentu saja dan menjaga sarana dan prasarana umum. Khanza duduk di akas piknik yang dihamparkan Mama di bawah payung pantai milik mereka. Suasana pantai yang ramai membuatnya sedikit bosan. Seorang anak perempuan berusia kira-kira tiga tahun lewat di sampingnya. Gemas dengan anak perempuan gembul itu, Khanza mencubit pipinya. Si anak menoleh sekilas sebelum meneruskan langkahnya. Khanza tersenyum. Kadang rasanya ia ingin punya adik, pasti rumahnya tidak akan sepi lagi. Ia akan memiliki teman untuk bermain dan berbagi. Sayangnya tidak bisa. Mama sudah tidak bisa melahirkan lagi. Setahun setelah melahirkan Khanza, rahim Mama diangkat. Ada gangguan pada rahim yang akan membahayakan Mama kalau dibiarkan. Mama terpaksa mau melakukannya, ia ingin tetap hidup untuk anak dan suaminya. Meskipun sedih karena tidak bisa memiliki anak lagi, tetapi Mama berusaha menerima. Karena itu kedua orang tuanya selalu memanjakannya. Mereka selalu menuruti apa yang ia minta kecuali kalau Khanza meminta seorang adik. Mereka tidak akan bisa menurutinya. Semakin siang pengunjung pantai semakin banyak berdatangan. Pantai semakin ramai dan berisik. Khanza tidak masalah dengan semua ini, ia selalu menikmatinya. Meskipun tidak bisa dipungkiri pantai akan terlihat lebih indah dan romantis kalau tidak seramai sekarang. "Mama, Khanza minta ini ya?" Khanza mengangkat salah satu kotak bekal yang berisi kentang goreng buatan Mama. Mama yang sedang mengawasi orang-orang menoleh kemudian mengangguk. Khanza langsung membuka kotak bekal dan memakan salah satu camilan kesukaannya. Sebenarnya Khanza menyukai semua makanan, baik itu makanan berat maupun makanan ringan, karena ia hobi makan. Apalagi masakan Mama. Menurut Khanza, masakan Mama yang terbaik. Khanza tidak pernah memilih-milih makanan. Ia akan memakan apa yang disediakan. Sejak kecil Khanza sangat suka makan. Sejak bayi Khanza sudah gendut. Seiring bertambahnya usia, Khanza semakin tahu bahwa seorang gadis akan terlihat cantik kalau ia bertubuh langsing. Khanza mulai mengurangi porsi makannya. Tubuhnya mulai kurus. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Khanza sempat menderita kekurangan berat badan karena ia yang mengurangi porsi makannya. Ia menjadi sangat kurus, sampai-sampai Khanza malu untuk sekolah. Beruntung penyakit itu tidak terlalu lama menggerogotinya. Nafsu makan Khanza kembali beberapa Minggu kemudian. Anehnya badan Khanza tidak pernah lagi gemuk setelah itu. Berat badannya tetap stabil berapa banyak pun ia makan. Tentu saja Khanza sangat senang, hobi makannya kembali. Ia bisa makan apa saja tanpa harus takut kegemukan. Matahari sudah mulai condong ke arah barat. Para pengunjung pantai sudah banyak berkurang. Pantai sudah tidak seramai tadi siang. Khanza memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati pantai. "Mama, Papa!" panggil Khanza. "Khanza boleh ya jalan-jalan ke sana?" Gadis itu menunjuk ke arah batu karang yang berada di pinggir pantai. Letak batu karang itu tidak terlalu jauh dari tempat mereka sekarang. "Nggak jauh kan? Boleh ya?" Khanza mengedip-ngedipkan matanya membujuk. Papa menatap arah yang ditunjuk Khanza. Kemudian menatap Mama. Dari tatapan Papa Khanza tahu kalau pria itu tidak mengizinkannya. Melalui tatapannya juga Papa meminta Mama untuk tidak menuruti keinginannya kali ini. "Boleh ya? Please!" Khanza menatap kedua orang tuanya dengan puppy eyes andalannya. Biasanya orang tuanya tidak akan bisa berkutik lagi kalau ia sudah seperti ini. Puppy eyes adalah jurus terakhir Khanza. Mama menggelengkan kepala melihat ekspresi putri tunggalnya. Perempuan cantik itu tersenyum. Ia memang selalu lemah kalau Khanza sudah menatapnya seperti sekarang, dan putrinya sangat tahu kelemahannya itu. Khanza terlalu pandai memanfaatkan kelemahan orang tuanya. "Nggak jauh kan?" tanya Mama. Khanza mengangguk. "Nggak jauh kok, Ma. Cuma dekat batu karang itu aja." Telunjuk Khanza kembali mengarah ke tempat yang disebutnya tadi. Mama menghela napas. Memang sangat berbahaya membiarkan Khanza pergi ke batu karang. Ombak besar bisa datang tiba-tiba. Namun ia harus mempercayai putrinya. Lagipula Khanza bisa berenang. "Janji ya cuma di sana?" pinta Mama. Khanza mengangguk cepat. "Boleh deh..." "Kok dibolehin, Ma?" potong Papa cepat. Khanza yang tadi tersenyum langsung cemberut mendengar protes Papa. Pria tampan itu sangat overprotektif kepadanya. Mungkin karena ia anak satu-satunya. "Kan tadi Khanza bilang dia nggak jauh-jauh, Pa." Mama berusaha memberi penjelasan kepada suaminya yang kadang menyebalkan. "Tapi kan..." "Khanza nggak naik ke batu karang kok, Pa!" potong Khanza. Gadis itu tahu kalau Papa sangat mengkhawatirkannya. Papa selalu melarangnya melakukan sesuatu yang dianggap Papa berbahaya. "Cuma di bawahnya aja. Khanza mau nyari kerang." Arista Atmajaya menatap lekat mata bulat putri tunggalnya. Ia mencari kebohongan di mata cokelat gelap Khanza, yang tidak didapatkannya. Papaengembuskan napas kemudian mengangguk. Khanza memekik gembira. Gadis itu melompat memeluk kedua orang tuanya dan mencium pipi mereka. "Makasih, Mama. Makasih, Papa," ucap Khanza bahagia. Setelah mendapatkan izin orang tuanya dengan agak susah payah, Khanza segera berlari kecil menuju batu karang yang tingginya mencapai dua meter. Untuk menaiki batu karang itu seseorang harus memanjat, dan Khanza tidak suka itu. Ia tidak hobi dengan hal yang berbau panjat-memanjat. Pengalamannya yang jatuh dari pohon sewaktu kecil membuatnya jera. Khanza menapakkan kakinya di bawah batu karang, membiarkan ombak kecil menyapu kakinya. Ia mencari kulit kerang. Selain makan, Khanza juga memiliki hobi mengumpulkan kulit kerang dan barang-barang unik lainnya. Ia mempunyai sebuah lemari di dalam kamarnya untuk menampung semua benda koleksi ya itu. Khanza menunduk, menatap ke bawah merasakan sesuatu menyentuh kakinya. Sebuah botol berwarna biru tertangkap oleh mata Khanza. Botol itu yang tadi mengenai kakinya. Khanza mengerutkan kening, tangannya terulur mengambil botol. Sepertinya botol ini tersapu ombak sampai mengenai kakinya. Khanza mengamati botol, bentuknya yang unik sangat menarik perhatian Khanza. Warnanya juga indah, biru terang serupa warna awan. Sayang botol terlihat kusam. Mungkin karena terlalu lama di dalam air, tetapi kekusaman itu tidak melunturkan minat Khanza untuk membawa pulang botol. Niat untuk mencari kulit kerang batal. Khanza segera kembali ke tempat kedua ornag tuanya setelah memungut botol biru itu. Wajahnya berseri gembira, ia menemukan satu lagi benda untuk koleksinya. "Apa itu, Sayang?" tanya Mama begitu Khanza duduk di dekatnya. Alisnya berkerut penasaran melihat benda yang berada di tangan putrinya. Warnanya yang seperti batu safir membuatnya sangatenarik perhatian. Bukan hanya dirinya yang penasaran, sepertinya orang-orang di sekitar mereka juga. Orang-orang itu sejak tadiemperhatikan barang bawaan Khanza. "Botol, Ma," jawab Khanza polos. Gadis itu memperlihatkan benda yang sejak tadi dipegangnya. "Warnanya cantik ya, Ma?" Khanza menatap botol dengan mata berbinar. Mama mengangguk. Memang warna botol sangat cantik. Begitu mencolok. "Iya, Sayang," jawab Mama tersenyum. "Khanza tadi nemunya di sana!" Khanza menunjuk lokasi ia menemukan botol. "Papa boleh liat botolnya?" pinta Papa. Khanza mengangguk. Memberikan botol ke tangan Papa yang segera menyambutnya. Arista mengamati botol itu. Sebagai seorang yang juga suka mengoleksi barang antik, ia tahu kalau botol ini cukup berharga untuk dijadikan koleksi. Kegemaran Khanza mengoleksi barang antik dan unik memang menurun darinya. Khanza beruntung menemukan