3. Perkara Sarapan

776 Kata
"Oh, i-itu, tadi kepalaku sakit banget. Terus tiba-tiba aja aku rasanya pengen. Tapi badan panas, kepala sakit, jadi aku main solo he he he ..." Mas Galih menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Maaf ya, udah gak tahan, Sayang," katanya lagi sambil meraih tanganku yang sedang melipat di d**a. Seprei kotor itu tergeletak di kamar karena aku masih merasa kesal. "Mas, kalau kamu emang pengen, kamu bisa telepon aku. Aku pasti pulang." "Ya, tapi namanya tiba-tiba lagi naik gitu, gimana bisa tahan nunggu kamu dari kantor ke sini sampai satu jam setengah. Bisa pecah kepalaku. Udah, mandi dulu sana, Sayang!" "Bulan lalu kamu juga main solo. Apa enaknya coba? Padahal kamu tinggal telepon istri. Ck, ampun, deh!" Aku berdecak kesal. Kuambil kembali seprei itu dengan serampangan, lalu aku taruh kembali di dalam keranjang. Selesai mandi, aku melihat Mas Galih sudah pulas. Tidurnya mendengkur dengan mulut setengah terbuka. Ia nampak lelah dengan lingkar hitam di bawah matanya. Aku belum bisa tidur memikirkan kelakuan suamiku yang aneh. Ini kedua kalinya, padahal sebelumnya tidak pernah. Apa yang terjadi pada Mas Galih? Pria baik-baik yang sangat mencintaiku ini tidak mungkin main belakang. Aku pasti tahu apa yang ia lakukan di luar kantor. Aku akhirnya tertidur dan terbangun saat alarm di ponselku berbunyi. Aku menoleh ke sebelah, maksud hati hendak mengecek keadaan Mas Galih, tetapi suamiku sudah tidak ada. Aku mengedarkan pandangan, lalu melihat ke dalam kamar mandi yang kosong. Ini baru jam lima subuh, ke mana Mas Galih? Aku berjalan keluar dari kamar. Rumah masih sepi, tetapi aku mendengar Esti dari dapur, seperti sedang mencuci piring. "Esti, kamu lihat suamiku?" tanyaku. Di luar gerimis, tidak mungkin Mas Galih jalan pagi. Esti menoleh, lalu menggelengkan kepala. "Gak lihat, Bu. Saya juga baru selesai mandi dan baru ini mencuci gelas s**u coklat punya bapak. Apa mungkin bapak minum s**u sebelum keluar? Apa mungkin juga lagi beli sarapan, Bu." Kepalaku mendadak berputar. Esti saja tidak lihat di mana Mas Galih, apalagi aku. "Esti, keranjang cucian di kamarku sudah penuh. Tolong masukkan ke mesin!" "Baik, Bu." Esti mengikuti langkahku kembali ke kamar, lalu ia mengangkat keranjang cucian kotor keluar. Aku pun mandi agar kepala yang berat ini terasa sedikit lebih ringan. Lagi-lagi aku terlupa untuk menanyakan perihal obat kolesterol itu milik Esti. "Kamu sudah mandi, Sayang?" aku menoleh terkejut ke arah daun pintu kamar yang terbuka. Mas Galih berdiri di sana sambil tersenyum dan ia terlihat baru saja mandi. "Aku kira kamu masih tidur," katanya lagi sembari berjalan santai masuk ke dalam kamar. Aku berbalik, tetapi tetap duduk di kursi rias. "Kamu dari mana, Mas?" tanyaku benar-benar terheran. Bagaimana bisa suamiku mandi dan aku tidak terbangun? Biasanya aku selalu terbangun bila kudengar suara gemericik air di kamar mandi. "Dari halaman belakang, olah raga," jawabnya santai sambil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Olah raga? Tapi rambut kamu kok basah?" wajah suamiku mendadak tegang. "Maksudnya aku habis olah raga, terus mandi, jadinya rambutku basah. Kenapa, Sayang?" "Kamu gak lagi bohong'kan, Mas?" aku menelisik wajahnya untuk membaca pertanda kebohongan. Namun, Mas Galih bersikap santai seperti biasa. "Untuk apa aku bohong? Kamu yang aneh banget sejak kemarin. Banyak banget tanya, sampai aku pusing. Sayang, coba untuk berpikir positif ya. Biar keriput di wajah kamu tidak terlalu kentara. Udah, ah, bagaimana kalau kita sarapan di luar?" "Mm ... sarapan di mana?" aku melirik jam dinding yang sudah jam setengah enam pagi. "Di mana aja yang ada tempat makan khusus sarapan. Kayak yang di Cijantung, mau gak? Ajak aja Esti. Sesekali ajak pembantu sarapan di luar juga gak papa'kan?" "Aku ganti baju dulu kalau gitu. Pakai baju olah raga aja. Nanti aku bilang Esti." "Gak papa, aku aja yang sampaikan. Kalau nunggu kamu dandan, Eseti keburu kelar masak nasi goreng." Mas Galih sudah keluar dari kamar sebelum mulut ini mengeluarkan suara. Tumben suamiku mau bicara dengan Esti, bukannya sangat irit bicara dengan ART kami itu? Aku keluar dari kamar dengan cepat. Rupanya Esti sudah di mobil bersama Mas Galih. Tentu saja aku terkejut. Memang ia duduk di belakang, tetapi tetap saja hatiku langsung sewot. "Loh, kamu malah udah di mobil, pintu rumah kunci dulu! Masa ART mendahului majikan? Ampun deh kamu ini, Esti!" Pekikku kesal. "Ya, ampun, maaf, Bu, saya kelupaan." Esti menunduk malu dan bergegas keluar dari mobil. "Sayang, Esti mungkin lupa, soalnya aku yang suruh dia buru-buru naik ke mobil. Maafin aku ya, Sayang. Kalau mau marah, marah sama aku aja gak papa." Mas Galih menyentuh pipiku, tetapi aku yang tengah kesal, malah semakin gondok mendengar ucapan Mas Galih. "Kamu ngerasa kamu aneh gak, Mas? Kenapa kamu tiba-tiba bela Esti? Jelas-jelas dia yang gak tahu adab, malah kamu bela! Yang istri kamu itu aku atau si Esti?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN