Tok.tok.tok. Arumi buru-buru memakai syal guna menutupi cupang di lehernya lalu berjalan membuka pintu.
Setelah makan siang tadi, Arumi pamit mau istirahat walau bukan itu alasan yang sebenarnya.
"Kenapa cantik,"
Arumi bertanya melihat sepupunya tengah tersenyum lebar menatapnya dengan mata berbinar-binar. Arumi mencubit pipi Ruby gemas.
"Hehehe, emm… kata mama, akak mau ikut nggak?"
"Kemana?"
Kali ini dia tidak ingin kemana-mana selain berdiam diri dalam kamar. Kalau itu bisa terjadi sih.
Ruby kembali berkata, "Mama ada pertunjukkan entar malam, kita mau kesana. Mau ya, hem. Entar Ruby jajanin frites kesukaan akak deh, janji."
Anak itu memanyunkan bibir dengan maksud merayu sang kakak. Arumi tertawa kecil. Sepertinya dia harus keluar meski malas.
"Kakak siap-siap kalo gitu."
Spontan mendapat peluk dan cium di kedua pipinya.
"Makasih akak princess hehe. Uby tunggu di bawah ya, kita barengnya sama uncle Kookie soalnya mama sama papa mesti ngurus sesuatu dulu jadi berangkat duluan tadi."
Arumi melotot. Niat hati menghindar dari pria itu, kenapa malah jadi kayak gini.
"Uby sayang, tapi kan__"
"Udah tenang aja, uncle bukan orang jahat kok kata mama hehe. Kalau gitu Uby tunggu di bawah, oke."
Setelahnya Ruby melenggang pergi dengan wajah sumringah, tak sabar ingin segera pergi menghabiskan waktu bersama kakak kesayangannya.
"Ah, kayaknya Uby harus rekam, habis itu kirim ke kakak yang lain hehe." ucapnya masih terdengar oleh Arumi.
Dokter cantik itu mematung. Ingin bersikap biasa-biasa juga tapi nggak bisa mengelak ketika kejadian itu tiba-tiba terlintas dalam benaknya.
Huhhh, kalau seperti ini… debaran ini tidak akan membiarkan dirinya tenang saat bertemu nanti.
Khem. Sebenarnya sih bukan berarti dia merasakan sesuatu seperti ketertarikan pada laki-laki kelewat dewasa itu, hanya saja ia merasa gugup jika mendapat tatapan mata seolah dia punya hutang saja.
"Uncle,"
Panggilan Ruby mengalihkan perhatian Kookie dari benda pipih dimana artikel tentang Arumi tertera di sana. Tidak tahu kenapa, ibu jari Kookie gatel pengen mencari sesuatu tentang Arumi lewat artikel.
Dan ya… tidak jauh dari ekspektasi, Arumi yang menemaninya semalam benar-benar anak dari Elvano. Sebetulnya tidak perlu melakukan ini sih untuk membuktikan bahwa dia Arumi, hanya saja… hati Kookie tak tenang jika tidak mencari tahu apa saja yang berhubungan dengan dokter cantik keluarga Logan itu.
Logikanya sih bertanya-tanya ada urusan apa sampai ingin tahu apapun berhubungan dengan Arumi. Sementara teman saja bukan. Sayangnya beda dengan perasaannya yang kepo itu.
Yang membuatnya berpikir keras adalah… Arumi single. Gadis cantik itu bukan milik siapa-siapa selain keluarga Logan. Tapi, kenapa? Apa yang kurang darinya sampai tak ada satupun berita tentang dia selain prestasi sebagai dokter UGD. Lalu kenapa masih sendiri?
"Uncle, you okay?"
Kookie tersentak sampai handphone di tangannya tak sengaja terjatuh.
"Uncle maaf. Ruby nggak tau uncle lagi ngelamun. Maaf."
Ruby buru-buru mengambil benda itu dan melontarkan permintaan maaf karena telah mengejutkannya.
"Eh, gapapa cantik. Hpnya juga baik-baik aja." Kookie menggeleng kecil melihat tingkah polos anak Lintang. Gadis itu malah menunduk takut. Mungkin takut dia marah dan mencubitnya atau paling marah di pukul. Astaga… dia tidak seburuk itu sampai menyakiti seseorang hanya karena masalah sepele, apalagi sama anaknya Lintang dan Jayden yang ada dia sate.
disisi lain Ruby semakin menunduk, "Ugh… Ruby nggak mau dicubit, entar sakit huhuhu. Batin Ruby tergugu, berharap Arumi cepat turun. Ya...namanya juga anak polos, pikirannya kemana-kemana.
"Ta-tapi, hpnya gi-gimana ka-kalau ru-rusak?"
Kookie yang tengah mengecek handphone beralih menatap Ruby. Dari cara gadis itu begitu sukar untuk bicara padanya karena takut membuatnya tertawa.
"Ke-kenapa?" tanya Ruby menaikkan wajahnya selaras dengan Kookie.
"Ya ampun, kamu takut uncle marah gara-gara benda mati ini?"
Ruby mengangguk polos, benar-benar polos terlihat dari wajah iris mata coklat bening miliknya.
"Hahaha, udah tenang…!!"
Kalimat Kookie kepotong saat tangan lembut menghentikan tangannya untuk menepuk puncak kepala Ruby. Kedua bola mata cantik tengah mendelik tajam ke arahnya dengan tatapan menyelidik.
"Akak!"
"Mau ngapain?"
Kookie gelagapan menyadari sorot mata tajam Arumi serasa mengulitinya.
"Oh? Itu… anu… saya__"
"Adik saya terlalu polos buat dapat perlakuan khusus dari kamu."
"Huh?"
Arumi menyela Kookie dan melepas lengan Kookie lalu menarik Ruby menjauh dari Kookie.
Sedikit tersinggung sama omongan Arumi, Kookie berdiri berkacak pinggang melotot kontras dengan decakan membalas tatapan tajam Arumi. Siapa yang nggak kesel kalo dituduh yang tidak-tidak.
Sayangnya Arumi sama sekali tidak peduli, sedikitpun dia tidak takut.
Kuat juga. Pikir Kookie dan berkata, "Jadi maksudnya apa ngomong seperti itu? Kamu menuduh saya macem-macem sama sepupumu begitu?" Gerutunya mendengus.
"Pikir aja sendiri. Ayo sayang." Sergah Arumi membawa Ruby keluar dari rumah meninggalkan Kookie yang tengah menganga lebar.
"Pantes Relationship tidak punya, judes dingin begitu siapa yang mau." ocehnya sedikit manyun meraih kunci mobil dari Jayden kemudian menyusul mereka.
Ruby naik ke kursi penumpang begitu mobil terbuka.
"Saya bukan supir." Lontar Kookie ketika Arumi hendak duduk di sebelah Ruby.
"Apa saya perlu peduli dan bertanya?"
Suara ketus Arumi seolah tidak membiarkan hubungan mereka membaik dan membentengi diri. Apa dia masih ingat kejadiannya? Tiba-tiba saja d**a Kookie berdebar merasa menghangat di bagian pipi.
"Khem, setidaknya hargai saya."
"Hargai? Kedengarannya seperti memandang rendah pekerjaan supir ya,"
"Hah? Siapa yang merendahkan mereka sih, tidak ada."
"Secara tidak langsung kamu rendahin mereka cuman karena nggak mau disamakan sama mereka."
"What? Kenapa semakin jauh pemikirannya."
"Salah?"
"Sangat salah."
Kookie menutup pintu penumpang lalu membuka pintu depan.
"Kamu__"
"Sudah duduk sana. Banyak omong."
Kookie mendorong pelan Arumi agar duduk di samping kemudi.
Dengan nakal Kookie menutup pintu sedikit keras sebelum Arumi melontarkan kalimat protes. Hal itu tak urung membuat gadis itu terbelalak kaget.
Arumi terpaksa berpaling dari jendela menatap mata bambi Kookie melebar.
"Kamuuummphh!!"
"Hehe."
Kookie cengengesan memperlihatkan gigi kelinci yang begitu menggemaskan melihat sepasang mata cantik Arumi semakin membulat atas jepitan tiba-tiba yang ia lakukan pada bibir hati nan tebal milik Arumi.
Dengan tatapan teduh Kookie, membuat hati siapapun tenang sekaligus meleleh. Harusnya itu terjadi pada Arumi, sayangnya sejak pertemuan mereka semalam hatinya sudah dibuat marah dan kesal karena selalu deg degan.
Satu hal lagi, kalau dilihat-lihat lagi Kookie tetap seperti dulu, seorang pria dewasa yang punya sisi lembut dan menenangkan.
Ckh. Sadarlah Arumi. Dia bukan sosok yang harus kamu pedulikan. Kalau dulu mungkin bisa dimengerti seumpama kekaguman itu ada beda jika sekarang. Jangan sampai hanya karena tatapan membuat orang-orang salah paham mengartikan hal tersebut.
Arumi melirik Ruby. Tak ingin memperlihatkan sesuatu yang salah pada sepupu polosnya dan juga tidak baik untuk jantung… ckh, dia tidak munafik soal itu sebab Kookie laki-laki pertama yang berani melewati batas selain anggota keluarga Logan.
Tak ingin berlama-lama, Arumi mengayunkan kedua tangannya berharap bisa melepaskan diri dari Kookie. Namun bukannya terlepas, Kookie lebih dulu menangkap kedua pergelangan tangan Arumi dan menguncinya.
"Un-uncle!!"
Arumi meneguk salivanya kasar dirasa-rasa ada yang salah dengan posisi sekarang. Bukan apa-apa, ada Ruby di sana. Ma-maksudnya bukan berarti berdua boleh ya.
Sial. Bagaimana bisa kedua pipinya tiba-tiba terasa panas hanya karena mendapat tatapan datar dari Kookie dengan mata indahnya yang tetap terlihat bersinar.
"Ruby… tutup mata."
Bulu kuduk Arumi meremang, tubuhnya terdiam kaku tidak tahu apa maksud Kookie meminta Ruby menutup mata.
Si polos hanya berkedip-kedip mengangguk, "Oh? Oke."
"Good girl."
Sebenarnya Kookie bukan bermaksud kurang ajar, dia hanya ingin memandang wajah cantik Arumi lebih dekat lagi. Makanya ia sedikit mendekatkan wajahnya ke wajah Arumi membuat tatapan keduanya terkunci.
Ada mimik ketakutan dalam diri Arumi menggambarkan seolah dilecehkan. Kali ini, dia benar-benar marah pada dirinya yang tak bisa bergerak melakukan sesuatu walau sekedar penolakan kecil.
Tubuhnya beku begitu juga otaknya.
Dasar bodoh!
Terlihat gelengan pelan dari Kookie, detik berikutnya pelan-pelan tangannya di turunkan dan di lepas oleh Kookie. Pria itu tersenyum tipis setipis mungkin entah apa maksudnya, tak urung membuatnya segera menarik diri menciut menjauh dari Kookie ketika Kookie hendak mengusap kepalanya.
Meski begitu, Kookie tetap mengacak rambut Arumi dengan senyuman.
"Sorry. Saya serius soal maaf. Kejadian itu dan hari ini saya minta maaf. Saya berharap kita masih bisa berteman seperti dulu. Kalau seumpama Umi tidak nyaman, saya bakal menarik diri menjauh dari Umi."
"Teman?"
Kookie mengacungkan jari kelingking serius menginginkan pertemanan dengan Arumi. Dia berharap hubungan mereka tak lagi canggung karena ketidaksengajaan yang terjadi di kota Bern Swiss.
Walau sedikit kecewa jari kelingking tidak mendapat sambutan, Kookie sempat berkecil hati namun memaklumi hal tersebut dan menegakkan badannya mengatur duduk membuang nafas perlahan melirik Ruby di belakang.
"Ruby, mau langsung atau ingin kemana dulu?"
Mulut melontarkan pertanyaan, tetapi mata tak dapat berbohong bergerak gelisah. Terbukti Kookie terus menerus melirik Arumi dari ekor matanya.
Tindakan Kookie sedikit menyulut emosi dalam diri Arumi. Namun kesayangan Abrina anak tertua suaminya Elvano ini tidak tahu apa arti emosi yang tiba-tiba bergejolak mendengar permintaan maaf Kookie.
Dia merasa diperdaya oleh keadaan saat ini dan itu dari dirinya sendiri.
Arumi menghela nafas frustasi, memperbaiki duduknya. Matanya dengan cepat tertuju pada jendela, menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan guna menenangkan kegundahan hatinya dan Arumi berharap bisa melupakan apa yang telah terjadi padanya.
Sementara itu dari awal perdebatan dalam rumah Ruby sebagai saksi hanya merespon dengan berbagai ekspresi.
Pertama. Ekspresi takut Ruby gara-gara nggak sengaja ngagetin Kookie sampai handphone teman orang tuanya itu jatuh.
Kedua. Dari takut berubah jadi bingung melihat kakak sepupu cantiknya terdengar dingin terhadap Kookie. Eh, tapi, kalau Ruby pikir-pikir lagi "Eng… kak Umi emang nggak pernah tidak dingin sih. Ruby aja kadang disinisin kalo ngegangguin akak."
Berarti Uncle Kookie gangguin akak Umi dong!? Tapi, tapi, 'kan Ruby yang diganggu… lebih tepatnya Ruby takut kena marah. NGEHEHEHE.
Oke, lanjut ketiga. Yang tadinya bingung sekarang malah senyum gemesin pas mata telanjang bulatnya nggak sengaja melihat Kookie dan Arumi saling tatap. Ruby tidak tahu kenapa, tapi, dia malu. Tiba-tiba saja perasaan malu itu timbul.
Dalam hati Ruby berkata, "Uby berasa liat balon lope-lope terbang terus meletus pyung pyung pyung gitu. Hehehe."
But, For Your Information saja, untuk kali ini Ruby tidak suka ikut sama kakak sepupunya. Sepi tidak seperti biasanya kalau mereka jalan-jalan pasti ngobrol sepanjangan jalan ke tempat yang mereka tuju.
"Huhh, nggak seru ah." Ruby mencebikkan bibir benar-benar bosan kali ini.
"Akak,"
Arumi nengok melempar senyum tipis, "Ruby mau sesuatu?" tanyanya lembut.
Dengan suara selembut itu, yang ditanya siapa yang tegang sampai jantung berdebar tak karuan siapa.
Kookie berdehem memfokuskan diri mencoba menyetir dengan tenang. Arumi hanya mengerutkan dahi mengangkat bahu tersenyum ke arah Ruby.
"Itu… biasanya ikut sama mama kalo gak papa, jadi nggak bawa dompet. Terus sekarang… hehe, Ruby lupa bawa."
"Jadi,"
"Mau mampir, tapi lupa bawa dompet. Gimana dong? Tadi udah janji sama akak buat jajanin, eh malah lupa."
Arumi menggeleng kecil mencubit pipi Ruby gemas. Sepupunya yang satu ini emang gemesin. Pantes Oscar seneng banget ngerjain adiknya ini pas ke Jakarta.
"Emang Uby mau mampir kemana, 'kan sama akak jalannya sayang gapapa."
"Mau mampir ke store-in nyari jajan, boleh nggak? Tempatnya baru kak, banyak barang-barang dari Indonesia. Kayaknya sih, 80 persen produk impor Indonesia semua deh. Di kasih tau temen sih hehe."
"Kalo gitu tunjukin jalannya, biar uncle bawa kesana."
Meskipun dia seolah merusak obrolan kedua saudara sepupu ini, Kookie tetap tidak bisa diam dan lebih dulu bertanya biar bisa ikut nimbrung karena sudah pasti Arumi akan canggung kalau harus berbicara padanya.
"Waahh, makasih uncle. Akak princess juga, makasih. Oyah, tempatnya dekat hotel depan sana."
"Siap boss."
Senyum Ruby semakin lebar, Arumi mengangguk kecil melirik Kookie setelah itu mengatur tempat duduknya kembali menatap ke depan sesekali mengecek handphone.
Tak ingin obrolan berakhir begitu saja, Kookie pun bertanya pada Arumi.
"Bagaimana kabar orang tuamu?"
Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu, Arumi menoleh sebentar lalu kembali fokus pada handphonenya.
"Baik."
"Syukurlah. Emm, saya dengar kamu punya adik lagi ya, wah tuan Logan kuat juga."
Kookie tertawa kecil, tanpa terasa Arumi juga ikut tertawa.
"Jangan katakan apa-apa soal urusan orang dewasa uncle. Di belakang kita, dia paling polos dan lugu di antara adik-adikku. Saya nggak mau nanti ada pertanyaan yang terdengar nyeleneh."
"Loh kok?"
"Ya gak gimana-gimana sih, cuma… dia nggak bakal berhenti sampai tau arti setiap kata atau kalimat yang keluar dari mulut kita itu apa."
"Perasaan saya gak aneh-aneh deh?"
"Daddy kuat dalam hal apa, atas kelahiran adik saya."
"Hohh!?"
Kookie termangu melirik Ruby yang masih dengan senyum polos mengerjapkan mata melihat keduanya. Ia meringis, melupakan pesan dari Lintang yang melarangnya mengatakan sesuatu hal baru bagi putrinya.
"Uncle gimana kabarnya? Sorry, kalau saya terlalu kaku dalam menyikapi yang udah terjadi diantara kita."
Arumi tersenyum kecil. Benar, ini yang seharusnya dia lakukan. Toh tidak terjadi apa-apa sementara Kookie akan terus merasa bersalah padanya.
Keterkejutan Kookie membuat seulas senyum tercetak jelas di wajahnya. Ia mengangguk.
"Semuanya baik, cuman ya.. Umi pasti tau gimana yang lainnya. Menurut kamu, saya harus gimana?"
"Saya emang dokter terus dinasnya di ruang operasi bukan konseling apalagi masalah pasangan suami istri incle."
"Wkwkwk, saya lupa. Kamu nggak punya relationship."
"Cih, mentang-mentang udah punya pasangan sombong banget."
"Hahaha, apa yang harus di sombongin kalau nyatanya bakal bubar juga."
"Apa saya terlalu ikut campur kalau minta uncle berpikir dulu sebelum mewujudkan apa yang kamu bilang barusan."
Arumi mengalihkan pandangan melihat ke arah Kookie. Dari sudut samping, mimik muka Kookie terlihat terganggu.
Setelah itu, keduanya sama-sama diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tak lama kemudian Kookie menepikan mobil perlahan kembali seperti semula tersenyum lebar melihat anak Lintang begitu antusias ingin segera turun.
"Ngomong-ngomong Ruby emang mau nyari apa, antusias banget kayaknya."
Kookie bertanya sebelum Ruby keluar dari mobil.
"YUPI! Hehe." Anak itu menjawabnya dengan semangat, terdengar dari teriakannya. Sedangkan Arumi dan Kookie seketika saling bertatapan kemudian berputar saling memunggungi dan segera keluar dari mobil.
Ruby menggaruk kepalanya bingung dengan sikap mereka. Beberapa saat kemudian matanya melotot.
"Jangan-jangan akak sama uncle… MAU BORONG YUPI RUBY."