botol ini. Seandainya orang lain tadi yang menemukannya, ia pasti akan membelinya. "Menurut Papa gimana? Aku boleh nyimpan kan, Pa?" tanya Khanza. Arista mengangguk. "Boleh kok, Sayang," jawabnya. "Botolnya cantik ya, unik juga." Khanza segera merebut botol dari Papa mendengar perkataan penuh minat itu. Ia tahu kalau Papa juga menginginkan botol untuk dijadikan koleksinya. Khanza menatap Papa dengan bibir mengerucut. "Ini punya Khanza ya, Pa!" ucapnya tajam. "Nggak dijual!" Sebelah alis Arista terangkat mendengar perkataan putrinya yang penuh peringatan dan ancaman. Pria itu mengangkat kedua tangannya setinggi kepala. "Oke," ucapnya. "Papa nggak bakalan minta kok." Khanza mengangkat dagu angkuh. "Harus itu!" ucapnya. Papa menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya. Kalau keras seperti ini sifat Khanza menurun dari perempuan di sebelahnya ini. Claudya sangat keras kepala dan akan mempertahankan miliknya dengan sungguh-sungguh. Mama terkikik melihat suaminya yang biasanya keras menghadapi anak buahnya di kantor sekarang terlihat tak berkutik di depan putri mereka. "Papa sama anaknya sama anehnya," komentar Mama. "Masa botol aja direbutin." Mama tertawa kecil setelah mengatakan hal itu. "Papa kayaknya mau ngerebut botol Khanza, Ma," adu Khanza. Gadis itu memeluk botolnya erat. Tawa Papa pecah seketika. Untung saja pantai sudah semakin sepi, matahari sudah menggelinding ke ufuk barat. Kalau masih seramai tadi, Khanza yakin kalau mereka pasti akan jadi pusat perhatian karena tawa Papa yang lumayan keras itu. "Papa ketawanya jelek!" Khanza membuang muka. "Papa ganteng kok dikata jelek?" tanya Papa narsis. Khanza makin menggembungkan pipinya. Sungguh ia kesal mendengar kenarsisan Papa. Seperti anak muda saja. "Papa nggak bakalan ngambil botol kamu, Za," ucap Papa. "Khan kamu yang nemu botol masa mau Papa ambil sih? Nggak dong." Khanza mengembuskan napas lega. "Syukur deh kalo kayak gitu," sahutnya. "Udah ah, kita pulang sekarang yuk!" ajak Mama. Suasana pantai yang semakin sepi juga hari yang mulai gelap membuat Mama agak takut. Perempuan itu paling takut dengan hal-hal berbau mistis. "Udah gelap." Khanza dan Papa mengangguk. Mereka segera membereskan barang-barang mereka dan bersiap untuk pulang. *** Khanza membaringkan tubuh di tempat tidur setelah membersihkan tubuhnya. Ia sangat lelah hari ini, juga sangat gembira. Ia menemukan sebuah benda yang menurutnya berharga, yangbmungkin tidak akan ditemukannya di tempat lain di mana pun berada. Khanza tersenyum. Matanya menatap botol biru yang diletakkan di salah satu rak dekat lemari tempat koleksinya. Ia belum membersihkan botol itu, belum sempat. Mereka tiba di rumah setelah makan malam dan ia sudah kelelahan untuk sekedar membersihkan barang-barangnya. Khanza bangun dan melangkahkan kaki menuju rak. Tatapannya mengamati botol. Senyum kembali menghiasi bibir mungil gadis itu. Rasanya sangat bangga bisa memiliki botol seindah ini. Tangan kanan Khanza terulur menyentuh botol. Permukaan botol yang dingin langsung terasa di kulit tangannya. Lagi-lagi Khanza tersenyum. Besok sepulang sekolah ia akan membersihkan botol. Sekarang ia harus istirahat dulu. Sebelum kembali ke tempat tidur, Khanza menyinggahi meja belajarnya yang terletak berseberangan dengan tempat tidurnya. Ia harus mempersiapkan buku-buku untuk pelajaran hari Senin esok. Menyebut hari Senin, Khanza mengerang. Ia sama saja seperti gadis seusianya yang menganggap hari Senin sebagai momok yang menakutkan. Hari Senin membuatnya selalu malas. Upacara bendera yang lumayan lama cukup menguras energinya. Ia tidak terlalu menyukai apel Senin. Selain karena panas, pesan-pesan yang akan disampaikan pembina upacara selalu sama dan berulang-ulang. Membuat upacara semakin bertambah lama saja. Untuk bolos Khanza tidak berani. Ia tidak seperti teman-temannya yang bisa dengan mudah tidak mengikuti upacara bendera ataupun bolos pelajaran lainnya. Selain takut, Khanza juga tidak ingin ketinggalan pelajaran. Ia sangat menyayangkan kalau satu jam pelajaran saja tertinggal. Namun tetap saja Khanza tidak menyukai hari Senin. Mungkin karena hari Senin yang bertepatan setelah hari Minggu makanya ia tidak menyukainya. Khanza menghela napas lega. Ia sudah selesai menyiapkan segala sesuatunya untuk sekolah besok. Tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakannya malam ini, ia sudah mengerjakannya malam Minggu kemarin sehingga malam ini ia bisa santai. Khanza melangkah kembali ke tempat tidur. Sebelum berbaring gadis itu menyempatkan diri untuk menatap botolnya sekali lagi. Khanza mengambil ponsel, memeriksa kalau saja ada pesan atau telepon penting yang masuk. Setelah memastikan tidak ada apa-apa selain obrolan tidak penting teman-temannya di grup Khanza mengembalikan ponsel ke atas nakas. Gadis itu mencoba memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Hanya sedetik matanya terpejam langsung terbuka kembali. Ia ingin tidur tapi matanya belum mau terpejam. Mengantuk juga tidak padahal ia sudah menguap beberapa kali tadi. Jam digital di nakas juga sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sudah waktunya ia tidur. Sepertinya euphoria karena sudah menemukan benda antik yang warnanya sangat cantik dan unik membuatnya belum merasakan kantuk. Khanza kembali duduk, gadis itu mengucek mata. Sepertinya ia memerlukan segelas s**u hangat untuk membantunya bisa tidur malam ini. Namun ia juga lapar, perutnya perlu diisi lagi. Khanza turun dari tempat tidur. Kakinya melangkah menuju keluar kamar. Menuruni tangga cepat, Khanza menuju dapur. Asisten rumah tangga masih belum datang, mereka akan masuk besok pagi. Khanza sudah terbiasa juga menyiapkan s**u atau apa pun yang ingin dimakannya seorang diri. Terutama camilan. Dengan cekatan Khanza membuat segelas s**u. Setelah selesai gadis itu segera kembali ke dalam kamarnya. Khanza bukan gadis yang penakut, ia hanya tidak ingin kepergok Mama kalau belum tidur. Jam tidur Khanza setiap malam adalah jam sepuluh malam. Mama akan memarahinya kali ia terlambat tidur, karena bisa saja ia kesiangan esok pagi. Khanza memakan kue kering dengan lahap. Gadis itu juga menghabiskan susunya hanya dengan sekali minum. Kemudian Khanza kembali melanjutkan memakan kue keringnya. Gadis itu mengambil oonsel, ia.akan ikut masuk ke dalam obrolan teman-teman di grup sekolah. Mungkin sekadar menyapa tidak salah. Khanza mengetikkan beberapa kata kemudian menyentuh tombol kirim di ponselnya. Luar biasa, ternyata respon teman-temannya sangat heboh. Khanza memng tidak pernah ikut dalam obrolan grup di malam hari kecuali ada yang penting. Ia lebih suka mengurus benda-benda koleksinya daripada menggosip dengan teman-teman sekelasnya. Namun kali ini Khanza ikut dalam obrolan. Entah mungkin karena terlalu seru atau apa, Khanza melupakan niatnya untuk tidur. Ia baru sadar setelah kue kering di dalam toples habis berpindah ke dalm perutnya. Khanza melirik jam digital takut-takut. Bola matanya melebar melihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Bergegas Khanza mematikan ponsel. Sebelumnya ia mohon diri pada teman-teman di grup. Khanza memejamkan mata dan berharap ia akan bisa langsung tidur.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Trip To a CEO's Heart

read
5.4K
bc

Dear Pak Dosen

read
430.8K
bc

No Escape, Honey (BAHASA INDONESIA)

read
18.0K
bc

Brother In Law

read
514.5K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
75.7K
bc

Luna for the Alpha Rogues

read
12.4K
bc

Sean and Sonia: Deceitfullness (Bahasa Indonesia)

read
40.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook