Chapter 8

1479 Kata
Hal pertama yang dilakukan Hani ketika sampai kamar hotel adalah mandi. Alasannya, Hani sudah tidak tahan dengan bau alkohol dan rokok yang menempel di tubuhnya setelah dari kafe. Usai membersihkan dirinya, Hani langsung merebahkan dirinya di kasur. Detik itu juga Hani merasa sangat bersyukur kepada siapapun yang sudah menemukan kasur dan AC. Sembari memejamkan mata, menikmati surga duniawi, pikiran Hani terbang melakukan kilas balik kegiatannya hari ini. Tidak banyak. Hari ini ia bersantai di kamar dan keluar untuk memenuhi isi perutnya ke rumah makan di sekitar hotel. Barulah di malam hari, ia pergi bersama Keanu ke soft opening kafe milik Rendra. Mengingat Rendra, Hani jadi malu sendiri karena teringat dengan review yang ditulisnya tadi. Ia baru berkenalan dengan Rendra hari ini. Lalu tanpa tedeng aling-aling, Hani menulis segala kritik dan saran untuk kafe baru Rendra. Bukannya apa, Hani takut Rendra tersinggung dengan hal yang ia tulis. Hani menghela napas.   Shaina yang sedang tiduran di ranjangnya, menoleh setelah mendengar Hani menghela napas. Shaina adalah teman semasa kuliah Hani dan Keanu, yang kini berprofesi sebagai model. Ketika Hani pergi menemani Keanu ke kafe, Shaina memutuskan untuk tidak ikut karena lelah setelah seharian berjalan-jalan seorang diri mengitari Kota Bandung. Bukan karena Hani atau Keanu tidak mau menemaninya, Shaina memang lebih suka berjalan-jalan sendiri.  “Bagaimana? Seru?” tanya Shaina, membalikkan tubuhnya ke arah Hani. Hani diam sesaat. “Lumayan.” Sembari menambah guling di bawah kepalanya, Shaina berkata, “Kudengar kafe itu milik Rendra Prayoga, si aktor itu.”  Hani mengangguk mengiyakan perkataan Shaina. “Apa kau berkenalan dengan Rendra?” tanya Shaina. “Iya.” “Bagaimana orangnya?” “Sepertinya ia pekerja keras. Dan tidak pelit senyum.” jawab Hani singkat.  “Sungguh? Dia tidak 'palsu'?”  'Palsu' adalah kata yang digunakan Shaina untuk mendeskripsikan orang yang hanya ramah di layar kaca tetapi nyatanya memiliki sikap yang buruk di balik layar. Dulu, masa-masa Shaina baru terjun ke dunia model, Shaina menemui banyak sekali orang terkenal dengan wajah 'palsu'. Shaina yang terkadang ikut terkena imbasnya atau ikut mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan itu, langsung menumpahruahkan keluh kesahnya kepada Hani saat itu. Hani tidak terlalu kaget saat mendengar hal tersebut dari Shaina. Namun saat Shaina menyebut beberapa nama, yang Hani pikir tidak 'mungkin' berperilaku seperti itu, ternyata memiliki sikap buruk, Hani kembali mengingatkan dirinya kalau tidak ada hal yang bisa dinilai hanya dari penampilan luarnya saja. "Entahlah. Tetapi, menurutku, obrolan kami tadi cukup menyenangkan. Mungkin karena ada Kak Keanu?" "Mungkin saja. Ugh, aku jadi makin penasaran." sahut Shaina. "Lalu poin lain yang tak kalah penting. Seberapa tampan dia?" tanya Shaina mesam-mesem. Hani tertawa melihat wajah Shaina.  Ingatan Hani langsung terbang, membayangkan sosok Rendra. Rendra itu tingginya bukan main. Bahkan di antara kumpulan orang di kafe tadi, Rendra tetap terlihat tinggi ramping. Tetapi saat Hani melihat Rendra dari dekat, Hani merasa Rendra tidak sekadar ramping, bahunya juga lebar. Kulitnya juga putih bersih berpadu dengan mata agak sipit.  “Uh… Kulitnya putih dan lebih mulus dari kulitku. Dia juga tinggi dan bahunya terlihat besar. Untuk wajah, ya, dia tampan.” jawab Hani yang disambut dengan desahan dari Shaina, menyayangkan dirinya yang tidak ikut dengan Hani dan Keanu malam itu. Setelah itu Hani dan Shaina membicarakan banyak hal, dimana lebih banyak Shaina yang bercerita mengenai gosip teranyar dari dunia model. Hani sesekali juga menceritakan kehidupannya, tetapi ia lebih tertarik mendengar cerita Shaina. Keduanya terus berbincang hingga tak terasa hari sudah berganti. Jarum pendek di jam sudah melewati angka dua belas. Hani baru menyadarinya saat melihat Shaina menguap. “Pantas saja kau sudah menguap. Tidurlah.” ujar Hani. Sembari menutup mulutnya yang menguap, Shaina bertanya, “Kau belum mengantuk?” “Aku masih merasa segar setelah mandi. Tidurlah.” bujuk Hani sekali lagi. Shaina terkekeh. Ia pun mengambil penutup mata tidur miliknya. “Iya, iya. Aku tidur. Sleep tight, Hani.” sahut Shaina lalu langsung memasang penutup mata. Tak lama kemudian, d**a Shaina naik turun teratur, menandakan si pemiliknya sudah memasuki alam tidur.   Hani mengamati Shaina yang dengan cepat tidur terlelap. Matanya turun memperhatikan penutup mata milik Shaina, lalu ia menengadahkan kepalanya. Lebih tepatnya, ke lampu kamar yang masih terang benderang meski sudah melewati tengah malam. Hani tersenyum hampa. Tanpa mematikan lampu kamar, Hani memejamkan mata. Setengah jam berlalu, tetapi Hani belum juga bisa tidur. Setiap kali menutup mata, ia selalu teringat dengan orang-orang mabuk di bar Rendra tadi. Hani berusaha menepis ingatan tersebut, tetapi memori lain, yang tidak kalah tidak menyenangkannya, dengan seenaknya ikut menghampiri pikiran Hani. Hani bangun dari tidurnya lalu duduk dengan menopang punggungnya ke sandaran kasur. Ia termenung. Jari-jarinya menekan satu sama lain dengan tenaga yang cukup besar. Kuku tangan Hani pun berubah warna, dari yang tadinya merah muda menjadi putih. Keringat dingin mengalir dari leher ke punggung Hani. “Tolong. Ayo berpikir hal lain, Hani. Hal yang lebih menyenangkan dan lebih berarti…” lirih Hani. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia memutuskan untuk meraih ponsel dan headset lalu menelusuri media sosial untuk mengalihkan pikirannya. Usahanya berhasil. Kini Hani terpaku menonton animasi melalui media sosial khusus untuk menonton video. Ia berpindah dari satu video ke video lainnya. Hani terus menonton hingga langit berubah menjadi terang. Hani hanya berusaha. Berusaha sekuat tenaga untuk mengusir memori dan pikiran-pikiran buruk yang datang menghampirinya. *** “Hani?” Hani yang sedang asyik menonton sembari tiduran, cukup terkejut saat tiba-tiba Shaina muncul di depan matanya. Hani memberhentikan video yang ditontonnya dan melepas headset di telinganya. “Kau sudah bangun?” Shaina tidak menjawab pertanyaan Hani. Sebaliknya, ia mengamati wajah Hani lalu bertanya balik. “Kau belum tidur sejak semalam?” Giliran Hani yang diam. Otaknya berpikir cepat, galau di antara pilihan haruskah ia memberi tahu alasan sebenarnya atau tidak kepada Shaina. “Iya, aku belum tidur sejak semalam. Aku keasyikan menonton.” jawab Hani sembari meringis. Hani memutuskan untuk tidak memberi tahu Shaina. Shaina memerhatikan raut wajah Hani. Ia menaruh pantatnya di pinggir kasur Hani. “Memangnya kau menonton apa sampai rela tidak tidur semalaman?” Hani menunjukkan layar ponselnya ke Shaina. “Aku sedang senang menonton animasi di channel ini.” “Kau sudah sering begadang karena pekerjaanmu. Usahakan untuk tidur teratur saat kau tidak sedang bekerja, Hani. Terlalu sering begadang tidak baik untuk kesehatanmu.” ujar Shaina dengan kerutan di dahinya. Hani tertawa kecil lalu menjawab, “Baik, kapten.”  Shaina menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Hani yang tidak pasti. “Aku mau turun ke lobi sekarang untuk sarapan. Apa kau mau ikut?” ajak Shaina yang sudah rapi mengenakan jaket jeans dan celana bahan. Rambutnya yang lurus panjang sudah diikat kuda. Hani beranjak dari kasur dengan mata bersinar.  “Ayo! Aku lapar.” lontar Hani. Ia langsung pergi ke kamar mandi untuk gosok gigi dan membasuh muka, lalu mengambil kardigannya.   Shaina tertawa melihat outfit Hani. Kardigan rajut panjang berwarna coklat tua berpadu dengan celana training panjang berwarna hitam dan sepasang sandal hotel berwarna putih. Rambutnya yang jatuh hingga ke lengannya itu tampak lebih bergelombang dari biasanya karena belum disisir. Shaina terkekeh melihat Hani. Hani mengangkat kedua alisnya. Jika Shaina tertawa melihatnya, itu artinya ada yang tidak beres dengan outfitnya hari ini. Dan Shaina memang lebih sering tertawa saat melihat outfit Hani dibandingkan memujinya. “Memangnya aku terlihat seburuk itu?” tanya Hani penasaran sekaligus bingung. “Selama kau nyaman memakainya, maka tidak masalah.” ucap Shaina dengan senyum lebar. Hani mengerutkan dahinya, menjadi tidak yakin. “Setidaknya, biarkan aku menyisir rambutmu. Sini.” sambung Shaina. Ia menepuk-nepuk pinggir kasurnya, meminta Hani duduk di sana. Hani berjalan menuju sisi Shaina dan membiarkannya menyisir rambutnya. Dulu sekali, Shaina pernah berkata kalau dia iri dengan rambut lurus-gelombang alami milik Hani. “Kau sudah mengajak Kak Keanu?” tanya Hani. “Belum. Nanti saja, saat kita sudah di lobi.” jawab Shaina. Hani tidak menyahut lagi karena menikmati sisiran Shaina. Hampir-hampir Hani memasuki alam mimpi, tetapi tidak jadi karena pertanyaan Shaina menyadarkannya. “Apa rencanamu hari ini?” tanya Shaina. Hani menjawab cepat. “Tidur.” Lalu mata Hani kembali terpejam. Shaina juga tidak membuka suaranya lagi. Beberapa menit kemudian, Shaina selesai menyisiri dan mengikat rendah rambut Hani. Shaina menengok ke arah wajah Hani, untuk mengecek hasil sisirannya, dan menemukan Hani sudah tertidur. Shaina mengembuskan napas. Ia sudah menduga kalau Hani, cepat atau lambat, akan tertidur. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih jauh mengapa Hani terjaga semalaman. Ya, Shaina menebak jika alasan Hani terjaga, semata bukan hanya karena keasyikan menonton. Pada akhirnya, Shaina membiarkan topik itu terlewat karena tidak ingin memberodong Hani dengan berbagai pertanyaan, di saat sahabatnya itu bahkan belum tidur sama sekali.       Sekarang, Shaina memutuskan untuk membangunkan Hani terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, sarapan itu penting. Akan lebih baik bagi Hani untuk sarapan dulu, baru melanjutkan tidurnya kemudian. “Hani, bangun. Ayo sarapan!” tandas Shaina sembari mengguncangkan tubuh Hani. Hani langsung bangun saat itu juga. “Maaf, aku tertidur. Ayo.” seru Hani sembari berdiri. Shaina tersenyum lebar. “Ayo!” Mereka berdua pun bergegas keluar dari kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN