Akhir pekan ini Hani menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan bersama Shaina ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Selain sudah lama tidak bertemu dengan sahabatnya itu, Hani juga ingin menyuplai beberapa peralatan gambar miliknya yang sudah mulai habis.
“Shaina, setelah ini temani aku untuk ke toko buku, ya. Persediaan pensil dan buku menggambarku sudah mau habis.” kata Hani sembari membuka katalog koleksi baju di toko tersebut.
Sembari melihat pantulan dirinya mengenakan dress, Shaina menyahut, “Oke! Hani, menurutmu aku lebih cocok dengan warna kuning atau hijau?”
Hani menyipitkan matanya. Bukan, bukan karena Hani tidak bisa melihat dengan jelas figur Shaina di depannya, hanya saja, Hani merasa silau dengan seluruh lampu-lampu dan orang cantik di hadapannya ini.
“Hijau.” balas Hani singkat dan cepat.
Shaina mengerutan keningnya. “Benarkah? Tetapi bukankah warna kuning akan lebih menonjolkan warna kulitku?”
“Sesekali aku ingin melihatmu menjelma menjadi kangkung.” tutur Hani dengan nada tanpa dosa.
Shaina tertawa lepas mendengar alasan Hani.
“Hani!” seru Shaina, kesal sekaligus merasa terhibur. Sedangkan Hani hanya mengangkat kedua bahunya, tidak mau tahu lagi, lalu lanjut melihat-lihat katalog di pangkuannya.
Menyadari tidak bisa mengharapkan pendapat atau suara dari Hani lagi, Shaina memutar tubuhnya kembali ke cermin di depannya sembari mematut-matut dirinya. Setelah mencoba beberapa potong pakaian lagi serta berdiskusi dengan penjaga toko –karena tidak bisa mengharapkan Hani– Shaina akhirnya selesai menutup kegiatan belanjanya hari ini.
Ajaibnya, Hani adalah orang yang paling gembira setelah Shaina selesai berbelanja. Shaina, tentu saja merasa senang bisa membeli baju yang diinginkannya, akan tetapi, rasa-rasanya ekspresi gembira Hani mengalahkan kesenangannya berbelanja.
“Tolong jangan pernah lupa untuk memberikanku peringatan kalau kau mau berbelanja.” ucap Hani begitu mereka keluar dari toko pakaian favorit Shaina.
Shaina terkekeh. “Apa sebegitu membosankannya?”
“Kalau ada kasur, aku bisa tidur sepertinya.” beber Hani mengungkapkan suara hati terdalamnya. Shaina kembali terkekeh kemudian menggeret Hani menuju toko buku.
Seperti toko buku pada umumnya, di etalase pintu masuk terpampang tas-tas yang didominasi tas anak-anak. Bukan hal yang aneh, tetapi Hani dapat merasakan dadanya bergemuruh. Ia pun mengalihkan perhatiannya dengan mengobrol dengan Shaina.
Hani bernapas lega ketika ia sudah sampai di deretan peralatan gambar. Perempuan berambut lurus-gelombang tersebut mulai tenggelam dalam dunianya. Ia sibuk menimang-nimang peralatan menggambar mana yang sebaiknya ia beli dan sesuai dengan isi dompetnya. Sedangkan, Shaina sendiri terlihat berdiri tak jauh dari Hani memegang sebuah buku yang ia ambil sambil lalu.
“Mama! Aku mau boneka beruang itu!”
Suara nyaring seorang anak perempuan menyentakkan Hani dari dunianya. Seperti respons otomatis, Hani melengokkan kepalanya ke sumber suara tersebut. Tampak seorang anak perempuan, kira-kira berusia 6-8 tahun, menarik-narik baju perempuan yang sepertinya adalah ibunya.
“Mamaa!! Boneka beruaaangg..!” rengek anak tersebut. Ibu dari anak perempuan tersebut terlihat menyerah lalu membawakan boneka beruang berwarna pink berukuran mini ke depan anaknya. Wajah anak perempuan berkuncir dua tersebut langsung berubah sumringah.
“Terima kasih, mama!” seru anak tersebut sembari memeluk ibunya erat. Hal yang sama juga dilakukan oleh ibunya. Hani hanya terpaku melihat pemandangan tersebut.
Ketika kedua orang tersebut bergerak pindah ke area lain, barulah Hani tersadar dan mencoba kembali memilih peralatan menggambar. Namun Hani sudah tidak bisa fokus karena ada sensasi aneh menghampiri di perut dan dadanya. Sembari berdiri, Hani mengusap-usap perutnya berusaha mengusir sensasi aneh tersebut.
Mual.
Hani merasa mual.
***
Kerutan di wajah Keanu nampak semakin dalam. Matanya kini menatap Rendra dengan pandangan penuh selidik.
“Kau mabuk?” tanya Keanu.
Rendra melebarkan lengannya ke kanan dan kiri. “Aku sadar 98 persen. Lagipula, aku belum minum sebanyak itu.”
“Kau mabuk.” ucap Keanu, kali ini bukan pertanyaan melainkan pernyataan.
Rendra menggeleng. “Aku tidak bisa menjawab 100 persen karena aku sudah terlanjur meminum wine itu.” tunjuk Rendra ke deretan botol wine di meja dengan dagunya.
“Kalau begitu, utarakan hal seperti itu saat kau sadar nanti.” seru Keanu lalu menandaskan sisa wine di gelasnya. Rendra memerhatikan tingkah laku Keanu kemudian berujar, “Aku sadar dan kau tahu hal itu.”
Keanu menghela napas panjang. “Apa maumu?”
“Tolong tanyakan apakah dia mau meluangkan waktu untuk mengobrol denganku. Jika iya, sampaikan kalau aku akan meminta kontaknya darimu.” jelas Rendra dengan sorot mata penuh harapan.
Keanu diam. Ia memangku dagunya di tangan kirinya.
“Rendra, kalau kau semata hanya penasaran, kusarankan kau untuk mencari perempuan lain.” tegas Keanu.
Penasaran? Ya, Rendra tak dapat memungkiri jika dirinya penasaran dengan sosok Hani. Rendra masih tidak bisa melupakan wajah pucat Hani di Bandung, tetapi ada hal lain lagi yang membuat dirinya kerap teringat dengan Hani.
Fisiknya ‘kah? Sudah jelas, Rendra menyukai senyum manis milik Hani. Rendra ingat bagaimana rambut hitamnya itu bergoyang mengikuti gerakan kepala Hani. Lalu tingginya yang hanya mencapai sedada Rendra.
Walaupun, kalau dipikir-pikir, sebenarnya ada banyak orang di dunia entertainment yang juga tidak kalah manis atau cantik dari Hani. Namun kedua sudut bibir Rendra otomatis tertarik ke atas hanya dengan mengingat Hani saja.
Atau mungkin Rendra tertarik pada sikap Hani? Sejauh ini, Rendra mengenal Hani sebagai sosok yang cukup pendiam. Meski begitu, Rendra menemukan Hani sebagai lawan bicara yang cukup menyenangkan. Rendra menikmati saat-saat mereka saling bertukar cerita di hari itu.
Rasa ini lebih kuat dari sekadar rasa penasaran.
“Aku tertarik padanya dan ingin mengenalnya lebih jauh. Apa ada yang salah dengan hal itu?” lontar Rendra setelah diam beberapa saat.
Keanu tampak menghela napas panjang. Ia mengusap-usap wajahnya beberapa kali kemudian menatap Rendra serius.
“Tidak ada yang salah dengan hal itu. Hanya saja, Hani adalah temanku yang berharga dan aku sedikit banyak tahu rekam jejakmu dengan perempuan di sekitarmu bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.” tutur Keanu.
Perkataan Keanu barusan sangat jelas menyiratkan kalau ‘kau-b******k-jadi-aku-tidak-mau-mengenalkanmu-pada-Hani’.
Dalam hati, Rendra mengerang. Sudah cukup lama, rasanya, sejak terakhir kali ia mencoba mendekati perempuan. Apa memang sesulit ini?
“Meskipun ingin,“ Keanu membasahi bibirnya lalu melanjutkan perkataannya. “sebenarnya aku tidak punya hak untuk melarang-larang siapa pun yang ingin mendekati Hani. Aku juga tahu kalau kau tidak pernah menyentuh perempuan tanpa seizing mereka. Jadi, aku akan coba menanyakan kepada Hani soal permintaanmu itu.”
Wajah Rendra yang tadinya kusut langsung berubah menjadi lebih cerah. Matanya seakan-akan menjadi lebih bersinar penuh harapan. Senyum lebar pun terukir di wajah Rendra. Tangannya yang semula mengepal, kini terlepas satu sama lain.
Keanu yang melihat perubahan drastis dari air muka temannya itu hanya bisa berpasrah diri. Dipikirnya, Rendra kali ini benar-benar menyukai teman perempuannya itu.
“Sejak kapan?” tanya Keanu.
Rendra diam sejenak baru kemudian menjawab, “Kurasa semenjak di Malang.”
“Ah, di program TV itu, ya.” ujar Keanu.
Rendra mengangguk. Sejujurnya, ini memang pertama kalinya Rendra mengutarakan ketertarikan pada perempuan di lingkaran pergaulan Keanu, namun ia tidak memprediksi jika akan mendapat respons ‘kurang bersahabat’ seperti yang baru saja terjadi.
Batin Rendra menerka-nerka kemungkinan Keanu menyukai Hani dan begitu pun sebaliknya. Namun Rendra menepis dugaan itu karena keduanya memperkenalkan diri sebagai teman sekaligus kakak-adik tingkat semasa kuliah. Poin lain yang tak kalah penting adalah, Rendra tidak melihat ada rasa ‘suka’ di antara Hani dan Keanu.
“Rendra.”
“Hm?”
“Aku tahu kau tidak pernah menyentuh perempuan terlebih dahulu, tetapi kurasa, tidak ada salahnya untuk mengingatkanmu. Jangan mendekati Hani atau menyentuh Hani tanpa seizinnya. Ingat itu baik-baik.” ujar Keanu setengah mengingatkan setengah mengancam.
Rendra hanya bisa mengangguk pasrah.
‘Jangankan rasa suka, daripada teman, Keanu lebih terlihat seperti pengawal Hani.’ batin Rendra.
Meski begitu, Rendra merasa perhatian yang diberikan Keanu lebih dari batas teman. Penasaran, langsung saja Rendra melemparkan pertanyaan yang sedari tadi sudah bertengger di kerongkongannya kepada Keanu.
“Apa kau menyukai Hani?”