Kiara duduk berhadapan dengan seorang polisi. Dia masih belum benar-benar bisa meredakan kemarahannya.
"Anda tahu kalau bapak itu mabuk, kenapa gak ditangkap? Saya malah disuruh bayar ganti rugi, padahal dia yang salah!" Kiara mengungkapkan keluhannya, setelah menahan keluhan tersebut di benaknya.
Polisi itu sangat tampan, juga sangat sombong. Kiara tidak suka sikap sok akrabnya. Juga, menurutnya polisi di sini sangat tidak adil dan tidak menjalankan hukum dengan benar.
Ditatap oleh polisi di depannya, membuat nyali Kiara sedikit menciut. Kenapa malah balas menatapnya?
"Nona Kiara sudah melihat kamera cctv. Anda berjalan agak ditengah!" Polisi itu menjawab dengan sabar.
"Tapi dia juga lagi mabuk!" Kiara tidak mau kalah.
Dia merasa harinya sangat buruk. Kopernya hilang saat dia membeli es kelapa, dan sekarang hampir mati. Tapi parahnya lagi, dia masih harus membayar ganti rugi. Pada siapa lagi dia meluapkan amarahnya?
"Anda tidak mau membayar?" Polisi itu bertanya agak galak.
Kiara menahan bibirnya untuk tidak langsung menjawab. Jujur saja dia sedikit takut, kenapa polisi itu jahat sekali? Mengintimidasinya hanya karena dia bukan orang lokal.
Melihat Kiara hanya diam, polisi itu menghela nafasnya. Dia menyembunyikan sedikit senyum saat melihat wajah cantik gadis besar di depannya yang hampir menangis.
"Minum dulu!" Polisi itu meletakkan minuman di depan Kiara.
Kiara ingin menolak, tapi dia merasa sesak. Dadanya sakit menahan banyaknya keluhan.
Niatnya pergi ke Bali untuk liburan, tapi malah berakhir penuh ujian. Seakan dunia sedang mengejek perasannya.
"Saya akan bantu anda mencari koper anda. Jika memang dicuri, maka kami akan mencari pencurinya! Sekarang, anda selesaikan dulu tentang p********n ganti ruginya. Setelah itu saya akan antar anda ke hotel!" Polisi itu kembali bicara dengan sabar.
Bukannya merasa tenang, Kiara malah tidak bisa menahan air matanya. Dia langsung mengusap jejak basah di pipinya. Tangannya menahan untuk tidak mengambil uang dari tas kecilnya.
Polisi itu seakan sedang memaksanya untuk menerima kesepakatan yang sama sekali belum dia setujui.
"Bapak itu sudah tua, suka mabuk-mabukan, tapi orang malah membelanya. Apakah karena saya masih muda dan bukan orang Bali, jadi saya harus menahan keluhan ini sendiri?" Kiara mengomel sambil mengambil dompetnya.
Polisi di depannya menahan tawa dan sedikit merasa kasihan. Melihat uang di dompetnya sepertinya tidak cukup, dia bicara lagi. "Jika tidak ada uang cash, anda bisa ambil dulu di ATM!"
"Tidak boleh transfer?" Kiara merasa hatinya semakin sakit. Bahkan setelah rela membayar pun, dia merasa seperti sedang dipersulit.
"Ayo, saya antar!" Polisi itu berdiri, bicara pada temannya, kemudian mengambil kunci mobil.
Kiara mengikutinya dengan langkah berat. Ingin semuanya segera berakhir dan tidur. Sungguh, dia ingin menangis sekarang.
Lokasi pengambilan uang tunai cukup jauh dari kantor polisi. Di mobil, polisi tersebut menanyakan tentang tujuannya ke Bali. Juga tentang kemana saja dia selama di Bali. Berpikir mungkin hal tersebut terkait dengan penyelidikan kopernya yang hilang, dia menjawabnya. Polisi itu sebenarnya tidak begitu buruk, tapi karena keputusan tentang ganti rugi yang menurutnya tidak adil, dia sedikit membencinya. Bahkan setelah diperjalanan pulang dari ATM kembali ke kantor polisi, kebenciannya belum surut.
"Kenapa bapak tadi boleh pulang, padahal kita belum menandatangani perjanjian damai?" Kiara benar-benar merasa kalau polisi di sini terlalu bias.
Polisi itu mengerti keluhan Kiara. Jadi dia membelokkan setirnya menuju jalanan kecil yang agak sepi. Kanan dan kiri adalah lahan kosong, di kejauhan terlihat birunya air laut yang mengintip.
Kiara memiliki kecurigaan sesaat setelah polisi itu membelokkan mobilnya ke jalan sepi. Tapi melihat wajah polisi itu, dia sedikit diyakinkan. Bahkan jika polisi itu berniat jahat terhadapnya, terlalu ceroboh, karena akan ada bukti. Polisi itulah yang membawanya pergi dari kantor polisi.
"Bapak tadi dulunya tentara yang pernah berjuang di Medan perang!"
Kiara mengerutkan keningnya, jadi karena bapak tadi tentara, maka dia sebagai warga sipil harus mengalah?
Melihat tuduhan yang jelas dari raut wajah Kiara, polisi itu hanya mengulum senyum. "Dia memang tidak ramah, tapi hampir semua orang juga tahu untuk tidak mengganggunya. Sayangnya, kamu sedikit tidak beruntung hari ini, untuk berselisih dengannya!"
"Yah, sangat tidak beruntung. Dia salah, aku yang ganti rugi!"
"Kamu juga salah!"
Kiara memicingkan matanya. Sungguh, dia benci bagaimana polisi itu masih tega menuduhnya setelah membuatnya dirugikan dengan keputusan damai yang konyol itu.
"Itu rumahnya. Kamu lihat rumah kayu minimalis di ujung sana!"
Kiara mengikuti arah yang dilihat oleh polisi itu, memang ada rumah kecil yang sebenarnya sangat bagus. Terlihat kalau bahan bangunan itu bukan dari kayu biasa. Meskipun sangat kecil, tapi berhadapan langsung dengan laut. Setimpal dengan sudut pandang yang memiliki arti luas sebenarnya.
"Dia dulu telah memberikan jasa besar untuk negara. Bukan hanya sekali, tapi sudah tidak terhitung lagi. Negara kesulitan jika harus membalas jasanya!"
Kiara sedikit terkejut mendengar pujian polisi tersebut untuk bapak-bapak pemabuk yang hampir membuatnya celaka. Memang tidak boleh menilai orang dari penampilannya. Apakah polisi itu sengaja ingin mempengaruhi pikirannya?
"Jadi aku harus mengalah karena dia berjasa untuk negara? Lalu bagaimana jika aku mati ditabrak olehnya?" Kiara menjawab dengan suara lirih, karena takut ucapannya menyinggung.
"Mau berkunjung?"
Kiara menggelengkan kepalanya, tapi polisi itu sudah lebih dulu turun dari mobil. Dia enggan, tapi masih mengikuti gerakannya.
Polisi itu sepertinya sangat familiar dengan lingkungan di sekitar, bahkan tahu ada batu besar yang hampir membuatnya jatuh.
"Dia kembali ke rumah setelah hampir satu tahun ditugaskan. Sepertinya dia berniat untuk pensiun, menjadikan setahun kepergiannya sebagai tugas terakhir yang dia jalankan untuk negara. Karena merasa bersalah telah sering meninggalkan istrinya dan bahkan setahun sebelum dia ditugaskan, istrinya sedang mengandung delapan bulan. Dia ingin menebus waktu demi keluarganya!"
Kiara tertegun, dia tidak mengira ada kisah haru dari seorang bapak-bapak pemarah. Kemarahannya juga sedikit reda setelah mendengar penjelasan polisi.
"Jangan bilang istrinya meninggal setelah melahirkan?" Tiba-tiba Kiara memikirkan plot tersebut, tapi melihat polisi menggelengkan kepalanya, dia tahu tebakannya salah. Dan menghela napas lega.
"Istrinya masih hidup, tapi tidak lagi menunggunya. Wanita itu merasa lelah menjalani hidupnya dalam kesepian. Menanggung emosi sebagai istri tentara yang tidak tahu kapan suaminya akan kembali!"
Kiara meringis, dia tidak tahu harus menunjukkan ekspresi seperti apa. Tapi dia merasa pasangan itu sangat memilukan. Dia memikirkan tentang hubungannya dengan Jordi. Jika dipikir-pikir, emosinya tidak sekuat itu. Meskipun dia sedih mengetahui Jordi mengkhianatinya, tapi jika dibandingkan dengan seorang wanita kesepian yang cintanya terkikis oleh waktu, tanpa bisa mengungkapkan perasaannya, dia tidak semenyedihkan itu.
"Istrinya memiliki laki-laki baru?"
Polisi itu mengangguk membenarkan tebakan Kiara. "Dia pulang disambut oleh undangan persidangan cerai yang sudah diajukan setengah tahun lalu. Karena sedang bertugas, negara baru memberitahunya setelah dia pulang!"
"Ada hal seperti itu. Lalu bagaimana anaknya?"
"Anaknya dititipkan. Jangan bicara lagi, jangan sampai dia mendengarnya!" ucapnya dengan suara lirih.
Kiara juga tidak berani membuat suara. Dia masih kesal mengingat telah dimarahi oleh bapak itu, tapi tidak lagi marah. Bahkan rela dengan beberapa uang yang harus dibayarkan sebagai ganti rugi.
Polisi itu mengetuk pintu, Kiara berdiri di sebelahnya sambil memperhatikan sekitar. Halaman itu bersih, padahal jika melihat penampilan bapak-bapak yang sedikit berantakan, itu sangat kontras.
Pintu terbuka, bocah berumur sekitar sembilan tahunan menyembul dari pintu.
"Ayahmu sudah pulang, kan?"
"Ayah tidur!"
Suara anak itu membuat Kiara merasa lembut. Dia melihat anak kecil berwajah tampan yang terlihat berani.
"Kamu lagi apa?" Kiara melihat ada telur di tangan anak itu.
Anak itu juga mengikuti arah pandangan wanita cantik di depannya. Dia memegang telur yang belum sempat dia pecahkan.
"Tunggu sebentar!" Anak itu kembali menutup pintu, berlari ke dapur.
Kiara dan polisi itu melemparkan pandangan dan mengerti. Sepertinya mereka telah menganggu anak itu yang sedang membuat makanan.
"Ayo tunggu di sana!" Polisi itu menunjuk pada ayunan yang langsung menghadap lautan. Tapi karena matahari sedang terik, Kiara tidak terlalu tertarik.
"Anak itu persis seperti ayahnya. Sangat berani!" Puji polisi itu sambil memerhatikan pakaian di jemuran.
"Yah, bapaknya galak. Jadi dia harus berani!" Kiara bicara asal, dia hanya mengatakan yang sebenarnya.
"Ara, jangan menunjukkan kemarahanmu pada anak itu!"
Kiara ditegur, dia tidak menanggapi. Karena sebenarnya dirinya tidak lagi semarah tadi.
"Anak itu hanya punya ayahnya. Dia menganggap ayahnya sebagai pahlawannya. Tentara itu layak mendapatkan itu dari sang putra! Saat anak itu jauh lebih besar, dia akan lebih banyak tahu siapa ayahnya dulu! Berapa banyak nyawa yang telah diselamatkan, meskipun harus membuatnya kehilangan sosok ibu. Dia akan melihat hal-hal yang tidak dia mengerti saat kecil. Dia akan jadi anak hebat!"
"Kamu bicara terlalu banyak! Kamu sepertinya sangat mengenal keluarga ini?" Kiara melihat polisi itu dengan rumit. Dia ingat polisi itu memanggilnya dengan sebutan 'Ara' itu aneh.
Polisi itu hanya tersenyum, kemudian tatapannya terarah pada anak kecil yang datang membawa semangkuk mie panas. Ada telur di atasnya.
Kiara menelan ludahnya, karena aroma mie itu sangat enak. Dia berdiri, membiarkan anak itu duduk di ayunan untuk memakan mie-nya.
"Kenapa makan di sini. Panas, harusnya makan di dalam aja!" Kiara memperhatikan anak yang tidak ada takut-takutnya itu.
"Dia takut membangunkan ayahnya. Benar?"
Anak itu membenarkan ucapan laki-laki berseragam polisi. "Dia tidak akan marah padaku. Tapi pada kalian, jika sampai mengganggu tidurnya!"
Anak itu menjelaskan untuk Kiara, karena melihat arah tatapannya. Dia juga memperhatikan Kiara dari atas sampai bawah. Kemudian mengerti kalau Kiara bukan dari Bali.
Kiara agak malu setelah anak itu mengekspos pikirannya. Bagaimana anak itu begitu pandai menilai pikiran orang di usia semuda itu?
Polisi itu tersenyum melihat interaksi keduanya.
Kiara tidak menyadari kalau dia tidak lagi memandang polisi itu dengan benci, bahkan mulai biasa dengan sikap akrab sang polisi.